Jakarta (ANTARA) - Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso menilai harga rokok di pasaran masih terjangkau meski pemerintah telah menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dari tahun ke tahun.

Menurut Sumarjati, rokok murah merupakan hambatan untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia, khususnya perokok anak-anak. Upaya pengendalian tembakau di Tanah Air pun dikhawatirkan menjadi tidak optimal.

"Menteri keuangan menaikkan cukai rokok 12,5 persen sehingga harga rokok sedikit naik. Penerimaan APBN juga naik. Tetapi itu dari kami, rasanya kurang tinggi karena rokok masih terjangkau," ujar Sumarjati melalui keterangan di Jakarta, Kamis.

Baca juga: CISDI: Kenaikan tarif cukai tak serta merta pengaruhi harga rokok

Terlebih pada praktiknya peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk harga rokok diduga banyak dilanggar oleh perusahaan dengan menjual produknya di bawah batasan harga yang sudah ditetapkan, yang akhirnya menyebabkan harga rokok tidak naik secara signifikan sekalipun cukai rokok telah naik.

​​​​​​Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 disebutkan bahwa harga transaksi pasar (HTP) atau harga di pasaran diatur dengan batas 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum pada pita cukai.

Pemerintah memiliki target untuk menurunkan prevalensi perokok anak sesuai dengan RPJMN 2020-2024 dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen, namun diprediksi akan semakin sulit dicapai ketika di lapangan harga rokok masih terjangkau.

"Kenaikan cukai mungkin menurunkan jumlah rokoknya, tetapi yang merokok tetap banyak," kata Sumarjati.

Baca juga: Kemenkeu jelaskan alasan beda tarif cukai SKM dan SPM

Dia khawatir angka perokok di Indonesia yang terus meningkat tersebut akan mengancam bonus demografi yang dimiliki Indonesia.

"Sebetulnya bonus demografi itu kan sudah ada. Tetapi yang kita harapkan kan sebetulnya "window opportunity", ada peluang keberuntungan dari bonus demografi itu. Itu ada syaratnya yaitu penduduk usia produktif itu berkualitas," ujar Sumarjati.

Sumarjati menyayangkan jika kelak penduduk usia produktif alias bonus demografi pada 2030 tidak akan memberikan keuntungan karena sejak anak-anak sudah merokok.

"Mereka tidak produktif, apalagi ada pandemi Covid-19 sekolahnya juga terbengkelai. Jadi bayangkan kualitasnya bagaimana," katanya.

Dia menekankan betapa pentingnya kualitas sumber daya manusia sehingga memahami bahaya rokok perlu terus digencarkan melalui edukasi dan sosialisasi.

Selain itu, lanjutnya, pengawasan rokok di pasaran harus terus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai, baik pusat maupun daerah.

"Sebetulnya untuk pengawasan itu Bea Cukai di pusat, dan tentunya di daerah-daerah juga. Jadi termasuk misalnya dari dinas perdagangan di daerah dan dari pemerintah daerah ikut mengawasi mestinya," ujar Sumarjati.