Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menilai langkah merevisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus dibarengi dengan kemauan politik atau "political will" pemerintah dan kesadaran hukum masyarakat.

Menurut dia, kalau kedua hal tersebut tidak bisa terus dibangun maka tidak ada jaminan kriminalisasi akan berhenti seperti yang menjadi kritik masyarakat dalam penerapan UU ITE.

"Jika terjadi revisi kembali terhadap UU ITE, menjadi penting untuk mendudukan undang-undang ini secara tepat. Jangan sampai UU ITE bisa menjadi UU sapu jagat," kata Didik di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan "political will" pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menerapkan UU ITE juga sangat menentukan karena penyikapan dan penindakan yang represif dan tidak terukur bisa menumbuhsuburkan kriminalisasi.

Baca juga: Aktivis: Bijak bermedsos tak cukup UU ITE saja tapi diikuti edukasi
Baca juga: PKB: Wacana Perppu UU ITE belum penuhi syarat kegentingan
Baca juga: PPP: Wacana keluarkan Perppu UU ITE bukan pilihan ideal


Politisi Partai Demokrat itu meyakini pemerintah yang adil dan demokratis akan bisa mencegah munculnya berbagai bentuk kriminalisasi.

"Kalau melihat munculnya potensi kriminalisasi yang semakin bertambah dan merugikan masyarakat serta dirasa tidak lagi menampung kebutuhan masyarakat, maka rencana revisi UU ITE bisa dimengerti selama perubahan tersebut menyangkut norma substantifnya yang berpotensi dijadikan alat kriminalisasi," ujarnya.

Menurut dia, harus dipahami bahwa potensi kriminalisasi tidak hanya terkait dengan muatannya saja tapi juga bisa diakibatkan adanya disorientasi atas penegakan hukum dan proses pemidanaannya.

Hal itu menurut Didik yang juga harus menjadi satu kesatuan dalam pembenahannya dan harus dilakukan secara utuh serta komprehensif.

"Karena ancaman kriminalisasi bisa mengganggu begitu banyak aspek kehidupan, termasuk kebebasan berpendapat dan mengekspresikan kritik," katanya.

Dia menilai perkembangan terkini, potensi disorientasi terhadap penerapan pasal-pasal terkait defamasi atau pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan asusila bisa menjadi alat kriminalisasi.

Menurut dia, apabila penegakan hukumnya tidak dilakukan secara tepat dan proporsional, tidak arif dan bijaksana, serta tidak dilakukan secara selektif, maka tidak tertutup kemungkinan akan terus "memakan" korban.

Didik mengatakan revisi UU ITE sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 yang merupakan usulan DPR sehingga agar dapat segera dibahas perlu dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021.

"Secara teknis pemerintah memahami betul apa yang harus dilakukan, karena itu adalah proses baku yang sering dilakukan," ujarnya.