Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan instrumen sistem ketertelusuran produk sektor kelautan dan perikanan sebagai upaya merespons ketentuan dalam regulasi turunan dari UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah No. 27/2021.

"Sistem ketertelusuran disusun untuk menjawab tiga persoalan," kata Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Rina dalam siaran pers di Jakarta, Jumat.

Rina memaparkan sistem ketertelusuran produk kelautan dan perikanan pertama dapat memberikan tanggapan dan tindakan terhadap risiko potensial uang dapat ditimbulkan dari pangan atau pakan.

Baca juga: Menteri Kelautan: Jaminan mutu ekspor perikanan penting di pasar dunia

Dengan demikian, lanjutnya, ke depan juga dapat menjamin bahwa semua produk pangan dari hasil sektor kelautan dan perikanan aman bagi konsumsi masyarakat.

Kedua, masih menurut dia, sistem ketertelusuran diperlukan oleh otoritas kompeten atau pelaku usaha pangan guna mengidentifikasi suatu risiko dalam penelusuran akar masalah.

Sehingga, lanjut Rina, mereka dinilai dapat pula mengisolasi masalah dan mencegah produk yang terkontaminasi mencapai konsumen. "Terakhir, untuk menarik produk yang menjadi target sehingga mengurangi risiko kerugian dalam perdagangan," sambungnya.

Rina menambahkan sistem ketertelusuran sejalan dengan regulasi internasional seperti Codex Alimentarius Commission Guideline (CAC/GL) 60-2006 yang bertujuan sebagai perlindungan konsumen terhadap bahaya yang ditularkan melalui makanan (food borne hazards).

Baca juga: KKP tenggelamkan 10 kapal asing di Batam

Selain itu, ujar dia, sistem ketertelusuran juga berperan dalam penelusuran praktik penipuan pada perdagangan sekaligus memfasilitasi perdagangan, khususnya keakuratan deskripsi produk.

Untuk itu, Rina menekankan perlunya sistem ketertelusuran produk perikanan dari hulu sampai hilir. Di bidang perikanan tangkap misalnya, ketertelusuran digunakan untuk memastikan ikan yang ditangkap tidak berasal dari aksi IUU fishing atau pencurian ikan, serta bebas dari resiko cemaran kimia, mikrobiologi dan risiko pemalsuan.

"Pastikan pelabelan akurat dan benar serta sistem transportasi yang baik dan tidak menyebabkan resiko keamanan pangan," ucapnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga telah meminta jajarannya terutama BKIPM dan Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDS) untuk memberikan pembinaan yang optimal kepada pelaku usaha guna mencegah penolakan ekspor produk perikanan dari Republik Indonesia.

Sebelumnya, KKP mendorong usaha unit pengolah ikan (UPI) dapat memperbanyak ekspor ke banyak negara dari sebesar 157 negara yang telah bermitra dalam perdagangan dengan Indonesia.

Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Rina memaparkan bahwa sebanyak 2.191 UPI telah terdaftar ke negara mitra pada tahun 2020. UPI tersebut bisa melakukan ekspor ke 157 negara yang telah bermitra dengan Indonesia.

Rina mengungkapkan bahwa jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 11,63 persen dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya untuk negara Republik Rakyat Tiongkok. "Hal ini disebabkan oleh tingginya minat UPI untuk melakukan ekspor ke Tiongkok," kata Kepala BKIPM KKP.

Rina menjabarkan registrasi UPI ke negara mitra tersebut di antaranya, 173 atau 7,9 persen di kawasan Uni Eropa, kemudian 173 atau 7,9 persen ke Norwegia, 544 atau 24,83 persen ke Korea Selatan, dan 563 atau 25,7 persen ke Tiongkok.