Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum (JPU) menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi "justice collaborator" atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.

"Menyatakan permohonan terdakwa untuk menjadi 'justice collaborator' tidak dapat diterima," kata JPU Junaedi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Djoko Tjandra mengajukan permohonan "justice collaborator" pada 4 Februari 2021 kepada majelis hakim perihal untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama.

"Berdasarkan fakta-fakta persidangan terungkap bahwa terdakwa Djoko Tjandra merupakan pelaku utama yang melakukan tindak pidana korupsi sebagai pemberi suap, yakni sebagai pemberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari, kepada Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 370 dolar AS serta Brigjen Prasetijo Utomo senilai 100 ribu dolar AS," ujar jaksa Retno Liestyanti.

Selain itu, Djoko Tjandra juga dinilai terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Aguung (MA).

"Atas alasan tersebut di atas, kami berpendapat terdakwa merupakan pelaku utama, sehingga permohonan terdakwa sebagai 'justice collaborator' tersebut selayaknya tidak diterima," kata jaksa Retno pula.

Dalam perkara ini, terpidana kasus "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Djoko Tjandra dinilai terbukti melakukan dua dakwaan, yaitu pertama terbukti menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar 500 ribu dolar AS untuk melakukan pengurusan fatwa MA dari Kejaksaan Agung atas permasalahan hukum yang dihadapi Djoko Tjandra.

Permintaan fatwa MA dari Kejagung itu bertujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009.

Djoko Tjandra juga dinilai terbukti memberikan uang kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 370 dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai 100 ribu dolar AS.

Tujuan pemberian uang tersebut adalah agar Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.

Dalam dakwaan kedua, Djoko Tjandra dinilai terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA.

Dari "action plan" yang dibuat Pinangki bersama dengan Andi Irfan Jaya yang melibatkan Anita Kolopaking tampak 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa MA atas putusan Peninjauan Kembali Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR", yaitu Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan "HA" yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA dengan biaya 10 juta dolar AS.

"Rangkaian pertemuan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari, Anita Dewi Kolopaking dan Andi Irfan Jaya dimaksudkan untuk menggagalkan eksekusi terdakwa Djoko Tjandra sebagai terpidana kasus 'cessie' Bank Bali berdasarkan putusan PK No. 12 tanggal 11 Juni 2009 dengan cara meminta fatwa MA ke Kejagung dengan disepakati memberi uang sebesar 10 juta dolar AS ke penyelenggara negara baik di Kejagung maupun di MA," ungkap jaksa.

Sidang dilanjutkan dengan pembacaan nota pembelaan (pleidoi) pada Senin, 15 Maret 2021.
Baca juga: Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara, denda Rp100 juta
Baca juga: Djoko Tjandra berharap dituntut bebas oleh JPU Kejagung