Jakarta (ANTARA) - Jurnalistik, baik mengenai pewarta maupun peristiwa di dunia tersebut, dapat menjadi inspirasi sineas dalam menggarap naskah sebuah film.

Direktur Produksi dan Komersial Perum Produksi Film Negara (PFN) Tjandra Wibowo mengatakan, sepak terjang pewarta dalam bekerja bisa diibaratkan seperti suasana di balik layar produksi sebuah film.

"Itu tampaknya banyak menginspirasi filmmaker untuk lebih mendalami, menyampaikan itu semua jadi suatu tayangan atau karya film yang bisa menyampaikan gagasan dengan nilai-nilai," kata dia dalam webinar "Karya Jurnalistik Yang Menginspirasi Filmmaker" dari Perum Produksi Film Negara, Rabu.

Namun, belum banyak film seperti itu yang ada di Indonesia, kata Ketua Asosiasi Pengkaji Film Indonesia Tito Imanda.

"Film dan jurnalisme punya sesuatu yang banyak tumpang tindih, dalam arti bagus, hasil kerja jurnalistik bisa menjadi inspirasi," kata Tito.

Dia memaparkan contoh-contoh film yang ceritanya berkaitan dengan jurnalistik. Ada film dokumenter investigatif yang metodenya diperkuat oleh jurnalistik, di mana pembuat filmnya bisa dilakukan baik oleh wartawan maupun nonwartawan. Pembuatan film ini menganut prinsip liputan investigatif, tapi hasilnya audio visual. Contohnya adalah "Student Movement in Indonesia" yang disutradarai Tino Saroengallo.

Pun film yang menyuguhkan fakta baru atau menguraikan teori tidak resmi. Tito mengatakan, film fiksi jenis ini punya semangat jurnalisme, yakni mengungkap fakta yang belum terkuak atau justru teori yang bertentangan dengan versi resmi.

Misalnya "JFK" yang disutradarai Oliver Stone atau "Operation Avalanche" dari Matthew Johnson. Dia menambahkan, Seno Gumira Ajidarma juga pernah menuliskan karya investigasi jurnalistik saat meliput di Timor Timur dulu lewat kumpulan cerita pendek fiksi karena saat itu tidak mungkin dimuat sebagai berita.

Kemudian, kisah nyata kerja seorang pewarta juga bisa diceritakan ulang dalam film fiksi. Film-film yang menghadirkan proses kerja wartawan dari kisah nyata contohnya "All the President's Men" dari Alan J. Pakula dan "The Years of Living Dangerously" dari Peter Weir. Dari Indonesia, ada film "Remang-Remang Jakarta" karya sutradara Lukmantoro DS.

"Film lainnya yang mengangkat kisah nyata dari liputan wartawan masih banyak fokus kepada investigasi kehidupan esek-esek ibu kota," dia menyebut "Jakarta Undercover" sebagai contohnya.

Pemilihan tema ini berhubungan juga dengan tema-tema yang diangkat film Indonesia, baru sebagian kecil yang berani bicara membahas tema serius karena belum yakin bakal mengundang banyak penonton sehingga bisa meraih keuntungan.

"Semoga ke depannya bisa lebih banyak film yang topiknya lebih mendalam," kata dia.

Kemunculan layanan streaming konten digital atau over-the-top (OTT) dan optimisme bangkitnya gairan perfilman selepas pandemi diharap bisa membuka kesempatan sineas untuk mengeksplorasi tema-tema yang jarang disentuh.

Tema jurnalistik juga muncul dalam film-film fiksi yang menceritakan pekerjaan kewartawanan, atau film yang bertujuan melakukan pembangunan dramatik cerita dengan karakter wartawan sebagai tokoh utama, dan tugas kewartawanannya menggerakkan cerita. Contoh film dalam kategori ini ialah "Citizen Kane", "Almost Famous" dan "Dunia Tanpa Koma".

Ada pula film yang tidak membahas soal jurnalistik, tapi bertujuan membangun dramatik cerita dengan karakter pintar, gigih, suka misteri, ingin menegakkan kebenaran atau senang berdebat, lalu karakter ini diberi status wartawan. Misalnya dalam film "Kejarlah Daku Kau Kutangkap", "212 The Power of Love" atau "Never Been Kissed".

Baca juga: Ini film Indonesia yang tayang di Netflix pada Januari 2021

Baca juga: "Apa Ada Cinta 2045?", film tentang Indonesia di masa depan


Pengaruh film kepada jurnalistik

Tito memaparkan, film dan kewartawanan sejak awal punya hubungan yang dekat. Pada akhir abad ke-19 sudah ada cikal bakal newsreel, film pendek berisi rekaman kejadian penting, yang muncul di Inggris oleh seorang Prancis bernama Charles Pathe. Pada 1906, sudah mulai muncul film fiksi yang jadi komoditas utama pemutaran di bioskop. Ketika itu, newsreel diputar sebagai pembuka dan selingan antara film. Tiga tahun kemudian, ada bioskop Daily Bioscope di London yang hanya memutar newsreel.

Pada 1920-an, muncul film yang menghadirkan fakta-fakta dan bentuknya bertahan hingga kini dengan nama film dokumenter. Pada era itu mulai hadir sekolah-sekolah film di dunia, termasuk Moscow Film School, London Film School dan California Institute of the Arts.

Dia mengatakan, ada banyak alumni sekolah film yang bekerja sebagai wartawan, kemungkinan karena cara kerja pembuatan film dokumenter serupa dengan pewarta, termasuk mewawancarai narasumber dan menggali informasi.

Indonesia, ujarnya, masih membutuhkan banyak penulis skenario untuk mencukupi kebutuhan industri, apalagi ketika nanti layar bioskop di Tanah Air diperbanyak. Menurut dia, dengan kemampuan yang diasah lewat pekerjaan, wartawan punya modal untuk menjadi penulis film.

"Wartawan bisa belajar menulis skenario film, bukan hanya formatnya, tapi juga bagaimana seninya, kapan ketegangan meningkat, konflik mulai muncul sampai selesai. Teknik bercerita visual itu yang harus dimatangkan," papar dia.

"Saya sangat menyemagati ketika ada pelatihan menulis, wartawan yang berminat bisa jadi prioritas karena punya model besar untuk jadi penulis naskah yang hebat."

Pemerintah sedang menggenjot upaya mendukung perfilman Indonesia lewat program pengembangan keterampilan insan perfilman Tanah Air.

Akhir tahun 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bekerja sama dengan Persatuan Karyawan Film Televisi Indonesia meluncurkan dan memperkenalkan katalog Scene 2020, sebagai upaya memunculkan talenta baru tanah air dalam menulis skenario konten televisi dan film.

Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif, Kemenparekraf, Neil El Himam, mengatakan skenario merupakan salah satu kekayaan intelektual dari sebuah film, di mana jalan cerita yang terkandung diharapkan memiliki nilai-nilai budaya yang memperkenalkan Indonesia.

"Jadi semakin banyak skenario yang dibuat dengan tidak melupakan nilai terkandung dalam jalan ceritanya, artinya semakin banyak pula karya-karya film yang dibuat dengan kualitas yang baik. Salah satu modal yang baik dalam ekosistem ini adalah mengenalkan budaya," ujar Neil.

Baca juga: Temukan arti persahabatan sejati dalam "Persahabatan Bagai Kempompong"

Baca juga: Potensi konten kreatif dongeng di Indonesia masih terbuka lebar