Eks dirjen sebut Edhy Prabowo ingin ekspor lobster sejak awal menjabat
3 Maret 2021 13:51 WIB
Mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M. Zulficar Mochtar (batik cokelat) menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT. DPPP Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (3/3). (Desca Lidya Natalia)
Jakarta (ANTARA) - Mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M. Zulficar Mochtar menyebut eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ingin ada ekspor benih lobster sejak awal menjabat yaitu pada November 2019.
"Dalam berbagai pertemuan formal, informal, seminar, lokakarya, Pak Menteri menggambarkan benih lobster ini harus diekspor dengan berbagai pertimbangan sehingga tim yang melakukan 'review' kebijakan yang mendorong agar boleh diekspor dan dibudidayakan," kata Zulficar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Zulficar menyampaikan hal tersebut saat menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT. Dua Putera Perkasa Pratama (PT. DPPP) Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Baca juga: Saksi: KKP dapat bagian Rp1.500 per ekor benih lobster
Baca juga: Stafsus jelaskan penyerahan suap ke Edhy Prabowo
Menurut Zulficar, pada periode Susi Pudjiastuti ada pelarangan untuk mengekspor dan membudidaya benih lobsterberdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 tahun 2016 karena dikhawatirkan hidup lobster tidak berkelanjutan dan biaya budidaya lobster yang mahal sehingga lebih baik mengambil lobster berukuran besar untuk langsung dijual.
"Setelah ganti menteri pada Oktober 2019 kelihatan beliau (Edhy) punya semangat perubahan kebijakan dari era Bu Susi jadi pada November 2019 menteri mengeluarkan instruksi menteri agar ada 29 kebijakan yang harus diubah," ungkap Zulficar.
Khusus untuk Ditjen Perikanan Tangkap, diminta untuk mengubah 18 peraturan.
Namun Zulficar mengaku tidak ikut mengubah Permen KP No 56 tahun 2016 karena peraturan itu "direview" oleh Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) dan Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (BPSDMP KP) serta Dirjen Perikanan Budidaya KKP.
"29 perubahan itu inisiatif langsung menteri, 'input' penasihat, usulan dari mana-mana, lalu 'list-nya' dibuat dalam instruksi menteri," tambah Zulficar.
Akhirnya lahirlah Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia pada 4 Mei 2020.
"Permen ini membolehkan budidaya dan ekspor benih lobster tapi belum bisa diimplementasikan karena butuh banyak petunjuk teknis (juknis) dan harus disusun oleh ditjen terkait, jadi masing-masing ditjen menyusun juknis termasuk ditjen budidaya, ditjen perikanan tangkap, pengawasan, khusus kami ada 6 area fokus juknis," jelas Zulficar.
Baca juga: KPK panggil karyawan swasta penyidikan kasus suap Edhy Prabowo
Baca juga: KPK dalami kebijakan Edhy buka ekspor benur untuk untungkan eksportir
"Dalam berbagai pertemuan formal, informal, seminar, lokakarya, Pak Menteri menggambarkan benih lobster ini harus diekspor dengan berbagai pertimbangan sehingga tim yang melakukan 'review' kebijakan yang mendorong agar boleh diekspor dan dibudidayakan," kata Zulficar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Zulficar menyampaikan hal tersebut saat menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT. Dua Putera Perkasa Pratama (PT. DPPP) Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Baca juga: Saksi: KKP dapat bagian Rp1.500 per ekor benih lobster
Baca juga: Stafsus jelaskan penyerahan suap ke Edhy Prabowo
Menurut Zulficar, pada periode Susi Pudjiastuti ada pelarangan untuk mengekspor dan membudidaya benih lobsterberdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 tahun 2016 karena dikhawatirkan hidup lobster tidak berkelanjutan dan biaya budidaya lobster yang mahal sehingga lebih baik mengambil lobster berukuran besar untuk langsung dijual.
"Setelah ganti menteri pada Oktober 2019 kelihatan beliau (Edhy) punya semangat perubahan kebijakan dari era Bu Susi jadi pada November 2019 menteri mengeluarkan instruksi menteri agar ada 29 kebijakan yang harus diubah," ungkap Zulficar.
Khusus untuk Ditjen Perikanan Tangkap, diminta untuk mengubah 18 peraturan.
Namun Zulficar mengaku tidak ikut mengubah Permen KP No 56 tahun 2016 karena peraturan itu "direview" oleh Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) dan Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (BPSDMP KP) serta Dirjen Perikanan Budidaya KKP.
"29 perubahan itu inisiatif langsung menteri, 'input' penasihat, usulan dari mana-mana, lalu 'list-nya' dibuat dalam instruksi menteri," tambah Zulficar.
Akhirnya lahirlah Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia pada 4 Mei 2020.
"Permen ini membolehkan budidaya dan ekspor benih lobster tapi belum bisa diimplementasikan karena butuh banyak petunjuk teknis (juknis) dan harus disusun oleh ditjen terkait, jadi masing-masing ditjen menyusun juknis termasuk ditjen budidaya, ditjen perikanan tangkap, pengawasan, khusus kami ada 6 area fokus juknis," jelas Zulficar.
Baca juga: KPK panggil karyawan swasta penyidikan kasus suap Edhy Prabowo
Baca juga: KPK dalami kebijakan Edhy buka ekspor benur untuk untungkan eksportir
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021
Tags: