Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan, rencana revisi regulasi terkait kebutuhan gula nasional juga harus mampu mendukung kebutuhan industri pengguna gula.
"Revisi ini perlu dilakukan agar sesuai dengan UU Cipta Kerja yang menjanjikan kemudahan untuk memperoleh bahan baku dan bahan penolong bagi industri," kata Felippa dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, dalam rancangan revisi Peraturan Menteri Perindustrian terkait Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Gula, dikabarkan bahwa Kementerian Perindustrian berencana untuk mengizinkan pabrik gula yang ada untuk mengimpor bahan baku.
Dengan demikian, lanjutnya, bila bukan hanya pabrik gula baru yang diizinkan untuk mengimpor, maka hal itu adalah terobosan.
"Perubahan ketentuan ini merupakan terobosan kebijakan yang sangat diperlukan untuk mendukung industri gula Indonesia," papar Felippa.
Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA) untuk 2020/2021, saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 2 juta ton gula. Jumlah ini belum mencukupi total permintaan sebesar 7,2 juta ton untuk keperluan konsumsi maupun industri.
Selama ini, masih menurut dia, kebijakan yang mengharuskan pabrik gula untuk terintegrasi dengan kebun tebu mengalami tantangan, seperti terbatasnya lahan dan rendahnya produktivitas tebu.
BPS mencatat luas lahan tebu rakyat berkurang dari 263.000 hektare pada 2014 menjadi 232.900 hektare pada 2019. Sementara perkebunan besar juga berkurang dari 209.700 hektare jadi 176.800 hektare pada periode yang sama
“Revitalisasi pabrik gula sudah lama disuarakan sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki kinerja industri gula di Tanah Air. Adanya impor gula juga dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan akan kualitas gula. Saat ini, kualitas gula di Indonesia belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan industri pengguna gula," katanya.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu lebih lanjut membangun ekosistem riset dan pengembangan dan inovasi teknologi baik di sisi hulu di perkebunan tebu maupun di pabrik gula sehingga dapat memenuhi kebutuhan pabrik gula dalam menghasilkan gula yang berkualitas.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian berupaya menjaga ketersediaan gula sebagai bahan baku industri makanan dan minuman, yang selama ini menjadi andalan dalam memacu pertumbuhan manufaktur dan ekonomi nasional.
Pada 2020 industri makanan dan minuman mampu tumbuh positif sebesar 1,66 persen dengan kontribusi terhadap PDB industri pengolahan non-migas mencapai 38,29 persen dan terhadap PDB nasional sebesar 6,85 persen.
“Sehingga industri makanan dan minuman menjadi industri prioritas yang dikembangkan,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan menambahkan, pihaknya berupaya menjamin ketersediaan bahan baku guna menjaga keberlangsungan usaha ini.
Menperin mengungkapkan, saat ini sedang dibahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja sektor Perindustrian, yang di dalamnya juga memuat pengaturan tentang jaminan ketersediaan bahan baku untuk industri.
Selain itu, kata dia, perlu pengaturan produksi bagi industri gula yang memproduksi gula kristal rafinasi untuk industri makanan dan minuman, untuk mendorong peningkatan produksi gula kristal putih untuk konsumsi.
Baca juga: Kemenperin jaga ketersediaan gula bagi industri makanan dan minuman
Baca juga: Asosiasi pastikan stok gula konsumsi cukup
Baca juga: Pelaku industri pastikan stok gula rafinasi aman
Peneliti: Revisi regulasi harus dukung kebutuhan gula bagi industri
12 Februari 2021 08:08 WIB
Seorang buruh pabrik gula rafinasi memeriksa tumpukan gula di Makassar. FOTO ANTARA/Yusran Uccang/Koz/pd/aa.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021
Tags: