Garut (ANTARA) - Terpancar bahagia dan kerinduan dari sejumlah orang yang hadir menyambut kedatangan 29 orang asal Kabupaten Garut, Jawa Barat yang selesai menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi, Kota Bogor, karena menderita sebagai orang dalam gangguan jiwa (ODGJ).

Mereka keluarga dari pasien yang pulang dari rehabilitasi menunggu kedatangannya di Klinik Atma Cimurah, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sebuah tempat yang dipusatkan untuk menyambut orang yang sudah sembuh dari ODGJ, pada 18 Maret 2021.

Pasien yang baru direhabilitasi itu datang diantar menggunakan bus, mereka langsung disambut keluarganya, kemudian berkumpul di aula untuk mendapatkan pengarahan dari petugas rumah sakit jiwa dan juga petugas Dinas Kesehatan Garut.

Mereka duduk di kursi dengan tenang menatap orang yang sedang berbicara di depannya. Sesekali melihat ke arah sekelilingnya dengan mata tenang, kemudian kembali lagi ke arah orang yang berbicara di depannya.

Pengarahan dari petugas itu berjalan lancar, sebanyak 29 orang yang sebelumnya berstatus ODGJ, kini oleh petugas dihadapkan keluarga dan masyarakat yang hadir dalam acara tersebut sudah dinyatakan sembuh dan bisa berinteraksi dengan orang terdekatnya.

Promotor Kesehatan Masyarakat RSJ Marzoeki Mahdi, Iyep Yudiana mencoba membuktikan tentang adanya perubahan yang lebih baik dari kondisi kejiwaan 29 orang itu. Pria yang tampil energik saat berbicara itu membuat seisi ruangan tampak riuh menunjukkan kegembiraan.

Iyep kemudian memanggil dua orang perwakilan dari 29 orang tersebut yaitu seorang perempuan bernama Lola berusia 30 tahunan dan laki-laki bernama Ana usia sekitar 50 tahunan, kedua orang itu sempat menunjukkan rasa malunya harus tampil di hadapan banyak orang, namun dengan bujukan orang sekitarnya akhirnya mau maju dan mengisahkan pengalamannya.

Dua orang itu mengisahkan masing-masing pengalaman selama mendapatkan rehabilitasi di RSJ Marzoeki Mahdi selama 23 hari atau sejak 25 Februari 2021. Ia menceritakan kalau mendapatkan perawatan dan pengobatan dengan baik, mengisi waktu dengan olahraga, dan berbincang-bincang dengan orang sekitar, hingga bisa mengenal siapa saja yang merawatnya pada waktu itu.

"Jadi banyak teman, banyak kenalan," kata Lola dengan membawa tas gendong menjawab pertanyaan petugas.

Petugas tersebut kemudian mencoba memastikan lagi tentang kelancarannya berinteraksi dan daya ingatnya saat mengikuti rehabilitasi di rumah sakit dengan menanyakan nama siapa saja yang merawatnya.

"Suster Erna, suster Asri, suster Ayu," jawab Lola dengan suara yang cukup pelan karena memakai masker untuk menghindari penularan wabah COVID-19.

Petugas kemudian mencoba memastikan lagi dengan memberikan pertanyaan baru. "Dirawatnya di mana?" kata petugas.

"Ruang Utari," ucap Lola dengan percaya diri.

Jawaban Lola itu langsung mendapatkan tepukan tangan sebagai apresiasi dari orang yang hadir dalam ruangan itu. Lola pun tetap berdiri menunjukkan sikapnya lebih percaya diri lagi dengan menjawab berbagai pertanyaan lainnya.

Interaksi antara petugas dengan orang yang selesai mendapatkan rehabilitasi di RSJ Marzoeki Mahdi itu membuktikan bahwa orang tersebut sudah menunjukkan perilaku normal seperti orang pada umumnya.

Bahkan Lola sempat mengungkapkan kerinduan, dan keinginannya berkumpul kembali ke rumahnya, dan akan merawat ibunya yang sakit, termasuk kedua anaknya yang ia akui sangat disayanginya.

"Ingin ngurus anak, ingin rawat ibu (sedang) sakit," kata Lola.

Usai serah terima dan diberi arahan tentang penanganan berkala bagi orang yang sudah mendapatkan rehabilitasi itu, selanjutnya diantar pulang oleh petugas kesehatan menggunakan ambulans.

Kedatangan mereka di tempat tersebut berbeda dengan saat akan dibawa ke RSJ di Bogor, kondisi mereka terlihat cukup memprihatinkan, bahkan sampai ada yang harus diikat, dirantai tangan dan kakinya karena sering mengamuk tanpa sebab.

Sebanyak 29 orang itu sebelumnya dinyatakan sebagai ODGJ berat dari kalangan keluarga tidak mampu, mereka kondisinya ada yang sering mengamuk, marah-marah, dan ada juga yang diam tanpa ekspresi.

Pemerintah merealisasikan program untuk menangani ODGJ di Kabupaten Garut, pemerintah secara bertahap berusaha mengobati orang yang mengalami gangguan jiwa berat dengan membawanya ke RSJ Marzoeki Mahdi pada 25 Februari 2021.

Hasil dari rehabilitasi itu membuktikan adanya perubahan yang cukup baik, petugas yang mengantar pasiennya itu berkali-kali memastikan bahwa mereka sudah sembuh, kondisinya lebih baik dibandingkan saat awal mereka diberangkatkan ke Bogor.

"Dulu ada yang dirantai, datang dengan kondisi diikat, sekarang lihat pulangnya seperti orang biasa saja, sekarang sudah bisa melakukan kegiatan sederhana," kata Promotor Kesehatan Jiwa Masyarakat RSJ Marzoeki Mahdi Iyep Yudiana usai mengantarkan mereka dari Bogor ke Garut.

Baca juga: Puluhan pasien jiwa RSKD Makassar terpapar COVID-19

Baca juga: Stigma negatif pengaruhi masa depan orang dengan gangguan jiwa

Petugas melepaskan rantai dari kaki orang yang mengalami gangguan jiwa sebelum dibawa mendapatkan penanganan medis di Klinik Atma Cimurah, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Feri Purnama)


Bebas Pasung

Kasus ODGJ tidak hanya terjadi di Kabupaten Garut, permasalahan serupa terjadi juga di daerah lainnya yang tentunya memiliki cara tertentu dan berbeda untuk melakukan penanganannya.

Pemerintah Kabupaten Garut mencanangkan program yang cukup serius untuk menangani pasien ODGJ, mulai mengerahkan semua pusat kesehatan masyarakat untuk mendata dan menangani warga di wilayahnya yang dinyatakan ODGJ.

Selain itu, pemerintah daerah di Garut juga sedang menyiapkan tempat pelayanan khusus untuk menangani pasien ODGJ dengan menyiapkan Klinik Atma Cimurah di Kecamatan Karangpawitan yang saat ini bangunannya sudah berdiri, tinggal menyelesaikan proses perizinan operasionalnya.

Wakil Bupati Garut Helmi Budiman telah menyempatkan waktu untuk meninjau kondisi bangunan untuk penanganan ODGJ di Garut. Ia berharap Klinik Atma untuk penanganan pasien ODGJ itu bisa menjadi harapan bagi keluarga maupun pasien ODGJ mendapatkan pelayanan kesehatan.

"Sebagaimana kita ketahui bahwa ODGJ itu rata-rata adalah masyarakat yang tidak mampu, sekali lagi kalau kebijakan pemerintah harus pro kepada kemiskinan, maka ini adalah upaya bagaimana kita mendekatkan pelayanan-pelayanan kita kepada masyarakat tidak mampu," kata Helmi.

Pria bergelar dokter itu memiliki cita-cita tidak ingin ada warga Kabupaten Garut yang mengalami gangguan jiwa harus mendapatkan penderitaan yang lebih parah, salah satunya dengan melakukan pemasungan.

Adanya Klinik Atma merupakan tingkat pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua setelah pelayanan di puskesmas setempat, klinik tersebut akan diperuntukkan bagi ODGJ kalangan keluarga tidak mampu dengan kondisi ODGJ berat atau mendapatkan pemasungan oleh keluarganya.

Helmi telah memerintahkan jajaran Dinas Kesehatan untuk menelusuri daerah dan segera menindaklanjuti apabila ada ODGJ kategori berat atau mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dengan cara dipasung agar segera ditangani atau dibawa ke rumah sakit.

Kabupaten Garut, kata Helmi, harus dipastikan tidak ada lagi ODGJ yang dipasung apapun alasannya, jika ada masyarakat merasa kesulitan untuk menangani ODGJ di lingkungannya diminta segera melaporkan ke petugas kesehatan setempat.

"Target kita adalah angka pasung nol, jadi tidak ada lagi orang yang dipasung di Kabupaten Garut," katanya.

Baca juga: Kemensos turunkan tim bersinergi bebaskan korban pasung

Baca juga: Seorang Babinsa Majalengka dapat sepeda setelah bantu ODGJ


Ubah Paradigma

Perilaku ODGJ memang sering menunjukkan hal berbeda-beda, ada yang diam, berkeliaran, ada juga yang agresif seperti mengamuk maupun marah-marah sehingga membuat orang di sekitarnya ketakutan menghindari ancaman bahaya dari sikap agresif ODGJ tersebut.

Namun rasa khawatir yang berlebihan itu tidak perlu terjadi, tim dari Dinas Kesehatan Garut termasuk dari RSJ Marzoeki Mahdi saat melakukan penanganan pasien ODGJ di Garut mengimbau masyarakat untuk mengubah paradigma buruk terhadap ODGJ.

Masyarakat maupun keluarga penderita ODGJ diminta agar sebisa mungkin memperlakukan orang yang sedang sakit itu sama seperti orang pada umumnya, tidak menunjukkan sikap yang bisa menyinggung atau terganggu perasaannya.

Khususnya bagi orang yang sudah mendapatkan rehabilitasi atau kondisinya sudah membaik diminta untuk diperlakukan seperti orang pada umumnya, seperti tidak mengucilkan karena dampaknya bisa kambuh kembali dengan menunjukkan sikap marah, atau melamun.

"Sekarang lakukan mereka itu orang sehat, seperti orang normal pada umumnya, kalau tidak seperti itu otomatis akan memberikan ruang bagi dia kembali lagi melamun," kata Kepala Bidang Pengendalian Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Garut Asep Surachman.

Asep beberapa kali mengingatkan setiap pertemuannya dengan keluarga pasien ODGJ termasuk saat menerima kedatangan orang yang pulang dari rehabilitasi di RSJ Marzoeki Mahdi tentang menjaga perlakuan kepada ODGJ maupun yang sudah sembuh.

Melalui program yang diperkenalkan Wakil Bupati Garut terkait angka pasung nol di Garut, menurut Asep, menjadi dorongan bagi jajaran Dinas Kesehatan untuk merealisasikannya sebagai upaya gerakan kemanusiaan membebaskan orang dari penderitaan pasung.

Menurutnya kasus ODGJ itu diperkirakan ada di masyarakat, dengan kondisi yang tentu berbeda-beda, jika ada kondisi yang berat atau sampai dipasung maka secepatnya akan mendapatkan penanganan oleh Dinas Kesehatan.

Namun upaya pemerintah daerah itu diharapkan Asep mendapatkan dukungan dari masyarakat maupun keluarga dari pasien ODGJ untuk bersama-sama menyelesaikan kasus ODGJ dan mewujudkan Kabupaten Garut bebas pemasungan ODGJ.

"Kendala di lapangan adalah ketika masyarakat, ketika keluarga malu untuk menyampaikan, ini yang menjadi kendala, padahal kita membuka ruang itu setidaknya ini dapat membantu tahap penyembuhan bagi keluarga pasien tersebut," harap Asep. Spektrum PSO.

Masyarakat diharapkan mau mengubah paradigma terhadap ODGJ yang seringkali dikesampingkan dari kehidupan masyarakat normal karena dianggap sebagai penyandang masalah sosial. Tidak hanya penderita ODGJ yang terbebani karena stigma yang dibuat masyarakat tetapi menimbulkan ketidaknyamanan terhadap keluarga.

Baca juga: Mensos usulkan ODGJ mendapat vaksinasi COVID-19

Baca juga: 29 warga ODGJ asal Garut dipulangkan setelah rehabilitasi