Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat politik Universitas Jember (Unej) Agus Trihartono PhD mengatakan Pemerintah Republik Indonesia harus menegaskan ulang (reafirmasi) sikapnya terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Myanmar.

"Penegasan sikap pemerintah terhadap masalah Myanmar itu sebaiknya disampaikan langsung oleh pejabat tinggi negara, seperti Menteri Luar Negeri," katanya saat berdiskusi mengenai permasalahan Myanmar di ruang Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) di kampus Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu.

Menurutnya adanya penegasan ulang itu diharapkan dapat mengubah pendapat dan pandangan sebagian pihak di Myanmar yang beranggapan bahwa Indonesia mendukung keberadaan junta militer yang saat ini menguasai pemerintahan Myanmar.

"Pemerintah Indonesia pada prinsipnya sudah menyatakan menolak kudeta dan mengharapkan tidak ada pertumpahan darah di Myanmar, serta mendukung penyelesaian masalah melalui proses hukum," tutur-nya.

Prinsip tersebut sudah dikomunikasikan kepada junta militer, baik oleh Indonesia maupun melalui forum ASEAN, tetapi perlu diketahui bahwa pada tataran diplomasi dan negosiasi antar-negara, Indonesia memilih tidak lantas serta merta menghakimi lawan negosiasi agar maksud dan tujuan negosiasi dapat tercapai.

"Apalagi di kalangan internal ASEAN ada kesepakatan untuk tidak saling mencampuri urusan dalam negeri anggotanya secara langsung," ucap pengajar Program Studi Hubungan Internasional FISIP Unej itu.

Namun sikap tersebut dipandang warga Myanmar, terutama para pegiat demokrasi-nya sebagai bentuk dukungan kepada junta militer.

Baca juga: KBRI Yangon didemo, Indonesia bantah dukung pemilu baru di Myanmar

Baca juga: Lakukan "shuttle diplomacy", Menlu RI bahas isu Myanmar dengan ASEAN


"Oleh karena itu, saya mengusulkan penegasan ulang sikap Pemerintah RI oleh pejabat tinggi negara, dibarengi dengan membangun relasi dan komunikasi yang intens di tingkat akar rumput di Myanmar, khususnya dengan para pegiat demokrasi," katanya.

Ia mengatakan relasi dan komunikasi di tingkat akar rumput itu bisa dilakukan oleh para pegiat LSM, dosen dan kalangan lainnya di Indonesia, sehingga dengan kata lain harus ada orang di level kedua yang menjelaskan posisi Indonesia kepada kolega-nya di Myanmar.

"Saya banyak mendapatkan pesan dan email dari kolega di Myanmar yang merasa kecewa dengan sikap Indonesia, bahkan Kedubes RI di Myanmar sempat didemo. Mereka menyatakan tidak percaya lagi dengan Indonesia," ujarnya.

Agus mengaku telah menjelaskan kepada mereka tentang prinsip Indonesia yang tidak setuju kudeta, mengharapkan tidak ada pertumpahan darah di Myanmar, serta mendukung penyelesaian masalah melalui proses hukum.

"Indonesia dan ASEAN sudah dan terus melakukan usaha pendekatan kepada junta militer," ucap dosen yang pernah berkunjung ke Myanmar pada tahun 2016, 2017 dan 2019.

Di lain sisi, lulusan Ritsumeikan University Jepang itu memaklumi kekecewaan sebagian kolega-nya dan warga Myanmar karena pegiat demokrasi, LSM, warga, serta kolega dosen dan peneliti di Myanmar menjadikan Indonesia sebagai contoh bagaimana peralihan tongkat kekuasaan dari militer ke sipil seharusnya berjalan.

"Tidak heran jika banyak di antara mereka yang berharap junta militer Myanmar akan menjadikan kasus Indonesia sebagai panduan dalam menjalankan proses demokrasi," tutur-nya,

Ia menilai Pemerintah Indonesia masih dipandang, didengar dan dihormati oleh banyak kalangan di Myanmar, oleh karena itu permasalahan Myanmar harus mendapatkan perhatian serius Pemerintah Indonesia agar diplomasi dan soft power tetap terjaga di wilayah Asia Tenggara.

Baca juga: Pertimbangkan situasi, Menlu RI tahan rencana kunjungan ke Myanmar