AMSI: Tidak mudah memberitakan kekerasan seksual di media digital
23 Februari 2021 21:28 WIB
Psikolog Yayasan Pulih Ika Putri Dewi dalam acara kampanye Stop Sexual Violence, secara virtual, Jumat (19/02/2021). (Antara/Ayu Khania Pranisitha/2021)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut mengatakan tidak mudah memberitakan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di media digital karena dampaknya kepada keluarga korban maupun pelaku lebih besar.
"Selalu ada relasi kuasa yang timpang antara korban dengan pelaku. Dalam situasi yang tidak adil itu, media harus berpihak kepada korban tetapi tetap menempatkan keberpihakan itu agar tidak menimbulkan implikasi yang lain," kata Wens dalam seminar daring tentang pers dan keadilan korban kekerasan seksual yang diikuti dari Jakarta, Selasa.
Wens mengatakan sekitar 11 tahun lalu pernah didatangi seorang ibu dan anak laki-lakinya. Ternyata anak laki-laki tersebut pernah menjadi pelaku pelecehan seksual dan saat itu kesulitan dalam mencari kerja bahkan menikah karena perusahaan tempat dia melamar kerja dan calon mertuanya melacak rekam jejaknya melalui pemberitaan di media digital.
Ibu dan anak itu meminta agar pemberitaan tentang kasus pelecehan seksual yang pernah dilakukan dihapus dari media digital. Menurut si ibu, anaknya sudah mendapatkan hukuman dari perbuatannya sebelumnya, tetapi mendapatkan hukuman tambahan karena masa depannya juga menjadi tidak jelas.
"Ibunya mengakui anaknya melakukan pelecehan seksual dan sudah dihukum. Namun, saat ini tidak bisa bekerja, tidak bisa hidup, karena pemberitaan di media digital tentang kasusnya," tuturnya.
Di sisi lain, Wens mengatakan media memang harus mampu membangun empati masyarakat terhadap korban kekerasan seksual melalui pemberitaannya. Salah satu caranya dengan menggali dan menceritakan kasus yang terjadi secara lengkap.
Namun, menggali informasi secara rinci melalui wawancara dengan keluarga dan korban juga menjadi tantangan tersendiri karena mereka tentu memiliki beban psikologis atau trauma dengan kejadian yang dialami.
Padahal, agar pembaca bisa memahami kasus tersebut benar sebagai pelecehan bahkan kekerasan seksual dan memiliki empati terhadap korban, perlu mendapatkan gambaran yang utuh tentang kejadian tersebut.
"Media kadang bingung, apakah perlu menceritakan kasusnya secara rinci atau cukup hanya di permukaan saja. Menceritakan secara rinci bisa dianggap mengeksploitasi dan melecehkan korban dua kali, tetapi bila hanya menceritakan permukaan saja bisa menimbulkan multitafsir di masyarakat tentang kasus tersebut," katanya.
Karena itu. redaksi media perlu mendiskusikan arah dan formula yang paling tepat dalam menulis berita tentang kekerasan seksual, apalagi media digital. (T.D018)
"Selalu ada relasi kuasa yang timpang antara korban dengan pelaku. Dalam situasi yang tidak adil itu, media harus berpihak kepada korban tetapi tetap menempatkan keberpihakan itu agar tidak menimbulkan implikasi yang lain," kata Wens dalam seminar daring tentang pers dan keadilan korban kekerasan seksual yang diikuti dari Jakarta, Selasa.
Wens mengatakan sekitar 11 tahun lalu pernah didatangi seorang ibu dan anak laki-lakinya. Ternyata anak laki-laki tersebut pernah menjadi pelaku pelecehan seksual dan saat itu kesulitan dalam mencari kerja bahkan menikah karena perusahaan tempat dia melamar kerja dan calon mertuanya melacak rekam jejaknya melalui pemberitaan di media digital.
Ibu dan anak itu meminta agar pemberitaan tentang kasus pelecehan seksual yang pernah dilakukan dihapus dari media digital. Menurut si ibu, anaknya sudah mendapatkan hukuman dari perbuatannya sebelumnya, tetapi mendapatkan hukuman tambahan karena masa depannya juga menjadi tidak jelas.
"Ibunya mengakui anaknya melakukan pelecehan seksual dan sudah dihukum. Namun, saat ini tidak bisa bekerja, tidak bisa hidup, karena pemberitaan di media digital tentang kasusnya," tuturnya.
Di sisi lain, Wens mengatakan media memang harus mampu membangun empati masyarakat terhadap korban kekerasan seksual melalui pemberitaannya. Salah satu caranya dengan menggali dan menceritakan kasus yang terjadi secara lengkap.
Namun, menggali informasi secara rinci melalui wawancara dengan keluarga dan korban juga menjadi tantangan tersendiri karena mereka tentu memiliki beban psikologis atau trauma dengan kejadian yang dialami.
Padahal, agar pembaca bisa memahami kasus tersebut benar sebagai pelecehan bahkan kekerasan seksual dan memiliki empati terhadap korban, perlu mendapatkan gambaran yang utuh tentang kejadian tersebut.
"Media kadang bingung, apakah perlu menceritakan kasusnya secara rinci atau cukup hanya di permukaan saja. Menceritakan secara rinci bisa dianggap mengeksploitasi dan melecehkan korban dua kali, tetapi bila hanya menceritakan permukaan saja bisa menimbulkan multitafsir di masyarakat tentang kasus tersebut," katanya.
Karena itu. redaksi media perlu mendiskusikan arah dan formula yang paling tepat dalam menulis berita tentang kekerasan seksual, apalagi media digital. (T.D018)
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2021
Tags: