Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih menekankan pentingnya percepatan pemulihan ekonomi domestik, sebelum ancaman bergejolaknya pasar keuangan global akibat kenaikan suku bunga acuan di negara maju terjadi.

"Yang sangat penting bagi Indonesia pada saat ini adalah percepatan pemulihan ekonomi. Karena itu adalah kata kunci penting supaya kita ini bisa menjaga stabilitas dan kekuatan ekonomi kita dalam hadapi potensi terjadinya taper tantrum yang akan datang. Dan kalau kita sudah pulih, stabilitas sistem keuangan kita sudah cukup kuat, itu akan lebih berdaya tahan," ujar Sri saat memberikan sambutan kunci dalam Sosialisasi Call for Research 2021 LPS di Jakarta, Kamis.

Sri menuturkan, serangkaian kebijakan relaksasi yang telah diberikan baik oleh pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sudah cukup membantu masyarakat dan pelaku jasa keuangan.

Menurut Sri, relaksasi tersebut memang diperlukan dalam situasi darurat seperti saat pandemi, dan telah terbukti bisa menjaga stabilitas sistem keuangan di Tanah Air.

Menurut Sri, apabila relaksasi kredit atau pembiayaan diperpanjang enam bulan atau setahun ke depan, hal itu tidak akan berdampak secara fundamental menggerogoti stabilitas sistem keuangan domestik namun dengan catatan pemulihan ekonomi terjadi lebih cepat.

"Kalau pemulihan ekonomi cepat itu tidak akan menimbulkan permasalahan serius dan itu akan tetap bisa menjaga stabilitas keuangan dengan baik. Hanya memang permasalahan yang muncul kalau kita tidak bisa segera pulih plus ada ancaman dari luar di mana negara-negara maju besar suku bunganya naik cepat, ini perlu diwaspadai. Karena saya tidak yakin bahwa dengan kelonggaran yang ada, rasa-rasanya tidak mungkin rekayasa keuangan dilakukan dalam jangka panjang," kata Sri.

Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Periode 2015-2019 itu mengatakan, relaksasi pada dasarnya adalah rekayasa keuangan di mana secara kenyataan apabila menggunakan standar normal maka perusahaan dapat dikatakan sudah 'collapse'.

"Karena secara de facto kan dana dari kredit itu tidak masuk. Jadi relaksasi ini tidak bisa lama. Oleh karena itu, yang perlu kita waspadai apabila pemulihan ekonomi kita berjalan lambat dan guncangan yang terjadi karena kenaikan suku bunga negara maju menimbulkan instabiltas keuangan negara-negara sedang berkembang terutama seperti kita yang banyak tergantung dengan dana dari luar, ini jadi masalah serius," ujar Sri.

Per 8 Februari 2021, restrukturisasi kredit industri perbankan nasional sudah mencapai Rp987,48 triliun dari 7,94 juta debitur. Untuk sektor UMKM, restrukturisasi Rp388,33 triliun dari 6,15 juta debitur, sedangkan sektor non UMKM mencapai Rp 599,15 triliun dari 1,79 juta debitur.