Sekjen PBB: Supremasi kulit putih merupakan "ancaman transnasional"
22 Februari 2021 18:10 WIB
Seorang wanita berlari saat polisi menembakkan gas airmata untuk membubarkan pengunjuk rasa ditengah aksi demo yang terus berlanjut setelah seorang polisi kulit putih tertangkap kamera pejalan kaki menekankan lutunya ke leher pria kulit hitam Afrika-Amerika George Floyd, yang kemudia meninggal di rumah sakit, di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, Kamis (28/5/2020). REUTERS/Carlos Barria/pras/djo.
Jenewa (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres pada Senin memperingatkan bahwa supremasi kulit putih dan gerakan neo-Nazi menjadi "ancaman transnasional" dan telah mengeksploitasi pandemi COVID-19 untuk meningkatkan dukungan bagi mereka.
Berbicara di depan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Guterres mengatakan bahwa ancaman bahaya dari kelompok-kelompok yang didorong kebencian semakin meningkat setiap hari.
"Supremasi kulit putih dan gerakan neo-Nazi lebih dari sekadar ancaman teror domestik. Mereka menjadi ancaman transnasional," kata Sekjen PBB di forum Jenewa. Tanpa menyebut nama negara, Guterres menambahkan: "Saat ini, gerakan ekstremis ini mewakili ancaman keamanan internal nomor satu di beberapa negara."
Di Amerika Serikat, ketegangan rasial membara selama empat tahun masa kepresidenan Donald Trump yang bergolak.
Pengganti Trump, Presiden Joe Biden, mengatakan pengepungan Capitol AS pada 6 Januari oleh pendukung Trump dilakukan oleh "preman, pemberontak, ekstremis politik, dan para pendukung supremasi kulit putih".
"Terlalu sering, kelompok-kelompok pembenci ini disemangati oleh orang-orang yang memiliki posisi bertanggung jawab dengan cara yang belum lama ini dianggap tak terbayangkan," kata Guterres.
"Kita membutuhkan tindakan terkoordinasi global untuk mengalahkan ancaman bahaya yang berkembang dan mematikan ini," ujar dia.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet pada 18 Maret akan melaporkan kepada Dewan HAM tentang rasisme sistemik terhadap orang-orang keturunan Afrika.
Penyelidikan global diluncurkan setelah George Floyd meninggal di Minneapolis Mei lalu ketika seorang polisi kulit putih berlutut di lehernya selama hampir sembilan menit.
Guterres juga menuduh pihak berwenang di beberapa negara menggunakan pandemi COVID-19 untuk mengerahkan "tanggapan keamanan dan tindakan darurat yang kejam untuk menghancurkan perbedaan pendapat".
"Kadang-kadang, akses untuk mendapatkan informasi COVID-19 yang bersifat menyelamatkan nyawa telah disembunyikan - sementara informasi yang salah telah diperkuat - termasuk oleh mereka yang berkuasa," kata Sekjen PBB.
Guterres pun memperingatkan tentang kekuatan platform digital dan penggunaan serta penyalahgunaan data.
"Saya mendesak semua negara anggota PBB untuk menempatkan hak asasi manusia di pusat kerangka peraturan dan undang-undang tentang pengembangan dan penggunaan teknologi digital," katanya.
"Kita membutuhkan masa depan digital yang aman, setara, dan terbuka yang tidak melanggar privasi atau martabat," ujar Guterres.
Sumber: Reuters
Baca juga: Laporan: FBI lihat peningkatan teror supremasi kulit-putih
Baca juga: Texas hukum mati sosok supremasi putih yang bunuh pria kulit hitam
Baca juga: Tiga tewas dalam kerusuhan di Virginia, AS
Berbicara di depan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Guterres mengatakan bahwa ancaman bahaya dari kelompok-kelompok yang didorong kebencian semakin meningkat setiap hari.
"Supremasi kulit putih dan gerakan neo-Nazi lebih dari sekadar ancaman teror domestik. Mereka menjadi ancaman transnasional," kata Sekjen PBB di forum Jenewa. Tanpa menyebut nama negara, Guterres menambahkan: "Saat ini, gerakan ekstremis ini mewakili ancaman keamanan internal nomor satu di beberapa negara."
Di Amerika Serikat, ketegangan rasial membara selama empat tahun masa kepresidenan Donald Trump yang bergolak.
Pengganti Trump, Presiden Joe Biden, mengatakan pengepungan Capitol AS pada 6 Januari oleh pendukung Trump dilakukan oleh "preman, pemberontak, ekstremis politik, dan para pendukung supremasi kulit putih".
"Terlalu sering, kelompok-kelompok pembenci ini disemangati oleh orang-orang yang memiliki posisi bertanggung jawab dengan cara yang belum lama ini dianggap tak terbayangkan," kata Guterres.
"Kita membutuhkan tindakan terkoordinasi global untuk mengalahkan ancaman bahaya yang berkembang dan mematikan ini," ujar dia.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet pada 18 Maret akan melaporkan kepada Dewan HAM tentang rasisme sistemik terhadap orang-orang keturunan Afrika.
Penyelidikan global diluncurkan setelah George Floyd meninggal di Minneapolis Mei lalu ketika seorang polisi kulit putih berlutut di lehernya selama hampir sembilan menit.
Guterres juga menuduh pihak berwenang di beberapa negara menggunakan pandemi COVID-19 untuk mengerahkan "tanggapan keamanan dan tindakan darurat yang kejam untuk menghancurkan perbedaan pendapat".
"Kadang-kadang, akses untuk mendapatkan informasi COVID-19 yang bersifat menyelamatkan nyawa telah disembunyikan - sementara informasi yang salah telah diperkuat - termasuk oleh mereka yang berkuasa," kata Sekjen PBB.
Guterres pun memperingatkan tentang kekuatan platform digital dan penggunaan serta penyalahgunaan data.
"Saya mendesak semua negara anggota PBB untuk menempatkan hak asasi manusia di pusat kerangka peraturan dan undang-undang tentang pengembangan dan penggunaan teknologi digital," katanya.
"Kita membutuhkan masa depan digital yang aman, setara, dan terbuka yang tidak melanggar privasi atau martabat," ujar Guterres.
Sumber: Reuters
Baca juga: Laporan: FBI lihat peningkatan teror supremasi kulit-putih
Baca juga: Texas hukum mati sosok supremasi putih yang bunuh pria kulit hitam
Baca juga: Tiga tewas dalam kerusuhan di Virginia, AS
Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021
Tags: