Kemenperin dukung pengembangan EBT melalui kebijakan industri hijau
21 Maret 2021 15:25 WIB
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Eko S.A. Cahyanto. ANTARA/ Biro Humas Kementerian Perindustrian/pri.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) melalui kebijakan industri yang tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035
“Saat ini kita telah memasuki tahap 2 (periode 2020 – 2024) dalam RIPIN, dimana difokuskan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan melalui penguatan struktur industri dan penguasaan teknologi, serta didukung oleh SDM yang berkualitas,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Eko SA Cahyanto dalam Webinar Nasional IKA FH Unair Jabodetabek dan FH Unair di Jakarta, Sabtu (20/3).
Pada kesempatan itu Dirjen KPAII juga melakukan penandatanganan MoU dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga untuk bekerja sama dalam hal pengembangan sumber daya manusia pada kedua belah pihak.
“Melalui kerja sama ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi dunia pendidikan yang berwawasan baik secara akademik maupun realitas,” tuturnya melalui keterangan tertulis.
Baca juga: Inggris rilis Revolusi Industri Hijau, ajak Indonesia bergabung
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, lanjut dia, Kemenperin juga mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan sebagaimana diserukan melalui standar industri hijau yang sejalan dengan pasal 32 huruf a, dan dijelaskan lagi di pasal 34 sebagai energi yang diupayakan menggunakan energi baru dan terbarukan.
Eko menegaskan Kemenperin sangat serius dalam menggalakkan industri hijau dengan memberikan fasilitasi dan insentif baik fiskal maupun nonfiskal bagi industri yang melaksanakan standar industri hijau.
“Dari penyelenggaraan penghargaan industri hijau, diketahui bahwa pada tahun 2018 kita dapat melakukan efisiensi penggunaan energi hingga Rp1,8 triliun atau setara 12.673 Terajoule, dan pada tahun 2019 sebesar Rp3,5 triliun atau setara 11.381 Terajoule,” sebut Eko.
Ini didukung dengan partisipasi dari industri semen, industri pupuk, dan petrokimia, industri logam, industri keramik, serta industri pulp dan kertas.
Adapun Kebijakan Industri Nasional (KIN) tahun 2020-2024 difokuskan pada upaya mencapai tiga aspirasi dalam Making Indonesia 4.0 serta implementasi tahap kedua dalam RIPIN 2015-2035.
Baca juga: Pemerintah garap peluang energi hijau listrik industri smelter
Dari 10 kelompok industri prioritas dalam KIN 2020-2024, Industri Pembangkit Energi menjadi bagian di dalamnya dengan pengembangan industri alat kelistrikan, yaitu motor/generator listrik, baterai sebagai pendukung pembangkit listrik, solar cell dan solar wafer, turbin, tungku pemanas (boiler), pipa alir uap panas, dan mesin peralatan pembangkit listrik.
“Saat ini dunia tengah berlomba-lomba untuk mengurangi emisi karbon. Kemenperin juga telah mengupayakan dalam bentuk regulasi yang mendorong penurunan emisi karbon, salah satunya di sektor otomotif,” tutur Eko.
Sejak tahun 2013, Kemenperin telah mendorong industri otomotif dengan kebijakan Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) atau LCGC dan mobil hibrid. Lalu ketika tren kendaraan listrik kian meningkat,
Kemenperin juga melihat peluang Indonesia untuk ikut ambil bagian dalam industri kendaraan listrik. Tidak hanya sebagai negara pengguna kendaraan listrik, tetapi juga sebagai negara produsen kendaraan listrik dan komponennya.
“Kemenperin pun telah menyusun peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sampai tahun 2030 sebagai bentuk komitmen dalam mengurangi emisi karbon,” papar Eko.
Dari peralihan ke kendaraan listrik ini diharapkan tercapai target penurunan emisi CO2 pada tahun 2020 sebesar 2.300 ton dan terus meningkat menjadi 1,4 juta ton di tahun 2035.
Sementara itu riset yang dilakukan tim dari BPPT menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik akan meningkatkan emisi GRK sebesar 7 persen pada tahun 2030 dan meningkat menjadi 27,1 persen di tahun 2050. Hal ini juga tergantung dari pembangkit listrik yang digunakan.
“Saat ini kita telah memasuki tahap 2 (periode 2020 – 2024) dalam RIPIN, dimana difokuskan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan melalui penguatan struktur industri dan penguasaan teknologi, serta didukung oleh SDM yang berkualitas,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Eko SA Cahyanto dalam Webinar Nasional IKA FH Unair Jabodetabek dan FH Unair di Jakarta, Sabtu (20/3).
Pada kesempatan itu Dirjen KPAII juga melakukan penandatanganan MoU dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga untuk bekerja sama dalam hal pengembangan sumber daya manusia pada kedua belah pihak.
“Melalui kerja sama ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi dunia pendidikan yang berwawasan baik secara akademik maupun realitas,” tuturnya melalui keterangan tertulis.
Baca juga: Inggris rilis Revolusi Industri Hijau, ajak Indonesia bergabung
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, lanjut dia, Kemenperin juga mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan sebagaimana diserukan melalui standar industri hijau yang sejalan dengan pasal 32 huruf a, dan dijelaskan lagi di pasal 34 sebagai energi yang diupayakan menggunakan energi baru dan terbarukan.
Eko menegaskan Kemenperin sangat serius dalam menggalakkan industri hijau dengan memberikan fasilitasi dan insentif baik fiskal maupun nonfiskal bagi industri yang melaksanakan standar industri hijau.
“Dari penyelenggaraan penghargaan industri hijau, diketahui bahwa pada tahun 2018 kita dapat melakukan efisiensi penggunaan energi hingga Rp1,8 triliun atau setara 12.673 Terajoule, dan pada tahun 2019 sebesar Rp3,5 triliun atau setara 11.381 Terajoule,” sebut Eko.
Ini didukung dengan partisipasi dari industri semen, industri pupuk, dan petrokimia, industri logam, industri keramik, serta industri pulp dan kertas.
Adapun Kebijakan Industri Nasional (KIN) tahun 2020-2024 difokuskan pada upaya mencapai tiga aspirasi dalam Making Indonesia 4.0 serta implementasi tahap kedua dalam RIPIN 2015-2035.
Baca juga: Pemerintah garap peluang energi hijau listrik industri smelter
Dari 10 kelompok industri prioritas dalam KIN 2020-2024, Industri Pembangkit Energi menjadi bagian di dalamnya dengan pengembangan industri alat kelistrikan, yaitu motor/generator listrik, baterai sebagai pendukung pembangkit listrik, solar cell dan solar wafer, turbin, tungku pemanas (boiler), pipa alir uap panas, dan mesin peralatan pembangkit listrik.
“Saat ini dunia tengah berlomba-lomba untuk mengurangi emisi karbon. Kemenperin juga telah mengupayakan dalam bentuk regulasi yang mendorong penurunan emisi karbon, salah satunya di sektor otomotif,” tutur Eko.
Sejak tahun 2013, Kemenperin telah mendorong industri otomotif dengan kebijakan Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) atau LCGC dan mobil hibrid. Lalu ketika tren kendaraan listrik kian meningkat,
Kemenperin juga melihat peluang Indonesia untuk ikut ambil bagian dalam industri kendaraan listrik. Tidak hanya sebagai negara pengguna kendaraan listrik, tetapi juga sebagai negara produsen kendaraan listrik dan komponennya.
“Kemenperin pun telah menyusun peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sampai tahun 2030 sebagai bentuk komitmen dalam mengurangi emisi karbon,” papar Eko.
Dari peralihan ke kendaraan listrik ini diharapkan tercapai target penurunan emisi CO2 pada tahun 2020 sebesar 2.300 ton dan terus meningkat menjadi 1,4 juta ton di tahun 2035.
Sementara itu riset yang dilakukan tim dari BPPT menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik akan meningkatkan emisi GRK sebesar 7 persen pada tahun 2030 dan meningkat menjadi 27,1 persen di tahun 2050. Hal ini juga tergantung dari pembangkit listrik yang digunakan.
Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: