Artikel
Terapi sel punca pasien COVID-19 kritis, lahirkan asa baru
Oleh Indriani
28 Februari 2021 06:31 WIB
Regann Moore, 2, bergembira saat menonton video dari iPadnya saat ayahnya Ferrel Moore berbicara mengenai dirinya pada Kamis (20/2/2020). Moore memiliki penyakit langka yang disebut Krabbe Disease, dan menerima donasi sel punca yang menyelamatkan nyawanya kurang dari sebulan setelah kelahirannya. ANTARA FOTO/NATHAN PAPES-USA TODAY NETWORK/pd/djo
Jakarta (ANTARA) - Pasien COVID-19 yang mempunyai penyakit penyerta atau komorbid kerap mengalami gejala berat seperti sesak napas, yang bisa mengakibatkan gagal napas bahkan mengancam nyawa pasien.
Terapi yang populer digunakan saat ini dalam penanganan pasien COVID-19 di Tanah Air kategori sedang hingga berat adalah terapi plasma konvalesen.
Terapi plasma konvalesen merupakan terapi yang berasal dari plasma darah yang diambil dari pasien yang terdiagnosa COVID-19 dan sudah 14 hari dinyatakan sembuh dari infeksi. Namun terapi tersebut dinilai kurang efektif bagi pasien COVID-19 untuk kategori kritis.
Hasil penelitian tim Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menemukan bahwa terapi dengan menggunakan sel punca mesenkimal (SPM) dapat menjadi alternatif terapi bagi pasien COVID-19 kategori kritis.Penelitian tersebut diketuai oleh Ketua Stem Cell and Tissue Enginering Cluster IMERI FKUI, Prof Dr dr Ismail Hadisoebroto Dilogo SpOT (K).
“Hasil penelitian yang kami lakukan, diketahui bahwa pasien COVID-19 kategori kritis yang mendapatkan terapi SPM tersebut itu memiliki 2,5 kali lipat tingkat keberlangsungan hidupnya atau survival ratenya,” kata Ismail di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jika dilihat dari penyakit penyerta, maka pasien yang mendapatkan terapi sel tersebut memiliki tingkat keberlangsungan hidupnya 4,5 kali lipat dari pasien yang terkontrol. Untuk diketahui pasien COVID-19 kategori kritis memiliki angka mortalitas sebesar 83 persen.
Ismail menjelaskan bahwa penelitian tersebut dilakukan pada 40 pasien COVID-19 kategori kritis di empat rumah sakit yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, dan RSUI. Sebanyak 20 pasien mendapatkan terapi standar ditambah terapi sel punca, dan 20 pasien lainnya mendapatkan terapi standar.
“Semuanya adalah kategori kritis. Kita tahu pasien COVID-19 itu kategorinya ringan,sedang, berat, dan kritis,” tambah dia.
Penerapan SPM pada pasien COVID-19 kategori kritis tersebut dapat secara signifikan menurunkan Interlukin-6 (IL-6) atau sitokin proinflamasi dalam proses pemulihan pasien, dan tidak memiliki efek samping sama sekali.
Ismail menjelaskan SPM menjadi harapan baru bagi pasien COVID-19 terutama yang memiliki penyakit penyerta. Penerapan SPM sebagai terapi adjuvan bagi pasien COVID-19 kritis dapat meningkatkan kelangsungan hidup dengan memodulasi sistem imun ke arah anti-inflamasi atau antiperadangan.
SPM memiliki kemampuan imunnosupresif dengan cara menghambat proliferasi dan sel T menjadi sel T sitotoksik dengan cara interaksi sel ke se dan juga mensekresi soluble factor. SPM juga mempolarisasi sel T menjadi regulator sehingga menurunkan IL-6 dan TNF-Alfa yang berperan penting dalam inflamasi.
Terapi sel
Sel punca mesenkimal atau Mesenchymal stem cells adalah kumpulan sel punca non-hematopoietik yang berasal dari beberapa jaringan dewasa seperti sumsum tulang, jaringan adiposa, pulpa gigi, membran amnion, plasenta, dan cairan ketuban.
“Sel punca yang digunakan berasal dari tali pusat dari bank sel punca,” kata Ismail.
Ia menjelaskan pada pasien COVID-19 terjadi badai sitokin, yang mana kadar sitokin inflamasi yang meningkat. Akibat inflamasi yang hebat maka tak jarang juga terjadi radang paru-paru. Sehingga diperlukan perbaikan jaringan. Perlu substansi yang bisa melakukan immunomodulasi dan juga mampu melakukan perbaikan jaringan.
Hal itu dapat diatasi dengan menggunakan terapi SPM. Terapi sel itu memiliki kelebihan yakni efek immunological yang meregulasi atau menurunkan aktivitas sel T efektor seperti CD4, CD8 dan CD56. Juga memiliki efek endokrin dan parakrin serta efek langsung yang bisa melakukan regenerasi dan transdiferensiasi atau pembaruan sel.
“Yang menarik adalah sel punca memiliki efek parakrin yang mana bisa mensekresi suatu “growth factor”, sitokin dan lainnya. Serta merangsang sel punca endogennya untuk berkembang,” katanya.
SPM melepaskan sekretom, yang terdiri atas lipid, protein, asam nukleat bebas, dan kendaraan ekstraseluler. Penelitian yang lain menyebutkan efek langsung SPM jika ditransplanstasikan sangat sedikit yang bertahan ataupun yang berdiferensiasi menjadi sel matang.
“Sehingga orang berpikir dibandingkan diberi sel punca, kenapa tidak diberi “growth factor” nya saja yang disebut efek parakrin,” katanya.
SPM memiliki kelebihan berperan sebagai imunoregulator, dapat melakukan penyesuaian sel, mensekresi faktor pertumbuhan, sitokin sehingga lebih cepat dalam menghambat badai sitokin, dan mampu melakukan komunikasi sel.
Sementara kekurangan sel punca yakni penyimpanan memerlukan pendingin khusus menggunakan nitrogen, tidak selalu siap untuk digunakan dalam jumlah banyak dan kondisi darurat, waktu dan biaya untuk ekspansi dan pemeliharaan lebih mahal, dan memerlukan skrining ketat untuk menghindari reaksi alergi dan tumorogenesis.
Ke depan, lanjut dia, tidak hanya terapi dengan menggunakan SPM melainkan juga turunannya atau produk metabolit seperti sekretom maupun eksosom.
“Tujuannya agar lebih mudah untuk digunakan, sehingga dapat segera digunakan untuk terapi pada pasien COVID-19 kategori kritis. Seperti diketahui kondisi pasien COVID-19 kategori kritis cepat memburuk.”
Penerapan sekretom memberikan keuntungan termasuk menentukan dosis dan potensi kandungan dapat dimanipulasi, dapat diproduksi dalam jumlah besar dan cepat, lebih aman (imunogenitas rendah, tumorigenesis rendah dan risiko emboli dan infeksi rendah), tahan lama dan penyimpanan mudah, dan lebih murah.
Kekurangannya tidak mampu sebagai imunoregulator, kurang aktif dalam tahap pemulihan penyakit, lebih lambat dalam menghambat badai sitokin dibandingkan SPM, sekretom tidak efektif dalam mengembalikan fungsi paru, susunan maupun memodulasi sistem imun.
Sedangkan produk metabolit lainnya yakni eksosom memiliki kelebihan penetrasi ke jaringan yang lebih tinggi karena ukuran molekul yang lebih kecil, sehingga dapat bermigrasi ke target organ, memfasilitasi antigen presenting, transfer RNA dan reparasi jaringan, lebih murah dari SPM, dan kemampuan komunikasi antarsel baik. Sementara kekurangannya, hingga saat ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dilakukan purifikasi.
Eksosom meningkatkan signal dari mediator ant-iinflamasi dan mengurangi kerusakan jaringan paru dengan cara meningkatkan permeabilitas dan epitel alveolar. Eksosom juga memiliki kemampuan untuk melakukan transfer mitokondria ke sel alveolar sehingga memfasilitasi regenerasi sel.
Saat ini, pihak FKUI sedang mengurus izin terapi SPM pada Badan POM. Guru Besar FKUI itu menyebutkan sudah dimasukkan pada Desember 2020 dan saat ini masih belum terbit, karena ada beberapa proses yang diperbaiki.
Alternatif
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan terapi SPM dan eksosom itu merupakan salah satu alternatif dalam penanganan dan penanggulangan pandemi COVID-19.
Diharapkan Indonesia mempunyai keunggulan dalam terapi sel punca tidak hanya untuk penanganan COVID-19 tetapi secara menyeluruh yang diharapkan bisa meningkatkan kesehatan manusia Indonesia dan bertindak sebagai subtitusi impor.
“Pandemi COVID-19 ini juga menjadi kesempatan untuk bisa meningkatkan kapasitas dan kualitas dari riset stem cell yang ada agar nantinya Indonesia bisa menjadi tuan rumah dalam terapi sel punca di negara sendiri,” kata Menristek.
Rektor Universitas Indonesia Prof Ari Kuncoro mengatakan kebersamaan, kolaborasi dan komitmen merupakan kunci agar bangsa Indonesia dapat bangkit dan maju.
Dalam perayaan Dies Natalis UI ke-71 pada 2 Februari 2021, Rektor UI memberikan penghargaan setinggi-tingginya untuk segenap sivitas akademika, alumni dan mitra UI yang bahu-membahu dalam menanggulangi COVID-19 di Tanah Air.
Sejumlah inovasi telah dilakukan oleh UI mulai dari bilik tes usap, ventilator Covent-20, terapi sel punca untuk penanganan COVID-19, hingga aplikasi untuk membantu pengendalian COVID-19 di Tanah Air.
“UI tetap berkontribusi melalui riset dan bentuk pengabdian lainnya dalam penanganan pandemi COVID-19,” katanya.
UI juga telah meluncurkan Center for Independent Learning (CIL) yang diharapkan menjadi agregator dalam penerapan program Merdeka Belajar.
Dengan riset-riset yang terus dilakukan semacam itu, kini jurus menghadapi COVID-19 semakin beragam sehingga menjadi sumbangsih berharga Indonesia untuk dapat memberikan solusi mengakhiri pandemi ini.
Baca juga: Menristek sebut sel punca berguna untuk terapi pasien COVID-19 berat
Baca juga: UI luncurkan Laboratorium Bioimaging pertama di Indonesia
Baca juga: Kemenkes uji klinis terapi sel punca untuk pasien COVID-19
Baca juga: Medistra-RSCM kerja sama layanani terapi sel punca
Terapi yang populer digunakan saat ini dalam penanganan pasien COVID-19 di Tanah Air kategori sedang hingga berat adalah terapi plasma konvalesen.
Terapi plasma konvalesen merupakan terapi yang berasal dari plasma darah yang diambil dari pasien yang terdiagnosa COVID-19 dan sudah 14 hari dinyatakan sembuh dari infeksi. Namun terapi tersebut dinilai kurang efektif bagi pasien COVID-19 untuk kategori kritis.
Hasil penelitian tim Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menemukan bahwa terapi dengan menggunakan sel punca mesenkimal (SPM) dapat menjadi alternatif terapi bagi pasien COVID-19 kategori kritis.Penelitian tersebut diketuai oleh Ketua Stem Cell and Tissue Enginering Cluster IMERI FKUI, Prof Dr dr Ismail Hadisoebroto Dilogo SpOT (K).
“Hasil penelitian yang kami lakukan, diketahui bahwa pasien COVID-19 kategori kritis yang mendapatkan terapi SPM tersebut itu memiliki 2,5 kali lipat tingkat keberlangsungan hidupnya atau survival ratenya,” kata Ismail di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jika dilihat dari penyakit penyerta, maka pasien yang mendapatkan terapi sel tersebut memiliki tingkat keberlangsungan hidupnya 4,5 kali lipat dari pasien yang terkontrol. Untuk diketahui pasien COVID-19 kategori kritis memiliki angka mortalitas sebesar 83 persen.
Ismail menjelaskan bahwa penelitian tersebut dilakukan pada 40 pasien COVID-19 kategori kritis di empat rumah sakit yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, dan RSUI. Sebanyak 20 pasien mendapatkan terapi standar ditambah terapi sel punca, dan 20 pasien lainnya mendapatkan terapi standar.
“Semuanya adalah kategori kritis. Kita tahu pasien COVID-19 itu kategorinya ringan,sedang, berat, dan kritis,” tambah dia.
Penerapan SPM pada pasien COVID-19 kategori kritis tersebut dapat secara signifikan menurunkan Interlukin-6 (IL-6) atau sitokin proinflamasi dalam proses pemulihan pasien, dan tidak memiliki efek samping sama sekali.
Ismail menjelaskan SPM menjadi harapan baru bagi pasien COVID-19 terutama yang memiliki penyakit penyerta. Penerapan SPM sebagai terapi adjuvan bagi pasien COVID-19 kritis dapat meningkatkan kelangsungan hidup dengan memodulasi sistem imun ke arah anti-inflamasi atau antiperadangan.
SPM memiliki kemampuan imunnosupresif dengan cara menghambat proliferasi dan sel T menjadi sel T sitotoksik dengan cara interaksi sel ke se dan juga mensekresi soluble factor. SPM juga mempolarisasi sel T menjadi regulator sehingga menurunkan IL-6 dan TNF-Alfa yang berperan penting dalam inflamasi.
Terapi sel
Sel punca mesenkimal atau Mesenchymal stem cells adalah kumpulan sel punca non-hematopoietik yang berasal dari beberapa jaringan dewasa seperti sumsum tulang, jaringan adiposa, pulpa gigi, membran amnion, plasenta, dan cairan ketuban.
“Sel punca yang digunakan berasal dari tali pusat dari bank sel punca,” kata Ismail.
Ia menjelaskan pada pasien COVID-19 terjadi badai sitokin, yang mana kadar sitokin inflamasi yang meningkat. Akibat inflamasi yang hebat maka tak jarang juga terjadi radang paru-paru. Sehingga diperlukan perbaikan jaringan. Perlu substansi yang bisa melakukan immunomodulasi dan juga mampu melakukan perbaikan jaringan.
Hal itu dapat diatasi dengan menggunakan terapi SPM. Terapi sel itu memiliki kelebihan yakni efek immunological yang meregulasi atau menurunkan aktivitas sel T efektor seperti CD4, CD8 dan CD56. Juga memiliki efek endokrin dan parakrin serta efek langsung yang bisa melakukan regenerasi dan transdiferensiasi atau pembaruan sel.
“Yang menarik adalah sel punca memiliki efek parakrin yang mana bisa mensekresi suatu “growth factor”, sitokin dan lainnya. Serta merangsang sel punca endogennya untuk berkembang,” katanya.
SPM melepaskan sekretom, yang terdiri atas lipid, protein, asam nukleat bebas, dan kendaraan ekstraseluler. Penelitian yang lain menyebutkan efek langsung SPM jika ditransplanstasikan sangat sedikit yang bertahan ataupun yang berdiferensiasi menjadi sel matang.
“Sehingga orang berpikir dibandingkan diberi sel punca, kenapa tidak diberi “growth factor” nya saja yang disebut efek parakrin,” katanya.
SPM memiliki kelebihan berperan sebagai imunoregulator, dapat melakukan penyesuaian sel, mensekresi faktor pertumbuhan, sitokin sehingga lebih cepat dalam menghambat badai sitokin, dan mampu melakukan komunikasi sel.
Sementara kekurangan sel punca yakni penyimpanan memerlukan pendingin khusus menggunakan nitrogen, tidak selalu siap untuk digunakan dalam jumlah banyak dan kondisi darurat, waktu dan biaya untuk ekspansi dan pemeliharaan lebih mahal, dan memerlukan skrining ketat untuk menghindari reaksi alergi dan tumorogenesis.
Ke depan, lanjut dia, tidak hanya terapi dengan menggunakan SPM melainkan juga turunannya atau produk metabolit seperti sekretom maupun eksosom.
“Tujuannya agar lebih mudah untuk digunakan, sehingga dapat segera digunakan untuk terapi pada pasien COVID-19 kategori kritis. Seperti diketahui kondisi pasien COVID-19 kategori kritis cepat memburuk.”
Penerapan sekretom memberikan keuntungan termasuk menentukan dosis dan potensi kandungan dapat dimanipulasi, dapat diproduksi dalam jumlah besar dan cepat, lebih aman (imunogenitas rendah, tumorigenesis rendah dan risiko emboli dan infeksi rendah), tahan lama dan penyimpanan mudah, dan lebih murah.
Kekurangannya tidak mampu sebagai imunoregulator, kurang aktif dalam tahap pemulihan penyakit, lebih lambat dalam menghambat badai sitokin dibandingkan SPM, sekretom tidak efektif dalam mengembalikan fungsi paru, susunan maupun memodulasi sistem imun.
Sedangkan produk metabolit lainnya yakni eksosom memiliki kelebihan penetrasi ke jaringan yang lebih tinggi karena ukuran molekul yang lebih kecil, sehingga dapat bermigrasi ke target organ, memfasilitasi antigen presenting, transfer RNA dan reparasi jaringan, lebih murah dari SPM, dan kemampuan komunikasi antarsel baik. Sementara kekurangannya, hingga saat ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dilakukan purifikasi.
Eksosom meningkatkan signal dari mediator ant-iinflamasi dan mengurangi kerusakan jaringan paru dengan cara meningkatkan permeabilitas dan epitel alveolar. Eksosom juga memiliki kemampuan untuk melakukan transfer mitokondria ke sel alveolar sehingga memfasilitasi regenerasi sel.
Saat ini, pihak FKUI sedang mengurus izin terapi SPM pada Badan POM. Guru Besar FKUI itu menyebutkan sudah dimasukkan pada Desember 2020 dan saat ini masih belum terbit, karena ada beberapa proses yang diperbaiki.
Alternatif
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan terapi SPM dan eksosom itu merupakan salah satu alternatif dalam penanganan dan penanggulangan pandemi COVID-19.
Diharapkan Indonesia mempunyai keunggulan dalam terapi sel punca tidak hanya untuk penanganan COVID-19 tetapi secara menyeluruh yang diharapkan bisa meningkatkan kesehatan manusia Indonesia dan bertindak sebagai subtitusi impor.
“Pandemi COVID-19 ini juga menjadi kesempatan untuk bisa meningkatkan kapasitas dan kualitas dari riset stem cell yang ada agar nantinya Indonesia bisa menjadi tuan rumah dalam terapi sel punca di negara sendiri,” kata Menristek.
Rektor Universitas Indonesia Prof Ari Kuncoro mengatakan kebersamaan, kolaborasi dan komitmen merupakan kunci agar bangsa Indonesia dapat bangkit dan maju.
Dalam perayaan Dies Natalis UI ke-71 pada 2 Februari 2021, Rektor UI memberikan penghargaan setinggi-tingginya untuk segenap sivitas akademika, alumni dan mitra UI yang bahu-membahu dalam menanggulangi COVID-19 di Tanah Air.
Sejumlah inovasi telah dilakukan oleh UI mulai dari bilik tes usap, ventilator Covent-20, terapi sel punca untuk penanganan COVID-19, hingga aplikasi untuk membantu pengendalian COVID-19 di Tanah Air.
“UI tetap berkontribusi melalui riset dan bentuk pengabdian lainnya dalam penanganan pandemi COVID-19,” katanya.
UI juga telah meluncurkan Center for Independent Learning (CIL) yang diharapkan menjadi agregator dalam penerapan program Merdeka Belajar.
Dengan riset-riset yang terus dilakukan semacam itu, kini jurus menghadapi COVID-19 semakin beragam sehingga menjadi sumbangsih berharga Indonesia untuk dapat memberikan solusi mengakhiri pandemi ini.
Baca juga: Menristek sebut sel punca berguna untuk terapi pasien COVID-19 berat
Baca juga: UI luncurkan Laboratorium Bioimaging pertama di Indonesia
Baca juga: Kemenkes uji klinis terapi sel punca untuk pasien COVID-19
Baca juga: Medistra-RSCM kerja sama layanani terapi sel punca
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021
Tags: