Jakarta (ANTARA) - Mutasi virus SARS-CoV-2 yang berlangsung cepat menjadi salah satu tantangan dalam pengendalian penyebaran dan pencegahan penularan COVID-19.

Proses mutasi merupakan upaya virus untuk bertahan hidup terhadap lingkungannya.

SARS-CoV-2 tergolong virus dengan materi genetik RNA. Umumnya, virus yang memiliki materi genetik RNA mempunyai kecepatan mutasi yang tinggi dibanding virus dengan materi genetik DNA, bakteri dan protozoa.

Dengan tingkat penularan dan temuan kasus COVID-19 yang semakin tinggi, maka kemungkinan virus SARS-CoV-2 untuk bermutasi juga sangat besar.

Mutasi pada virus dapat menyebabkan berbagai kemungkinan, misalnya membuat virus lebih mudah menular atau menginfeksi sel, lebih tinggi virulensinya, atau lebih "mematikan".

Mutasi merupakan proses "acak", sehingga perlu pengurutan genom menyeluruh (whole genome sequencing) pada virus untuk melacak bagian yang mengalami mutasi atau perubahan materi genetik.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatajkan virus mempunyai kemampuan berkembang dan beradaptasi berdasarkan lingkungannya dengan rentang akumulasinya satu sampai dua mutasi per bulannya.

Di dunia, mutasi virus SARS-CoV-2 telah menghasilkan sejumlah varian baru, seperti D614G dari China, B 1.1.7 atau VOC202012/01 atau VUI202012/01 dari Inggris, B 1.351 atau 501Y.V2 dari Afrika Selatan dan B 1.1.28.1 atau P.1 dari Brazil.

Varian baru B 1.1.7 lebih menular 70 persen dibanding varian sebelumnya, sedangkan varian D614G dari China ternyata 10 kali lebih menular, namun belum tentu mematikan dibanding varian terdahulu.

Hingga saat ini, tiga varian baru virus SARS-CoV-2 dari Inggris, Afrika Selatan dan Brasil itu belum ditemukan di Indonesia.

Namun, varian B 1.1.7 sudah dilaporkan di beberapa negara Asia dan Australia. Dengan demikian, dibutuhkan surveilans genom yang lebih terintegrasi dan masif di Indonesia untuk melacak keberadaan varian-varian baru tersebut di Tanah Air.

Selain untuk melacak keberadaan varian baru, surveilans genom melalui lebih banyak pengurutan genom menyeluruh (WGS) juga bertujuan untuk menemukan kemungkinan mutasi baru terjadi.

Surveilans genom (genomic surveillance) merupakan upaya pelacakan dan pemantauan genom virus SARS-CoV-2 yang akan memberikan informasi dalam menentukan upaya intervensi kesehatan untuk pencegahan dan penanggulangan meluasnya penyebaran COVID-19.

Surveilans genom juga penting untuk mengetahui dan mempelajari mutasi varian baru, apakah lebih mudah menular (transmissible) atau dapat meningkatkan keparahan penyakit.

Oleh karenanya, dalam rangka mewaspadai penyebaran mutasi baru COVID-19, pemerintah Indonesia meningkatkan upaya pelacakan dan identifikasi genom virus SARS-CoV-2 di Tanah Air. Upaya itu dilakukan bersama dengan kolaborasi antara Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Kesehatan.

Semakin banyak informasi tentang virus SARS-CoV-2 yang diperoleh dengan kegiatan masif WGS, maka semakin dalam pemahaman dan pengetahuan yang didapatkan. Jika benar-benar dapat mengenali "musuh" atau "lawan", yakni virus corona penyebab COVID-19 secara komprehensif, maka bisa membantu dalam pembuatan dan implementasi strategi yang semakin jitu untuk melawan pandemik itu.

Dengan mengetahui karakteristik virus SARS-CoV-2, diharapkan dapat mendukung upaya pengendalian pandemi, peningkatan perawatan dan pengobatan pasien COVID-19, sehingga dapat menurunkan angka kematian, meningkatkan angka kesembuhan dan mengendalikan penyebarannya.

Untuk percepatan penyelenggaraan surveilans genom virus SARS CoV-2 di bawah skema kerja sama dua kementerian tersebut, sejumlah lembaga riset nasional dan perguruan tinggi Indonesia bermitra secara sinergis, berkolaborasi dan saling berbagi sumber daya, di antaranya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Universitas Tanjung Pura.

Seluruh pihak terkait berupaya untuk meningkatkan kapasitas pengurutan genom menyeluruh, setidaknya lima persen dari jumlah kasus positif di tiap wilayah, analisis genotipe virus corona penyebab COVID-19, membangun repository data nasional terkait virus itu, dan analisis bioinformatika hilir yang komprehensif.

Secara bersama, dapat membangun kapasitas untuk melakukan pengurutan genom menyeluruh, melalui pelatihan dalam jaringan (online) untuk WGS dan analisis bioinformatika.

Mereka juga bisa berbagi beragam sumber daya, baik fasilitas atau peralatan maupun sumber daya manusia, untuk mengoptimalkan kegiatan WGS ke depan.

Menristek mengakui ada kekhawatiran bahwa varian baru virus SARS-CoV-2 dapat mempengaruhi tingkat penyebaran, tingkat keparahan dan juga efek pada vaksin COVID-19 yang beredar saat ini.

Dr. Peter Bogner, sebagai Presiden Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), organisasi bank data influenza di dunia yang berinisiatif mengumpulkan semua data genom virus flu, termasuk virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, mengatakan tantangan Indonesia dalam melakukan surveilans genom virus SARS CoV-2 adalah pada luasnya wilayah Nusantara dan populasi penduduk yang tinggi.

Itu menyebabkan perlunya waktu dan sumber daya yang besar untuk mengumpulkan data WGS yang lebih banyak dan detail yang bisa mewakili seluruh Indonesia, sehingga masih mungkin varian baru tersebut belum terdeteksi.

Menurut dia, dibutuhkan usaha bersama pemerintah untuk secara masif mengumpulkan data dengan cakupan yang lebih luas, tidak hanya daerah metropolitan, namun ke seluruh pelosok, untuk mendapatkan data sampel dan gambaran geografi wilayah penyebaran COVID-19 secara baik.

Sampai 14 Februari 2021, Indonesia telah mengirimkan 416 sekuens hasil pengurutan genom menyeluruh virus SARS-CoV-2 ke GISAID, yang mana 392 sekuens di antaranya merupakan WGS lengkap.

Data tersebut dikumpulkan dari 27 provinsi di Indonesia, termasuk dari provinsi dengan tingkat penularan tinggi, seperti Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menargetkan untuk melakukan pemetaan dengan pengurutan menyeluruh atau WGS hingga 5.000 sampel klinis genom SARS CoV-2.

Pemetaan diperlukan untuk memahami distribusi pola penyebaran virus, memberikan informasi karakteristik isolat virus di tiap daerah dan mendukung penelitian terkait pengembangan vaksin serta antivirus.


Mutasi dan efikasi vaksin

Vaksin dibuat secara spesifik untuk melawan virus yang spesifik pula. Jika terjadi mutasi pada virus secara terus menerus, maka harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah mutasi virus berdampak pada penurunan efikasi vaksin.

Menurut pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), produsen vaksin harus mencapai target kemanjuran vaksin setidaknya 50 persen.

Dari pengujian antara beberapa vaksin COVID-19 yang sudah ada saat ini dengan varian baru virus corona penyebab COVID-19, didapati adanya penurunan kemanjuran vaksin, namun vaksin masih tetap efektif dalam membentuk perlindungan bagi tubuh.

Baca juga: Menristek: Mutasi virus corona tidak mengganggu pengembangan vaksin

Para ilmuwan telah menguji vaksin Pfizer terhadap mutasi N501Y dan E484K di laboratorium, menggunakan sampel darah dari orang yang divaksinasi. Dalam penelitian tersebut, vaksinasi tampaknya berhasil, tetapi sedikit kurang efektif.

Vaksin Moderna masih efektif melawan varian Afrika Selatan (SA), meskipun respons imunnya mungkin tidak sekuat atau berkepanjangan.

Dalam uji klinis fase 2b Afrika Selatan, di mana sebagian besar kasusnya adalah varian virus SA, vaksin Novavax menunjukkan kemanjuran 60 persen untuk pencegahan penyakit COVID-19 ringan, sedang dan berat.

Baca juga: Menristek sebut mutasi virus corona berpengaruh pada efikasi vaksin

Vaksin Johnson & Johnson hanya 57 persen efektif di bagian percobaan di Afrika Selatan, di mana varian baru virus corona menyebar, dibandingkan dengan 72 persen di Amerika Serikat.

Vaksin Oxford-AstraZeneca menawarkan perlindungan "terbatas" terhadap penyakit ringan dari varian SA, tetapi para ahli mengatakan vaksin itu seharusnya masih bisa melindungi dari penyakit parah.

Penemuan dan penyebaran cepat varian B.1.1.7 dan B.1.351/501Y.V2 menyoroti pentingnya data real time dan terbuka untuk melacak penyebaran SARS-CoV-2 dan menentukan intervensi kesehatan masyarakat yang tepat di masa depan dan untuk saran perjalanan.

Baca juga: Epidemiolog ingatkan ancaman nyata mutasi virus corona baru

Meski ada varian baru yang ditemukan saat ini, namun tata kelola pengendalian COVID-19 yang diterapkan tidak berubah, dan tindakan-tindakan pencegahan dan pengendalian kesehatan masyarakat tetap dilakukan secara intensif.

Jika varian baru benar-benar lebih mudah menular, hal itu dapat memperburuk kondisi di Indonesia, terutama karena banyak rumah sakit bisa kelebihan kapasitas menampung pasien COVID-19 sehingga penting untuk memahami efek mutasi pada penularan virus, keparahan penyakit dan hasil klinis, diagnostik laboratorium, pengobatan, vaksin, dan kekebalan.