Wamenkumham: RUU KUHP atur hal penghinaan/penghasutan lewat IT
4 Maret 2021 18:13 WIB
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik "Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dan RUU KUHP" di Semarang, Kamis. (ANTARA/ I.C.Senjaya)
Semarang (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebut RUU KUHP telah lengkap mengatur tentang penghinaan atau penghasutan yang menggunakan sarana teknologi informasi.
"Sesungguhnya ketentuan yang terkait dengan penghinaan simbol negara, penghasutan/ penghinaan yang menggunakan sarana IT telah lengkap diatur dalam RUU KUHP," kata wamenkumham saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik "Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dan RUU KUHP" di Semarang, Kamis.
Oleh karena itu, ia mendorong pengesahan RUU KUHP.
Baca juga: Ketua MA sebut pentingnya pembaruan KUHP dan KUHAP
Nantinya, lanjut dia, Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya akan mengatur tentang alur informasi dan transaksi elektronik yang menggunakan sarana IT.
"Sementara pelanggaran pidananya diatur dalam KUHP," katanya.
75 tahun setelah merdeka, lanjut dia, Indonesia masih menggunakan KUHP warisan Belanda yang dinilai tidak menjamin kepastian hukum.
Baca juga: Prof Barda: KUHP lama belum terintegrasi nilai-nilai Pancasila
Menurut dia, saat ini terdapat KUHP dengan dua jenis terjemahan, yakni versi Moeljatno dan R.Susilo.
"Banyak pasal yang berbeda antara dua terjemahan itu. Sangat signifikan karena berkaitan dengan ancaman pidana," katanya.
Ia menyebut suara-suara yang menolak atau menunda pengesahan RUU KUHP tersebut ingin mempertahankan status quo dan ketidakpastian hukum.
Baca juga: Anggota DPR: RUU KUHP upayakan tidak ada "pasal karet"
"Sesungguhnya ketentuan yang terkait dengan penghinaan simbol negara, penghasutan/ penghinaan yang menggunakan sarana IT telah lengkap diatur dalam RUU KUHP," kata wamenkumham saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik "Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dan RUU KUHP" di Semarang, Kamis.
Oleh karena itu, ia mendorong pengesahan RUU KUHP.
Baca juga: Ketua MA sebut pentingnya pembaruan KUHP dan KUHAP
Nantinya, lanjut dia, Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya akan mengatur tentang alur informasi dan transaksi elektronik yang menggunakan sarana IT.
"Sementara pelanggaran pidananya diatur dalam KUHP," katanya.
75 tahun setelah merdeka, lanjut dia, Indonesia masih menggunakan KUHP warisan Belanda yang dinilai tidak menjamin kepastian hukum.
Baca juga: Prof Barda: KUHP lama belum terintegrasi nilai-nilai Pancasila
Menurut dia, saat ini terdapat KUHP dengan dua jenis terjemahan, yakni versi Moeljatno dan R.Susilo.
"Banyak pasal yang berbeda antara dua terjemahan itu. Sangat signifikan karena berkaitan dengan ancaman pidana," katanya.
Ia menyebut suara-suara yang menolak atau menunda pengesahan RUU KUHP tersebut ingin mempertahankan status quo dan ketidakpastian hukum.
Baca juga: Anggota DPR: RUU KUHP upayakan tidak ada "pasal karet"
Pewarta: Immanuel Citra Senjaya
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: