Penangkapan 600 perempuan, UN Women kutuk kekerasan di Myanmar
12 Maret 2021 12:54 WIB
Sejumlah orang menghadiri proses pemakaman Kyal Sin (19) alias Angel, seorang pengunjuk rasa yang tewas tertembak oleh pihak militer saat berunjuk rasa menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, Kamis (4/3/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) mengutuk penggunaan kekerasan dan kekuatan mematikan oleh pasukan Myanmar terhadap pengunjuk rasa damai pro demokrasi.
“Tanggapan represif ini telah merenggut nyawa enam perempuan dan mengakibatkan penangkapan hampir 600 perempuan, termasuk perempuan muda, LGBTIQ, dan aktivis masyarakat sipil,” kata Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka dalam pernyataan tertulisnya, Jumat.
“Selain itu, mereka yang ditahan juga dikabarkan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual,” ujar dia, menambahkan.
Baca juga: Tentara Myanmar gunakan taktik tempur lawan protes
Baca juga: PBB gagal kutuk kudeta, pasukan Myanmar kepung pekerja yang mogok
Perempuan telah lama memainkan peran penting dalam sejarah Myanmar, oleh karena itu UN Women memandang perempuan tidak boleh diserang dan dihukum saat menyampaikan ekspresi damai atas pandangan mereka.
Di samping itu, Myanmar merupakan salah satu penandatangan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang antara lain menyatakan bahwa “pembangunan penuh dan lengkap suatu negara, kesejahteraan dunia dan tujuan perdamaian membutuhkan partisipasi maksimum dari perempuan yang setara dengan laki-laki di segala bidang ”dan menjamin“ pelaksanaan dan penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental atas dasar kesetaraan dengan laki-laki".
Komite CEDAW selanjutnya dengan jelas menetapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk diskriminasi yang dilarang berdasarkan konvensi tersebut.
“Kami menyerukan kepada militer dan polisi Myanmar untuk memastikan bahwa hak berkumpul secara damai dihormati sepenuhnya, dan bahwa para demonstran, termasuk wanita, tidak dikenai tindakan balasan,” kata Mlambo-Ngcuka.
Ia selanjutnya menyerukan kepada militer dan polisi Myanmar untuk menghormati hak asasi perempuan yang telah ditangkap dan saat ini ditahan, serta mengulangi seruan PBB untuk segera membebaskan semua tahanan.
Sejak pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi dikudeta oleh militer pada 1 Februari 2021, lebih dari 60 pengunjuk rasa dilaporkan tewas dan sedikitnya 2.000 orang ditahan oleh pasukan keamanan, kata kelompok pembela Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Kudeta yang memicu unjuk rasa hampir di seluruh Myanmar itu dilatarbelakangi tudingan militer atas kecurangan dalam pemilu yang dimenangi partai pimpinan Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pada November tahun lalu.
Namun, tuduhan itu telah ditolak oleh komisi pemilu dan mayoritas rakyat Myanmar yang menginginkan pemerintahan sipil yang demokratis.
Baca juga: Junta Myanmar hapus pemberontak Rakhine dari daftar teroris
Baca juga: Dewan Keamanan PBB kutuk kekerasan di Myanmar
“Tanggapan represif ini telah merenggut nyawa enam perempuan dan mengakibatkan penangkapan hampir 600 perempuan, termasuk perempuan muda, LGBTIQ, dan aktivis masyarakat sipil,” kata Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka dalam pernyataan tertulisnya, Jumat.
“Selain itu, mereka yang ditahan juga dikabarkan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual,” ujar dia, menambahkan.
Baca juga: Tentara Myanmar gunakan taktik tempur lawan protes
Baca juga: PBB gagal kutuk kudeta, pasukan Myanmar kepung pekerja yang mogok
Perempuan telah lama memainkan peran penting dalam sejarah Myanmar, oleh karena itu UN Women memandang perempuan tidak boleh diserang dan dihukum saat menyampaikan ekspresi damai atas pandangan mereka.
Di samping itu, Myanmar merupakan salah satu penandatangan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang antara lain menyatakan bahwa “pembangunan penuh dan lengkap suatu negara, kesejahteraan dunia dan tujuan perdamaian membutuhkan partisipasi maksimum dari perempuan yang setara dengan laki-laki di segala bidang ”dan menjamin“ pelaksanaan dan penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental atas dasar kesetaraan dengan laki-laki".
Komite CEDAW selanjutnya dengan jelas menetapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk diskriminasi yang dilarang berdasarkan konvensi tersebut.
“Kami menyerukan kepada militer dan polisi Myanmar untuk memastikan bahwa hak berkumpul secara damai dihormati sepenuhnya, dan bahwa para demonstran, termasuk wanita, tidak dikenai tindakan balasan,” kata Mlambo-Ngcuka.
Ia selanjutnya menyerukan kepada militer dan polisi Myanmar untuk menghormati hak asasi perempuan yang telah ditangkap dan saat ini ditahan, serta mengulangi seruan PBB untuk segera membebaskan semua tahanan.
Sejak pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi dikudeta oleh militer pada 1 Februari 2021, lebih dari 60 pengunjuk rasa dilaporkan tewas dan sedikitnya 2.000 orang ditahan oleh pasukan keamanan, kata kelompok pembela Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Kudeta yang memicu unjuk rasa hampir di seluruh Myanmar itu dilatarbelakangi tudingan militer atas kecurangan dalam pemilu yang dimenangi partai pimpinan Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pada November tahun lalu.
Namun, tuduhan itu telah ditolak oleh komisi pemilu dan mayoritas rakyat Myanmar yang menginginkan pemerintahan sipil yang demokratis.
Baca juga: Junta Myanmar hapus pemberontak Rakhine dari daftar teroris
Baca juga: Dewan Keamanan PBB kutuk kekerasan di Myanmar
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: