Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo mendapat dukungan Koalisi Masyarakat Sipil untuk membuka ruang revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa, Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan dari ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI berharap Presiden segera menindaklanjuti pernyataannya yang akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR guna merevisi UU ITE dengan langkah-langkah konkrit.

Koalisi, menurut Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati, meminta pemerintah memperhatikan serius seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi over kriminalisasi dalam UU ITE, sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi.

Baca juga: AJV dukung Jokowi revisi UU ITE dan minta masukkan jurnalistik medsos

Dalam keyakinan ICJR, LBH Pers dan IJRS, hal itu menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”.

Pasal tersebut seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas. Selama ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender.

Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang daring. Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal.

Contoh lainnya adalah pasal tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal itu tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.

Pasal tersebut, menurut Koalisi, justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, lebih memprihatinkan pasal itu kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden.

Baca juga: Anggota DPR apresiasi arahan Jokowi agar berhati-hati terapkan UU ITE

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara).

Sedangkan laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, antikorupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.

Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh LBH Pers, selama tahun 2020 setidaknya terdapat 10 jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal-pasal dalam UU ITE. Adapun pasal yang kerap digunakan adalah pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.

Selanjutnya, proses “fair trial” dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaharuan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan. Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan.

Ketiga, pengaturan mengenai blocking and filtering juga harus direvisi. Dalam pandangan Koalisi, kendatipun kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakan hukum, namun perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang- wenangan.

Kewenangan mengenai pengaturan blocking and filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law. Terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukkan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan.

Baca juga: F-PAN sampaikan poin-poin harus diperhatikan revisi UU ITE
Baca juga: Azis Syamsuddin sambut baik rencana pemerintah revisi UU ITE