Jakarta (ANTARA) - Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan rekombinasi beberapa varian virus corona bisa berpengaruh pada aspek diagnostik dan pengembangan vaksin COVID-19.

"Kalau terjadi perubahan pada RBD (receptor-binding domain) yang menjadi vaksin maka bisa saja vaksinnya tidak efektif. Tidak hanya vaksin ya... diagnostik juga begitu bisa saja memengaruhi," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan domain pengikat reseptor (RBD) adalah bagian penting dari virus yang terletak di protein "spike" yang memungkinkan virus melekat pada reseptor tubuh untuk masuk ke dalam sel dan menyebabkan infeksi.

RBD menjadi target utama dalam pencegahan dan pengobatan infeksi virus termasuk virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 sehingga jika terjadi perubahan signifikan pada RBD, kata dia, maka dapat memengaruhi karakteristik virus, dan berdampak pula pada aspek pengembangan vaksin COVID-19 agar tetap manjur.

Amin mengatakan rekombinasi beberapa varian SARS-CoV-2 membentuk varian baru sangat mungkin terjadi, meskipun saat ini belum ada laporan ilmiah bahwa telah terjadi rekombinasi beberapa varian SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19.

Ia mengatakan apabila dua varian virus hidup berdampingan, sangat dimungkinkan terjadi penggabungan antara materi genetik dari keduanya.

"Saat ini, yang diidentifikasi adalah munculnya varian baru karena mutasi saja," katanya.

Mutasi, kata dia, dapat menyebabkan dampak negatif atau positif pada virus. Dampak negatifnya adalah membuat virus menjadi lemah yang pada akhirnya bisa tereliminasi dari proses seleksi lingkungan karena hanya virus yang kuat yang mampu melewati proses seleksi dan akan tetap bertahan.

Sementara dampak positif bagi virus adalah membuat virus semakin kuat, memungkinkan virus lebih cepat menular dan meningkatkan keparahan penyakit.

Jika virus bisa lolos dari tekanan lingkungan dan seleksi antibodi dari vaksinasi, katanya, maka semakin lama virusnya semakin kuat dan bisa melepaskan diri dari tekanan vaksin. Itu menyebabkan virus bisa resisten tehadap antibodi yang diciptakan dari vaksin, dan ini menjadi tantangan baru.

"Kejadian tersebut terjadi pada virus influenza," katanya.

Oleh karena itu, vaksin untuk mencegah infeksi virus influenza harus disesuaikan secara berkala dan perlu dipastikan setelah dua atau tiga tahun virus yang beredar itu masih sama seperti dulu atau tidak. Jika sudah berubah dan membawa dampak signifikan, maka vaksin yang dipakai harus diubah juga, demikian Amin Soebandrio.

Baca juga: LIPI sedang proses produksi protein rekombinan untuk vaksin COVID-19

Baca juga: Eikjman: Plasma konvalesen untuk terapi, bukan untuk pencegahan

Baca juga: Peneliti: Ada kemungkinan rekombinasi virus di trenggiling

Baca juga: Menristek: Vaksin Merah Putih dalam tahap kloning protein rekombinan