Jakarta (ANTARA) - PNS di Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andhika Anjaresta menyebut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memiliki kode "paus".

"Saya dapat 'voice note' dari Amiril, pas dibuka isinya 'Bang tolong carikan Rolex, terus saya tanya Rolex itu apa, jam katanya. Kemudian dikirimkan gambarnya. Saya tanya buat siapa? Terus dijawab 'paus'," kata Andhika di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Andhika menyampaikan hal tersebut saat menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT. Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada Menteri KKP Edhy Prabowo.

"Saya tanya, 'Paus Pak Menteri? Lalu dijawab Amiril 'Iya buat Pak Menteri'," ungkap Andhika.

Amiril Mukminin adalah Sekretaris pribadi Edhy Prabowo yang bertugas mengelola keuangan Edhy.

"Dia mengatakan 'tolong dong carikan Rolex', saya katakan saya tidak ada waktu karena saya besok jam 10 pagi dari Dubai dan hasil 'swab' belum datang," ucap Andhika.

"Ini paus ikan atau Paus Fransiscus?" tanya ketua majelis hakim Albertus Usada.

"Kodenya 'paus' Pak," jawab Andhika.

Baca juga: Edhy Prabowo yakin tidak pernah kekurangan uang

Baca juga: Edhy Prabowo jelaskan awal pertemuan dengan terdakwa penyuap


"Kodenya 'paus', karena kementerian perikanan ya? Mungkin paus karena saking besarnya," kata hakim Albertus.

Andhika lalu pulang ke Indonesia, dan dua hari kemudian Amiril kembali menelepon-nya dan masih minta dicarikan jam Rolex, tapi Andhika beralasan sudah tiba di Indonesia dan banyak pekerjaan.

"Lalu (Amiril mengatakan) 'tolong dicarikan', saya katakan ini ada orang KJRI mas Yosi, kalau saya kasih nomor-nya, terus beliau (Amiril) bilang 'Saya saja yang hubungi mas Yosi itu'," ungkap Andhika.

Andhika pun menyebut Amiril lalu meminta Yosi untuk mencarikan jam Rolex untuk Edhy Prabowo di Dubai.

"Saya telepon Yosi lagi, saya bilang mas ini minta dicarikan Rolex, kalau tidak salah merek-nya yang Master versi II tapi harus yang kuning. Yosi mengatakan 'Oke saya carikan di toko Rolex, tapi ternyata tidak ada yang kuning, saya katakan ke Amiril adanya yang 'silver', tapi Amiril bilang harus kuning, jadi saya sampaikan lagi ke Yosi," tutur Adhika.

Akhirnya Yosi menemukan Rolex Yacht Master II Yellow Gold tersebut seharga sekitar Rp700 juta. Adhika lalu meminta Amiril mentransfer uang ke Yosi.

"Kata Amiril nanti saya cari dulu uang-nya, beberapa hari kemudian Amiril, mengatakan 'Daun sudah ada untuk si kuning'," kata Andhika.

"Kalau kuning itu 'yellow', 'gold' begitu ya?" tanya hakim Albertus.

"Saya belum pernah lihat jam-nya secara langsung," jawab Andhika.

"Tadi daun untuk si kuning sudah ada artinya apa?" tanya jaksa.

"Kami artikan uang untuk bayar Rolex sudah ada," jawab Andhika.

Lalu Andhika meminta stafnya bernama Dwi untuk mengurus trasnfer uang itu dari Amiril ke Yosi.

Baca juga: Edhy Prabowo akui tak kuasai detail alur ekspor benur

Baca juga: Edhy Prabowo jelaskan alasan buka keran ekspor benur


"Kemudian Amiril tanya 'Bagaimana kan sudah dibayar, mana barangnya? Saya jawab masih di Dubai. Amiril mengatakan tolong lah ambil, saya katakan saya tidak bisa keluar negeri seenak saya, karena saya pegawai negeri," ungkap Andhika.

Amiril pun menawarkan agar Yosi mengantarkan jam Rolex tersebut ke Jakarta.

"Yosi mengatakan ternyata tanggal 25 mau ke Jakarta ada urusan keluarga jadi dia bawa pulang jam-nya, tapi barang ditahan bea cukai," kata Andhika.

Dalam dakwaan disebutkan Ainul Faqih selaku sekretaris pribadi istri Edhy, Iis Rosita, menggunakan uang dalam rekening-nya atas arahan Amiril Mukminin untuk kepentingan Edhy Prabowo dan Iis Rosita Dewi termasuk untuk membeli 1 jam tangan merek Rolex Yacht Master II Yellow Gold.

Jam itu dibeli di Dubai pada Oktober 2020 senilai Rp700 juta. Namun jam tersebut ditahan petugas bea cukai Bandara Soekarno Hatta dan diminta untuk membayar pajak sekitar Rp175 juta sehingga Amiril Mukminin menyerahkan uang kepada Dwi Kusuma Wijaya sejumlah 10 ribu dolar AS dan Rp71 juta untuk membayar pajak dan mengambil jam tangan itu.