Ahli kesehatan: Perbanyak penelitian vaksin Indonesia dibuat jurnal
22 Februari 2021 19:22 WIB
Ahli kesehatan yang juga anggota "International Advance Research" Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) dr Andreas Harry Lilisantoso, SpS (K). (FOTO ANTARA/dok)
Jakarta (ANTARA) - Riset-riset mengenai vaksin anti-COVID-19 yang dilakukan di Indonesia disambut baik ahli kesehatan dr Andreas Harry Lilisantoso, SpS (K), yang juga sukarelawan yang membantu menggalang bantuan nutrisi bagi tenaga kesehatan, namun perlu dibarengi dengan laporan dalam jurnal ilmiah.
"Senang melihat banyak riset mengenai vaksin anti-COVID-19 buatan Indonesia, namun karena ini sifatnya pandemi dan bukan endemis, maka jurnalkan penelitian itu, baik secara nasional maupun international," katanya di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, untuk mempercepat penanganan COVID-19 di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tanggal 3 September 2020 telah membentuk Tim Pengembangan Vaksin COVID-19.
Baca juga: Riset: Vaksin Pfizer/BioNTech terlihat ampuh lawan varian baru corona
Baca juga: Riset vaksin tiga institusi masuk tahap pra-klinis
Tim itu bertugas mengembangkan vaksin COVID-19 produksi dalam negeri yang diberi nama vaksin Merah Putih, yang bertujuan untuk menciptakan kemandirian pemenuhan kebutuhan vaksin COVID-19 ke depannya.
Riset vaksin Merah Putih dilakukan oleh enam lembaga dalam negeri, yaitu Lembaga Eijikman, LIPI, UI, UGM, ITB, dan Unair. Sedangkan untuk uji klinis, produksi, dan pendistribusian diserahkan kepada perusahaan BUMN PT Bio Farma.
Berdasarkan informasi yang dihimpun vaksin Merah Putih dikembangkan menggunakan isolat virus COVID-19 yang bertransmisi di Indonesia, dengan platform sub-unit protein rekombinan.
Sambil menunggu kesiapan vaksin Merah Putih, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan vaksin dengan cara mendatangkan vaksin dari luar negeri, antara lain berasal dari perusahaan farmasi AstraZeneca, Pfizer Inc., BioNTech, Moderna, Sinovac Biotech, dan Sinopharm.
Belakangan, setelah Merah Putih, muncul vaksin Nusantara.
Vaksin Nusantara ini digagas Tim peneliti dari PT. Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, dan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), serta ada nama mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di dalamnya. Vaksin itu disebut sudah memasuki serangkaian tahap uji klinis fase dua.
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di sela mendampingi kunjungan kerja anggota Komisi IX DPR di RSUP dr. Kariadi Semarang, Selasa (16/2) mengatakan bahwa Vaksin Nusantara bersifat "personalized" dan efektif untuk segala usia, mulai dari anak-anak hingga di atas 60 tahun, termasuk semua penyakit penyerta (komorbid).
Baca juga: Tim riset: Tidak ada lagi penyuntikan vaksin COVID-19
Baca juga: Pfizer-BioNTech mulai riset vaksin COVID pada ibu hamil
Menurut Andreas Harry, yang juga anggota "International Advance Research" Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) -- dengan skalanya yang sudah pandemi, ia mendukung riset tersebut dilanjutkan dengan tetap mengacu dan mengikuti kaidah-kaidah metodologi penelitian dunia.
Ia kembali menegaskan bahwa dengan dibuatnya jurnal penelitian yang bisa diakses pemangku kesehatan luas akan membawa dampak yang produktif.
"Dengan dibuatnya jurnal penelitian secara nasional dan internasional, pasti banyak masukan dan tanggapan yang bisa diambil dengan tujuan lebih baik dan lengkap," kata ahli saraf lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) itu
Menurut dia, memang semua pihak punya otoritas untuk memakai hasil penelitian dimaksud, namun agar bisa dinilai secara global, riset-riset itu bisa diikuti masyarakat dunia juga, karena COVID-19 ini bukan endemis yang hanya di Indonesia saja.
Apalagi, sudah banyak laporan terjadinya mutasi virus, sehingga riset-riset dari Indonesia, dalam bentuk jurnal ilmiah yang mudah diakses, nantinya juga menjadi sumbangsih Indonesia bagi dunia guna mengatasi pandemi COVID-19, kata Andreas Harry Lilisantoso.
"Senang melihat banyak riset mengenai vaksin anti-COVID-19 buatan Indonesia, namun karena ini sifatnya pandemi dan bukan endemis, maka jurnalkan penelitian itu, baik secara nasional maupun international," katanya di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, untuk mempercepat penanganan COVID-19 di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tanggal 3 September 2020 telah membentuk Tim Pengembangan Vaksin COVID-19.
Baca juga: Riset: Vaksin Pfizer/BioNTech terlihat ampuh lawan varian baru corona
Baca juga: Riset vaksin tiga institusi masuk tahap pra-klinis
Tim itu bertugas mengembangkan vaksin COVID-19 produksi dalam negeri yang diberi nama vaksin Merah Putih, yang bertujuan untuk menciptakan kemandirian pemenuhan kebutuhan vaksin COVID-19 ke depannya.
Riset vaksin Merah Putih dilakukan oleh enam lembaga dalam negeri, yaitu Lembaga Eijikman, LIPI, UI, UGM, ITB, dan Unair. Sedangkan untuk uji klinis, produksi, dan pendistribusian diserahkan kepada perusahaan BUMN PT Bio Farma.
Berdasarkan informasi yang dihimpun vaksin Merah Putih dikembangkan menggunakan isolat virus COVID-19 yang bertransmisi di Indonesia, dengan platform sub-unit protein rekombinan.
Sambil menunggu kesiapan vaksin Merah Putih, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan vaksin dengan cara mendatangkan vaksin dari luar negeri, antara lain berasal dari perusahaan farmasi AstraZeneca, Pfizer Inc., BioNTech, Moderna, Sinovac Biotech, dan Sinopharm.
Belakangan, setelah Merah Putih, muncul vaksin Nusantara.
Vaksin Nusantara ini digagas Tim peneliti dari PT. Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, dan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), serta ada nama mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di dalamnya. Vaksin itu disebut sudah memasuki serangkaian tahap uji klinis fase dua.
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di sela mendampingi kunjungan kerja anggota Komisi IX DPR di RSUP dr. Kariadi Semarang, Selasa (16/2) mengatakan bahwa Vaksin Nusantara bersifat "personalized" dan efektif untuk segala usia, mulai dari anak-anak hingga di atas 60 tahun, termasuk semua penyakit penyerta (komorbid).
Baca juga: Tim riset: Tidak ada lagi penyuntikan vaksin COVID-19
Baca juga: Pfizer-BioNTech mulai riset vaksin COVID pada ibu hamil
Menurut Andreas Harry, yang juga anggota "International Advance Research" Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) -- dengan skalanya yang sudah pandemi, ia mendukung riset tersebut dilanjutkan dengan tetap mengacu dan mengikuti kaidah-kaidah metodologi penelitian dunia.
Ia kembali menegaskan bahwa dengan dibuatnya jurnal penelitian yang bisa diakses pemangku kesehatan luas akan membawa dampak yang produktif.
"Dengan dibuatnya jurnal penelitian secara nasional dan internasional, pasti banyak masukan dan tanggapan yang bisa diambil dengan tujuan lebih baik dan lengkap," kata ahli saraf lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) itu
Menurut dia, memang semua pihak punya otoritas untuk memakai hasil penelitian dimaksud, namun agar bisa dinilai secara global, riset-riset itu bisa diikuti masyarakat dunia juga, karena COVID-19 ini bukan endemis yang hanya di Indonesia saja.
Apalagi, sudah banyak laporan terjadinya mutasi virus, sehingga riset-riset dari Indonesia, dalam bentuk jurnal ilmiah yang mudah diakses, nantinya juga menjadi sumbangsih Indonesia bagi dunia guna mengatasi pandemi COVID-19, kata Andreas Harry Lilisantoso.
Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021
Tags: