Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyambut hasil referendum Swiss yang telah dilaksanakan pada 7 Maret 2021, di mana sebanyak 51,6 persen penduduk Swiss sepakat untuk mendukung Indonesia-EFTA CEPA yang telah disepakati.

“Kami berpandangan bahwa IE-CEPA secara keseluruhan telah concluded pembahasannya oleh para pihak (Indonesia dan EFTA),” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Eko SA Cahyanto lewat keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

Eko menjelaskan skema perjanjian perdagangan komprehensif IE-CEPA dinilai berpeluang untuk lebih meningkatkan akses pasar bagi produk industri Indonesia, termasuk produk sawit dan turunannya.

Pada dasarnya, Swiss tidak perlu khawatir terkait isu keberlangsungan produk sawit Indonesia dan turunannya mengingat telah diterapkannya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

Baca juga: Ratifikasi IE-CEPA, Airlangga: Kampanye negatif sawit tak didukung

Oleh karena itu, menurut Eko, Swiss tidak seharusnya membuat syarat baru dalam bentuk apapun, seperti peraturan terkait keberlangsungan produk sawit dan turunannya (palm oil sustainability) asal Indonesia. Hal ini menanggapi adanya kampanye yang melawan masuknya produk sawit asal Indonesia dan turunannya di Swiss.

“Kemenperin mendukung pemberlakukan sistem sertifikasi ISPO sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia dan turunannya di pasar ekspor, di mana tren konsumen ke depan akan semakin concern pada aspek keberlanjutan (sustainability),” paparnya.

Adanya sistem sertifikasi keberlanjutan produk sawit Indonesia dan turunannya, konsumen produk sawit Indonesia dan turunannya akan mendapatkan jaminan produk yang lestari berkelanjutan (sustainable), berwawasan lingkungan (pro environment), dan mampu telusur asal muasalnya (traceability).

“Indonesia memiliki potensi besar untuk mengisi kebutuhan produk industri di Eropa, yang selama ini sebagian besar pemenuhan kebutuhan akan produk sawit dan turunannya berasal dari negara transit seperti Pantai Gading, Kepulauan Solomon,dan Malaysia,” sebut Eko.

Baca juga: Isu sawit jadi fokus pemungutan suara tentang perdagangan Swiss-RI

Adapun produk hilir sawit yang potensial untuk masuk ke pasar Uni Eropa, termasuk Swiss, antara lain adalah lemak padatan pangan (confectionary), personal wash (sabun, fatty acid, fatty alcohol, glycerin), hingga bahan bakar terbarukan (biodiesel FAME). Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan, devisa ekspor dari produk sawit dan turunannya menyentuh 22,97 miliar dolar AS pada 2020.

“Sepanjang tahun 2020 produksi produk sawit dan turunannya diproyeksi 51,6 juta ton. Bahkan industri ini mendorong kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah terdalam, terluar, dan perbatasan, mengingat 40 persen dari total luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5,72 juta hektar merupakan perkebunan rakyat,” paparnya.

Baca juga: Indonesia ajak Malaysia untuk lawan kampanye negatif kelapa sawit

Selain itu, sektor ini menciptakan lapangan kerja bagi 16 juta orang. Oleh karena itu, pemerintah mengajak seluruh komponen masyarakat untuk turut mengawal daya saing industri produk sawit nasional dan turunannya, termasuk dari kampanye negatif.

Kemenperin juga terus berkomitmen mendukungan pada Program Biodiesel 30 persen (B30) yang untuk tahun ini ditarkgetkan alokasi penyalurannya 9,20 juta kiloliter. Selain itu Kemenperin juga mendukung Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

“Dengan adanya program mandatori biodiesel dan PSR (Replanting), maka struktur industri perkelapasawitan hulu-hilir Indonesia akan semakin mantap, sehingga industri ini akan semakin berkelanjutan di masa mendatang,” tegasnya.

Baca juga: Gapki prediksi ekspor minyak sawit tahun 2021 belum pulih