Jakarta (ANTARA) - Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta pemerintah segera mengambil kebijakan untuk mengantisipasi penurunan nilai tukar petani (NTP) pada Februari dengan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) padi.

Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Agus Ruli Ardiansyah dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan kenaikan HPP padi diharapkan bisa mengantisipasi kerugian di tingkat petani yang mengalami gagal panen akibat bencana alam dan cuaca ekstrem.

“Untuk tanaman pangan, khususnya padi, pemerintah perlu menaikkan HPP. Hal ini mengingat HPP untuk tanaman padi masih jauh dari harga jual petani di lapangan. Dengan HPP dinaikkan, dapat mengantisipasi kerugian di tingkat petani,” katanya.

Baca juga: Tak dinikmati petani, pemerintah perlu evaluasi kebijakan harga beras

Berdasarkan data BPS, NTP mengalami penurunan pada Februari 2021. BPS menyebutkan NTP nasional pada Februari 2021 berada di angka 103,10 atau turun sebesar 0,15 persen dibandingkan NTP Januari 2021.

Penurunan NTP Februari 2021 ini dipengaruhi turunnya dua NTP subsektor, yakni subsektor tanaman pangan dan subsektor peternakan, masing-masing sebesar 0,84 persen dan 0,33 persen dibandingkan NTP Januari 2021. Sementara itu untuk subsektor hortikultura, terjadi kenaikan sebesar 1,83 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Menurut Agus, penurunan NTP di subsektor tanaman pangan terjadi karena musim panen raya yang terganggu hingga gagal panen dikarenakan faktor bencana alam dan cuaca ekstrem di beberapa wilayah Indonesia.

Baca juga: Serikat petani: bencana alam buat gagal panen dan naiknya harga cabai

Kerugian akibat gagal panen berlanjut pada menurunnya kesejahteraan petani. Agus menekankan bahwa dua faktor tersebut menyebabkan NTP Tanaman Pangan berada di bawah standar yang menunjukkan menurunnya kesejahteraan tersebut.

Terkait bencana banjir yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, Agus Ruli mengingatkan hal ini bukan semata-mata akibat fenomena cuaca ekstrem. Faktor lainnya seperti kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan diduga menjadi penyebab utama bencana banjir.

“Fenomena cuaca ekstrem ini tidak terlepas dari krisis iklim yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Kenyataannya, kondisi ini semakin diperparah oleh rancangan tata ruang dan wilayah yang amburadul, sampai dengan konversi ruang hijau untuk bisnis-bisnis ekstraktif maupun properti. Hal ini yang terjadi di Kalimantan Selatan di mana alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan berdampak pada lahan pertanian. Ini jelas buruk bagi kedaulatan pangan di Indonesia,” kata dia.