Artikel
Mengakselerasi vaksinasi COVID-19 untuk capai kekebalan kelompok
Oleh Martha Herlinawati S
26 Februari 2021 17:26 WIB
Seorang warga lanjut usia (lansia) menerima suntikan vaksin COVID-19 di Rumah Sakit Al Islam, Bandung, Jawa Barat, Jumat (26/2/2021). Dinas Kesehatan Kota Bandung menargetkan sebanyak 118.870 lansia di Kota Bandung akan divaksinasi COVID-19 pada tahap kedua program vaksinasi nasional. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia terus menggalakkan kegiatan vaksinasi COVID-19 kepada masyarakat secara bertahap di antaranya pada tenaga kesehatan, disusul petugas layanan publik dan para lanjut usia (lansia).
Dari sasaran sebanyak 181.554.465 orang untuk divaksinasi, sebanyak 1.461.920 orang telah diberi vaksin hingga 25 Februari 2021 dan 853.745 orang di antaranya telah mendapat vaksin dengan dosis penuh.
Vaksinasi itu bertujuan untuk menciptakan kekebalan tubuh agar mampu melawan infeksi virus corona jenis baru penyebab COVID-19 hingga akhirnya tercapai kekebalan kelompok (herd immunity).
Vaksin melatih sistem imunitas tubuh untuk menciptakan protein yang melawan penyakit, yang disebut antibodi, seperti yang akan terjadi ketika terpapar suatu penyakit, tetapi yang terpenting adalah vaksin bekerja tanpa membuat seseorang menderita penyakit yang dimaksud.
Justru orang yang divaksinasi dilindungi dari penyakit yang dimaksud dan menularkan patogen dan memutus rantai penularan.
Agar aman membentuk kekebalan kelompok terhadap COVID-19, sebagian besar populasi harus divaksinasi sehingga menurunkan jumlah virus yang menyebar di antara populasi.
Salah satu tujuan mengupayakan kekebalan kelompok adalah untuk menjaga kelompok rentan yang tidak dapat divaksinasi, misalnya karena kondisi kesehatan seperti reaksi alergi terhadap vaksin, agar aman dan terlindungi dari penyakit.
Kekebalan kelompok akan tercapai apabila sebagian besar penduduk telah memiliki antibodi spesifik terhadap penyakit infeksi atau virus tertentu atau dapat juga dikatakan telah mendapatkan imunisasi.
Dengan demikian akan menurunkan dan bahkan memutus rantai penyebaran virus di tengah penduduk.
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dr. James Allan Rarung kepada ANTARA, Jakarta, Jumat (26/2) mengatakan besaran persentase individu atau orang yang telah memiliki antibodi untuk mencapai kekebalan kelompok akan berbeda-beda dari satu penyakit ke penyakit lainnya.
Contohnya, untuk mewujudkan kekebalan kelompok terhadap campak, sekitar 95 persen dari total penduduk harus diimunisasi. 5 persen penduduk lain akan terlindungi karena campak tidak akan menyebar di antara orang-orang yang diimunisasi.
Begitu pula untuk polio, ambangnya adalah kurang lebih 80 persen. Adapun untuk COVID-19, karena merupakan infeksi baru dan masih terus berkembang, maka belum didapatkan data-data empiris mengenai berapa besar persentasenya.
Meskipun demikian, banyak pendapat yang menyatakan bahwa untuk COVID-19 minimal 70-75 persen populasi yang telah imun atau telah diimunisasi, maka akan didapatkan kekebalan kelompok. Namun, tentu saja ke depannya harus dibuktikan dalam berbagai penelitian.
Menurut Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wien Kusharyoto, tercapainya kekebalan komunitas tergantung pada keberhasilan program vaksinasi ditambah kontribusi dari mereka yang sudah pernah terinfeksi dan kemudian memiliki kekebalan terhadapnya.
Kalau berdasarkan data, baru sekitar 1,31 juta penduduk Indonesia yang positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, meskipun mungkin jumlahnya 3-5 kali lebih besar dari angka tersebut mengingat banyak yang tergolong orang tanpa gejala dan tidak terdeteksi.
Untuk mencapai kekebalan kelompok sebesar 70-75 persen, maka minimal 80 persen penduduk Indonesia perlu divaksinasi, itupun dengan asumsi bahwa efektivitas vaksin sebesar 90 persen.
Jika penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa, maka sekitar 216 juta orang harus imun terhadap infeksi virus penyebab COVID-19.
Keberhasilan mencapai kekebalan kelompok juga tergantung kecepatan proses vaksinasi di Indonesia.
Vaksinasi mandiri
Pakar epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Defriman Djafri Ph.D mengatakan untuk mewujudkan kekebalan kelompok, maka saat sekarang harus meningkatkan tingkat atau akses vaksinasi (vaccination rate) ketika efikasi vaksin sudah memadai/memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Strategi komunikasi dan akselerasi akses vaksin ke depan perlu dipersiapkan.
Vaksinasi mandiri menjadi harapan baru untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap vaksin ke depan.
Tantangan vaksinasi mandiri adalah perlu kontrol pemerintah yang sangat ketat, mulai dari distribusi rantai dingin, pelaksanaan hingga pemantauan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) ke depan.
Vaksinasi mandiri itu harus dipastikan ada dalam kendali pemerintah bukan pihak swasta.
Dengan demikian, pemerintah dan swasta bersama-sama mengawal vaksinasi mandiri dengan satu tujuan mempercepat akselerasi akses vaksinasi untuk berdampak pada populasi yakni terbentuknya kekebalan kelompok.
Pembentukan antibodi dan imun masing-masing individu sangat bervariasi, bisa cepat bisa lambat, tergantung kondisi tubuh individu tersebut.
Setelah pemberian dosis kedua pada vaksinasi periode saat ini, kekebalan tubuh individu akan terbentuk biasanya dua pekan atau sekitar 26 hari kemudian, tetapi itu juga tergantung dari kondisi tubuh individu itu.
Protokol kesehatan
Meskipun telah menerima vaksin, namun harus tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat karena sampai saat ini tidak ada yang bisa memastikan berapa lama kekebalan tubuh yang terbentuk akan bertahan.
WHO mengatakan kekebalan terhadap COVID-19 masih dipelajari. Kebanyakan orang yang terinfeksi COVID-19 membangun respons kekebalan dalam beberapa pekan pertama setelah terinfeksi, tetapi sampai sekarang belum diketahui seberapa kuat atau tahan lama kekebalan itu, atau bagaimana perbedaannya untuk tiap orang. Ada juga laporan bahwa orang terinfeksi COVID-19 untuk kedua kalinya.
Penelitian juga masih berlangsung tentang seberapa kuat perlindungan dan berapa lama kekebalan itu bertahan.
Sampai benar-benar lebih memahami kekebalan COVID-19, protokol kesehatan tetap diprioritaskan.
Protokol kesehatan dilakukan antara lain dengan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Karena itu, protokol kesehatan menjadi bagian dari strategi utama untuk pencegahan dan pengendalian penyebaran COVID-19.
WHO juga sedang mencari tahu apakah kekuatan dan lamanya respons imun bergantung pada jenis infeksi yang diderita seseorang, seperti tanpa gejala (asimtomatik), ringan atau parah. Bahkan orang tanpa gejala tampaknya mengembangkan respons kekebalan.
Secara global, data dari studi seroprevalensi menunjukkan bahwa kurang 10 persen dari mereka yang diteliti telah terinfeksi, yang berarti bahwa sebagian besar populasi dunia tetap rentan terhadap virus itu.
Untuk virus Corona lain seperti flu biasa, SARS-CoV-1 dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS), kekebalan menurun seiring waktu, seperti halnya penyakit lain. Sementara orang yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 mengembangkan antibodi dan kekebalan, namun belum tahu berapa lama kekebalan itu bertahan.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menuturkan sebelum ada vaksin tetap harus menjalankan protokol kesehatan, dan setelah ada vaksin, bukan berarti protokol kesehatan ditinggalkan.
Vaksin itu harus berdampingan dengan protokol kesehatan. Keduanya bermanfaat untuk menjaga diri tidak tertular COVID-19.
Setelah mendapat vaksin dengan dosis penuh, tetap masih butuh beberapa lama hingga antibodi yang benar-benar bisa melindungi terbentuk.
Mencapai kekebalan kelompok dengan vaksin yang aman dan efektif akan membuat kasus penyakit semakin jarang dan menyelamatkan banyak nyawa.
Perlu dipahami bahwa vaksin tidak serta merta mengakhiri pandemi COVID-19. Masih banyak hal yang harus dicaritahu tentang virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 supaya benar-benar memahami virus itu sepenuhnya, dan pengetahuan baru tentang virus tersebut akan berguna untuk diagnosa dan penanganan pandemi itu ke depannya.
Tetap setelah vaksinasi, masih butuh waktu untuk betul-betul mengenal virus dan mengeliminasi virusnya. Contohnya saja, cacar butuh waktu 200 tahun untuk benar-benar hilang dari bumi.
Untuk itu, jangan sampai lengah dalam menghadapi COVID-19. Tetaplah mawas diri dengan melakukan protokol kesehatan dan menjalani vaksinasi.
Baca juga: IDI: Kekebalan kelompok lindungi masyarakat yang tidak divaksin
Baca juga: Bappenas proyeksi RI bakal capai "herd immunity" pada Maret 2022
Baca juga: Jepang mungkin mencapai kekebalan kelompok COVID pada Oktober
Baca juga: Kemenkes: Sasaran 181,5 juta vaksin untuk capai kekebalan kelompok
Dari sasaran sebanyak 181.554.465 orang untuk divaksinasi, sebanyak 1.461.920 orang telah diberi vaksin hingga 25 Februari 2021 dan 853.745 orang di antaranya telah mendapat vaksin dengan dosis penuh.
Vaksinasi itu bertujuan untuk menciptakan kekebalan tubuh agar mampu melawan infeksi virus corona jenis baru penyebab COVID-19 hingga akhirnya tercapai kekebalan kelompok (herd immunity).
Vaksin melatih sistem imunitas tubuh untuk menciptakan protein yang melawan penyakit, yang disebut antibodi, seperti yang akan terjadi ketika terpapar suatu penyakit, tetapi yang terpenting adalah vaksin bekerja tanpa membuat seseorang menderita penyakit yang dimaksud.
Justru orang yang divaksinasi dilindungi dari penyakit yang dimaksud dan menularkan patogen dan memutus rantai penularan.
Agar aman membentuk kekebalan kelompok terhadap COVID-19, sebagian besar populasi harus divaksinasi sehingga menurunkan jumlah virus yang menyebar di antara populasi.
Salah satu tujuan mengupayakan kekebalan kelompok adalah untuk menjaga kelompok rentan yang tidak dapat divaksinasi, misalnya karena kondisi kesehatan seperti reaksi alergi terhadap vaksin, agar aman dan terlindungi dari penyakit.
Kekebalan kelompok akan tercapai apabila sebagian besar penduduk telah memiliki antibodi spesifik terhadap penyakit infeksi atau virus tertentu atau dapat juga dikatakan telah mendapatkan imunisasi.
Dengan demikian akan menurunkan dan bahkan memutus rantai penyebaran virus di tengah penduduk.
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dr. James Allan Rarung kepada ANTARA, Jakarta, Jumat (26/2) mengatakan besaran persentase individu atau orang yang telah memiliki antibodi untuk mencapai kekebalan kelompok akan berbeda-beda dari satu penyakit ke penyakit lainnya.
Contohnya, untuk mewujudkan kekebalan kelompok terhadap campak, sekitar 95 persen dari total penduduk harus diimunisasi. 5 persen penduduk lain akan terlindungi karena campak tidak akan menyebar di antara orang-orang yang diimunisasi.
Begitu pula untuk polio, ambangnya adalah kurang lebih 80 persen. Adapun untuk COVID-19, karena merupakan infeksi baru dan masih terus berkembang, maka belum didapatkan data-data empiris mengenai berapa besar persentasenya.
Meskipun demikian, banyak pendapat yang menyatakan bahwa untuk COVID-19 minimal 70-75 persen populasi yang telah imun atau telah diimunisasi, maka akan didapatkan kekebalan kelompok. Namun, tentu saja ke depannya harus dibuktikan dalam berbagai penelitian.
Menurut Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wien Kusharyoto, tercapainya kekebalan komunitas tergantung pada keberhasilan program vaksinasi ditambah kontribusi dari mereka yang sudah pernah terinfeksi dan kemudian memiliki kekebalan terhadapnya.
Kalau berdasarkan data, baru sekitar 1,31 juta penduduk Indonesia yang positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, meskipun mungkin jumlahnya 3-5 kali lebih besar dari angka tersebut mengingat banyak yang tergolong orang tanpa gejala dan tidak terdeteksi.
Untuk mencapai kekebalan kelompok sebesar 70-75 persen, maka minimal 80 persen penduduk Indonesia perlu divaksinasi, itupun dengan asumsi bahwa efektivitas vaksin sebesar 90 persen.
Jika penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa, maka sekitar 216 juta orang harus imun terhadap infeksi virus penyebab COVID-19.
Keberhasilan mencapai kekebalan kelompok juga tergantung kecepatan proses vaksinasi di Indonesia.
Vaksinasi mandiri
Pakar epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Defriman Djafri Ph.D mengatakan untuk mewujudkan kekebalan kelompok, maka saat sekarang harus meningkatkan tingkat atau akses vaksinasi (vaccination rate) ketika efikasi vaksin sudah memadai/memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Strategi komunikasi dan akselerasi akses vaksin ke depan perlu dipersiapkan.
Vaksinasi mandiri menjadi harapan baru untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap vaksin ke depan.
Tantangan vaksinasi mandiri adalah perlu kontrol pemerintah yang sangat ketat, mulai dari distribusi rantai dingin, pelaksanaan hingga pemantauan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) ke depan.
Vaksinasi mandiri itu harus dipastikan ada dalam kendali pemerintah bukan pihak swasta.
Dengan demikian, pemerintah dan swasta bersama-sama mengawal vaksinasi mandiri dengan satu tujuan mempercepat akselerasi akses vaksinasi untuk berdampak pada populasi yakni terbentuknya kekebalan kelompok.
Pembentukan antibodi dan imun masing-masing individu sangat bervariasi, bisa cepat bisa lambat, tergantung kondisi tubuh individu tersebut.
Setelah pemberian dosis kedua pada vaksinasi periode saat ini, kekebalan tubuh individu akan terbentuk biasanya dua pekan atau sekitar 26 hari kemudian, tetapi itu juga tergantung dari kondisi tubuh individu itu.
Protokol kesehatan
Meskipun telah menerima vaksin, namun harus tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat karena sampai saat ini tidak ada yang bisa memastikan berapa lama kekebalan tubuh yang terbentuk akan bertahan.
WHO mengatakan kekebalan terhadap COVID-19 masih dipelajari. Kebanyakan orang yang terinfeksi COVID-19 membangun respons kekebalan dalam beberapa pekan pertama setelah terinfeksi, tetapi sampai sekarang belum diketahui seberapa kuat atau tahan lama kekebalan itu, atau bagaimana perbedaannya untuk tiap orang. Ada juga laporan bahwa orang terinfeksi COVID-19 untuk kedua kalinya.
Penelitian juga masih berlangsung tentang seberapa kuat perlindungan dan berapa lama kekebalan itu bertahan.
Sampai benar-benar lebih memahami kekebalan COVID-19, protokol kesehatan tetap diprioritaskan.
Protokol kesehatan dilakukan antara lain dengan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Karena itu, protokol kesehatan menjadi bagian dari strategi utama untuk pencegahan dan pengendalian penyebaran COVID-19.
WHO juga sedang mencari tahu apakah kekuatan dan lamanya respons imun bergantung pada jenis infeksi yang diderita seseorang, seperti tanpa gejala (asimtomatik), ringan atau parah. Bahkan orang tanpa gejala tampaknya mengembangkan respons kekebalan.
Secara global, data dari studi seroprevalensi menunjukkan bahwa kurang 10 persen dari mereka yang diteliti telah terinfeksi, yang berarti bahwa sebagian besar populasi dunia tetap rentan terhadap virus itu.
Untuk virus Corona lain seperti flu biasa, SARS-CoV-1 dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS), kekebalan menurun seiring waktu, seperti halnya penyakit lain. Sementara orang yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 mengembangkan antibodi dan kekebalan, namun belum tahu berapa lama kekebalan itu bertahan.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menuturkan sebelum ada vaksin tetap harus menjalankan protokol kesehatan, dan setelah ada vaksin, bukan berarti protokol kesehatan ditinggalkan.
Vaksin itu harus berdampingan dengan protokol kesehatan. Keduanya bermanfaat untuk menjaga diri tidak tertular COVID-19.
Setelah mendapat vaksin dengan dosis penuh, tetap masih butuh beberapa lama hingga antibodi yang benar-benar bisa melindungi terbentuk.
Mencapai kekebalan kelompok dengan vaksin yang aman dan efektif akan membuat kasus penyakit semakin jarang dan menyelamatkan banyak nyawa.
Perlu dipahami bahwa vaksin tidak serta merta mengakhiri pandemi COVID-19. Masih banyak hal yang harus dicaritahu tentang virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 supaya benar-benar memahami virus itu sepenuhnya, dan pengetahuan baru tentang virus tersebut akan berguna untuk diagnosa dan penanganan pandemi itu ke depannya.
Tetap setelah vaksinasi, masih butuh waktu untuk betul-betul mengenal virus dan mengeliminasi virusnya. Contohnya saja, cacar butuh waktu 200 tahun untuk benar-benar hilang dari bumi.
Untuk itu, jangan sampai lengah dalam menghadapi COVID-19. Tetaplah mawas diri dengan melakukan protokol kesehatan dan menjalani vaksinasi.
Baca juga: IDI: Kekebalan kelompok lindungi masyarakat yang tidak divaksin
Baca juga: Bappenas proyeksi RI bakal capai "herd immunity" pada Maret 2022
Baca juga: Jepang mungkin mencapai kekebalan kelompok COVID pada Oktober
Baca juga: Kemenkes: Sasaran 181,5 juta vaksin untuk capai kekebalan kelompok
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021
Tags: