Semarang (ANTARA) - Belakangan ini Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) makin mendapat sorotan masyarakat terkait dengan adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28.

Sejumlah kalangan, termasuk pakar keamanan siber dari CISSReC Dr Pratama Persadha, mendukung Presiden RI Joko Widodo dan DPR RI untuk merevisi pasal karet Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016.

Istilah pasal karet ini terdapat pula dalam salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 terkait dengan perkara permohonan pengujian UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD RI Tahun 1945 yang diajukan oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang, warga Kelurahan Guntur, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan.

Frasa pasal karet ini mengemuka kembali ke permukaan setelah beberapa partai politik mendesak agar menghapus pasal tersebut dalam UU ITE. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal tersebut.

Baca juga: Anggota DPR: Filosofi UU ITE harus dikembalikan awal pembentukan

Gabungan dua kata ini semula tidak masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun, bila vide KBBI daring, ditemukan istilah pasal karet yang bermakna: pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya.

Sebenarnya, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga terdapat pula pasal yang batasannya dinilai tidak jelas alias pasal karet dan cenderung multitafsir, misalnya Pasal 310 dan Pasal 311.

Bunyi lengkap Pasal 310:

Ayat (1): Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ayat (2): Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ayat (3): Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah buat kajian komprehensif revisi UU ITE

Pencemaran nama baik merupakan ujaran atau ucapan atau perkataan yang tidak benar yang menimbulkan kerugian kepada korban juga diatur di dalam UU ITE.

Dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman Pidana

Ancaman pidana dalam UU ITE ini lebih tinggi daripada KUHP. Ketentuan pidana dalam UU ITE ini termaktub dalam Pasal 45 ayat (3), yakni pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Berikut bunyi ayat (3):

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Terkait dengan penghinaan juga terdapat dalam Pasal 311 KUHP yang menyebutkan jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Baca juga: Kapolri instruksikan Polda - Polres buat pedoman penanganan kasus ITE

Selain Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menjadi perbincangan publik, Pasal 28 juga dianggap pasal karet. Berikut bunyi Pasal 28:

(1) Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman hukuman terhadap setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Ancaman hukuman yang sama terhadap setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Wajar jika ada sementara pihak memandang perlu penghapusan pasal karet di dalam UU ITE meskipun mereka tahu bahwa perbuatan pidana ini hanya berlaku di dunia maya.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah ruang informasi dan komunikasi dalam internet (dunia maya) ini sudah masuk dalam unsur penting Pasal 310 KUHP, yakni diketahui umum.

Baca juga: Anggota DPR: Pedoman Polri tangani kasus ITE harus jamin rasa keadilan

Lema "umum" dalam KBBI, antara lain bermakna untuk orang banyak; siapa saja; tersiar (rata) ke mana-mana; sudah diketahui orang banyak.

Pelanggaran terkait dengan pencemaran nama baik, baik di dunia maya maupun di luar wilayah siber, setidaknya ada unsur sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.

Tidak pelak lagi jika ada wacana penghapusan pasal karet di dalam UU ITE dengan alasan pasal di dalam KUHP sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik.