Persadia: Jangan remehkan perut buncit
4 Maret 2021 19:59 WIB
Ketua Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) Prof. Dr. Mardi Santoso (kanan bawah) dalam seminar daring bertajuk " Cerdas Baca Label Kemasan, Hindari Risiko Obesitas" di Jakarta, Kamis (4/3/2021). ANTARA/HO-Kemkes
Jakarta (ANTARA) - Ketua Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) wilayah Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok Prof. Dr. Mardi Santoso meminta agar masyarakat jangan meremehkan kondisi perut buncit.
"Jangan remehkan perut buncit," kata Prof Mardi di acara seminar daring bertajuk "Cerdas Baca Label Kemasan, Hindari Risiko Obesitas" di Jakarta, Kamis.
Hal itu karena perut buncit berkaitan dengan gangguan metabolisme yang abnormal, baik dari lemak, peradangan pembuluh darah atau kadar insulin dalam darah, gangguan metabolisme karbohidrat sehingga bisa menimbulkan sejumlah penyakit diantaranya diabetes, darah tinggi, penyakit kardiovaskuler dan penyakit jantung.
Pada 2018, perut buncit pada masyarakat umur > 15 tahun mencapai 31 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Parameter perut buncit di Indonesia adalah pada bila lingkar perut pada laki-laki > 90 cm dan > 80 cm pada perempuan.
"Juga parameter lainnya lemak, tekanan darah, gula darah," kata dokter spesialis penyakit dalam itu.
Baca juga: Kemkes: Obesitas berpotensi meningkat di masa pandemi COVID-19
Baca juga: Makanan siap saji dan olahan tingkatkan obesitas dan kematian
Perut buncit, kata dia, adalah salah satu ciri kelebihan berat badan atau obesitas.
Sementara obesitas bisa berujung pada penyakit tidak menular antara lain prediabetes, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik, gangguan lemak darah, kekentalan darah naik, trombosit menumpuk, kerusakan pembuluh darah, gangguan kesuburan, hipertensi dan kanker.
"Risiko obesitas itu macam-macam diantaranya penyakit kardiovaskuler, ada stroke, penyempitan pembuluh darah, jantung koroner, kaki pincang, syaraf matanya kena retinopati. Lalu kanker. Jadi sel-sel lemak itu mudah berubah jadi keganasan. Jadi orang gemuk itu ternyata tidak menunjukkan kemakmuran, justru berisiko terkena penyakit tidak menular," papar dokter yang praktek di OMNI Hospital Pulomas. .
Untuk menurunkan angka penyakit tidak menular akibat obesitas dan kelebihan berat badan, menurut dia, perlu peranan Kementerian Kesehatan, tokoh masyarakat dan perusahaan-perusahaan makanan.
Mardi menyebut di negara-negara lain, pencegahan tidak hanya dilakukan pada penyakit akibat obesitas, tetapi mereka melakukan upaya pencegahan obesitas dan kelebihan berat badan.
Baca juga: Ahli: Obesitas bisa turunkan imun dan lebih rentan terinfeksi COVID-19
Baca juga: Kemenkes: Obesitas di Indonesia kian meningkat
"Jangan remehkan perut buncit," kata Prof Mardi di acara seminar daring bertajuk "Cerdas Baca Label Kemasan, Hindari Risiko Obesitas" di Jakarta, Kamis.
Hal itu karena perut buncit berkaitan dengan gangguan metabolisme yang abnormal, baik dari lemak, peradangan pembuluh darah atau kadar insulin dalam darah, gangguan metabolisme karbohidrat sehingga bisa menimbulkan sejumlah penyakit diantaranya diabetes, darah tinggi, penyakit kardiovaskuler dan penyakit jantung.
Pada 2018, perut buncit pada masyarakat umur > 15 tahun mencapai 31 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Parameter perut buncit di Indonesia adalah pada bila lingkar perut pada laki-laki > 90 cm dan > 80 cm pada perempuan.
"Juga parameter lainnya lemak, tekanan darah, gula darah," kata dokter spesialis penyakit dalam itu.
Baca juga: Kemkes: Obesitas berpotensi meningkat di masa pandemi COVID-19
Baca juga: Makanan siap saji dan olahan tingkatkan obesitas dan kematian
Perut buncit, kata dia, adalah salah satu ciri kelebihan berat badan atau obesitas.
Sementara obesitas bisa berujung pada penyakit tidak menular antara lain prediabetes, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik, gangguan lemak darah, kekentalan darah naik, trombosit menumpuk, kerusakan pembuluh darah, gangguan kesuburan, hipertensi dan kanker.
"Risiko obesitas itu macam-macam diantaranya penyakit kardiovaskuler, ada stroke, penyempitan pembuluh darah, jantung koroner, kaki pincang, syaraf matanya kena retinopati. Lalu kanker. Jadi sel-sel lemak itu mudah berubah jadi keganasan. Jadi orang gemuk itu ternyata tidak menunjukkan kemakmuran, justru berisiko terkena penyakit tidak menular," papar dokter yang praktek di OMNI Hospital Pulomas. .
Untuk menurunkan angka penyakit tidak menular akibat obesitas dan kelebihan berat badan, menurut dia, perlu peranan Kementerian Kesehatan, tokoh masyarakat dan perusahaan-perusahaan makanan.
Mardi menyebut di negara-negara lain, pencegahan tidak hanya dilakukan pada penyakit akibat obesitas, tetapi mereka melakukan upaya pencegahan obesitas dan kelebihan berat badan.
Baca juga: Ahli: Obesitas bisa turunkan imun dan lebih rentan terinfeksi COVID-19
Baca juga: Kemenkes: Obesitas di Indonesia kian meningkat
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021
Tags: