Semarang (ANTARA) - Di tengah pro dan kontra mengenai materi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, muncul wacana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pencabutan UU ITE.

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memang berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Namun, apakah saat ini dalam keadaan genting, menyusul saling lapor di antara anak bangsa terkait dengan pelanggaran pidana di dunia maya?

Diskursus ini sempat muncul ke permukaan. Apa yang disampaikan dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. cukup beralasan. Pasalnya, perbuatan pidana di ruang informasi dan komunikasi dalam internet sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Ditambah lagi, dalam UU ITE banyak pasal yang tidak jelas tolok ukurnya atau pasal karet sehingga cenderung multitafsir, misalnya Pasal 27 dan Pasal 28.

Di dalam Pasal 27 Ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Terkait dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ini termaktub dalam Pasal 310 KUHP. Dalam Pasal 310 terdapat pula unsur sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum, termasuk di dunia maya.

Dalam UU ITE Pasal 28 Ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Baca juga: Revisi UU ITE cegah penyalahgunaan media sosial

SARA
Soal SARA ini juga ada di dalam Pasal 156 KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dijelaskan pula bahwa perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Tidak hanya di dalam KUHP, soal SARA juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam BAB III Pasal 4 disebutkan bahwa tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:

a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau

b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Pembuat undang-undang ini tampaknya sudah mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari dengan adanya frasa "tempat lainnya". Tempat lainnya, menurut Jawade Hafidz, termasuk pula ruang siber atau media sosial.

Baca juga: Revisi UU ITE dan upaya menjaga ruang digital tetap beretika

Khitah
Namun, tidak sedikit yang memandang penting revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan, anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menyinggung kembali filosofi dan tujuan awal pembentukan UU ITE. (Sumber: antaranews.com, 20 Februari 2021)

Namun, apabila filosofi dan tujuan pembentukan undang-undang ini kembali ke khitahnya, yaitu memastikan transaksi elektronik (e-commerce) berjalan dengan baik sehingga hak-hak konsumen bisa terlindungi, tampaknya perlu merevisi batasan istilah "transaksi elektronik".

Masalahnya, dalam UU ITE, definisi "transaksi elektronik" adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Makna "transaksi" versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring adalah persetujuan jual beli dalam perdagangan antara dua pihak. Sementara itu, lema "elektronik" bermakna hal atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika.

Ada pula yang berpendapat bahwa revisi UU ITE diarahkan pada pengaturan pengelolaan teknologi informasi, bukan penekanan pada upaya pemidanaan karena aturan pidana sebaiknya diatur di dalam KUHP.

Persoalan penipuan, penghinaan, penghasutan, adu domba, penyebaran data yang tidak benar, sebagaimana dinyatakan anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, cukup diatur di KUHP.

Mumpung pemerintah belum mengajukan revisi UU ITE ke DPR RI, sebaiknya semua pihak memberikan masukan agar kelak perubahan undang-undang ini tidak menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat yang tengah menghadapi pademi COVID-19.

Diperlukan pula penyelarasan antara RUU ITE dan RUU KUHP, apalagi kedua rancangan undang-undang ini masuk dalam Daftar Perubahan Program Legislasi Nasional RUU Tahun 2020—2024.

Baca juga: Mendamba UU ITE yang menjamin kebebasan berpendapat