Mataram (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengatakan pengawasan limbah medis di kota itu dilakukan dari hulu, yakni dari penerbitan izin Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).

"Jika penyelenggara bisnis kesehatan tidak memiliki sistem pengelolaan limbah medis mandiri, maka SPPL tidak kita keluarkan," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mataram M Nazaruddin Fikri di Mataram, Rabu.

Pernyataan itu disampaikan menyikapi adanya temuan limbah medis yang dibuang ke fasilitas publik yakni di objek wisata Pantai Loang Baloq.

Kasus limbah medis yang dibuang di fasilitas publik dan objek wisata bukan menjadi ranah DLH sebab di peraturan daerah (perda) penangan sampah yang ada, tidak termasuk limbah medis. Limbah medis masuk di peraturan lain.

Baca juga: Penanganan limbah medis jelang setahun COVID-19 di Indonesia

Baca juga: Satgas COVID-19 ajak lakukan kelola limbah masker bertanggung jawab


"Kalau ada indikasi temuan limbah medis di buang ke pantai, kami tidak tahu. Masalah itu, perlu diinvestigasi untuk mencari sumbernya dan harus ada saksi. Kami tidak mungkin mengawasi pantai, logika enggak masuk," katanya.

Akan tetapi, pengawasan untuk limbah medis ini dilakukan dari hulu, yakni setiap masyarakat atau pelaku usaha yang akan membuka izin usaha dalam bidang medis, harus membuat SPPL.

"SPPL ini sebagai bukti bahwa mereka sanggup mengelola limbah sendiri, atau bekerja sama dengan pihak ketiga," katanya.

Rumah sakit misalnya, mereka sudah punya insenarator sendiri untuk mengolah limbah medisnya secara mandiri.

Sejauh ini, kata Fikri lagi, rata-rata semua usaha yang berkaitan dengan medis seperti rumah sakit, klinik atau kantor di Kota Mataram yang sudah berizin, memiliki pengelolaan limbah sendiri.*

Baca juga: Satgas minta pelaksana PPKM mikro perhatikan penanganan limbah medis

Baca juga: Bandarlampung belum beri sanksi pada RS yang buang limbah B3 di TPA