Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus memformulasikan pengaturan terkait pengelolaan perhutanan sosial khususnya untuk Pulau Jawa setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

"Pengaturan ini sangat penting untuk menyehatkan Perum Perhutani agar dapat fokus mengembangkan bisnisnya melalui multi usaha dan pelaksanaan reforma agraria Perhutanan Sosial mampu memberikan kemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat," ujar Menteri LHK Siti Nurbaya dalam pertemuan dengan akademisi dan praktisi, menurut keterangan resmi KLHK di Jakarta pada Rabu.

Dalam pertemuan itu, Menteri LHK bersama akademisi, praktisi dan pakar membahas penyusunan peraturan terkait dengan wilayah kawasan hutan produksi dan lindung di Pulau Jawa yang akan tetap dikelola Perum Perhutani seluas kurang lebih 1,4 juta hektare (ha).

Baca juga: KLHK terapkan Teknik Modifikasi Cuaca atasi karhutla Riau dan Kalbar

Selain itu aturan itu juga akan terkait Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus untuk Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan, Perlindungan Hutan, atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan, kurang lebih seluas satu juta ha.

Dalam pertemuan tersebut, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Penasihat Senior Menteri LHK, San Afri Awang, mengungkapkan dalam wilayah Perum Perhutani terdapat zona tenurial 93.073 ha.

Terdapat pula zona adaptif yang tidak produktif dan konflik sosial terkait lahan seluas 255.290 ha serta terdapat hutan lindung dalam tekanan sosial tinggi seluas 169.939 ha. Sementara itu kinerja 5.600 lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) sebagai mitra Perum Perhutani di Pulau Jawa kurang lebih hanya empat persen.

Terkait hal tersebut, Ketua Asosiasi LMDH M. Adib menjelaskan LMDH adalah perkumpulan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang mempunyai badan hukum selalu diasosiasikan dengan Perum Perhutani, sehingga insentif dari pemerintah berupa bibit, pupuk, dan sarana pertanian lainnya tidak dapat disalurkan oleh pemerintah.

Padahal insentif itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas agroforestri dan karena itu pengaturan yang dapat menghilangkan dikotomi LMDH dan KTH akan menguntungkan bagi kelompok masyarakat petani hutan.

"Apapun namanya, yang penting kegiatan kelompok tani mendapatkan manfaat, misalnya dinamakan Kelompok Perhutanan Sosial dengan unit bisnisnya KUPS," ujar M. Adib.

Baca juga: KLHK lakukan pendekatan bentang alam untuk kekeringan Blora-Kupang
Baca juga: Gakkum KLHK amankan 1.090 ekor burung liar yang akan diselundupkan
Baca juga: KLHK klaim telah restorasi 3,2 juta lahan gambut