Jakarta (ANTARA) - Direktur Industri Kreatif Film, Televisi, dan Animasi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Syaifullah Agam, menilai bahwa pembukaan kembali bioskop dengan protokol kesehatan yang ketat merupakan salah satu upaya menekan pembajakan di era digital sekarang ini.

Selain karena lebih mudahnya pengawasan mengenai antisipasi pembajakan, namun juga karena bioskop masih menjadi penyumbang pemasukan yang besar bagi para pembuat film.

"Makanya kita mendorong pembukaan bioskop dengan protokol kesehatan ketat harus segera didorong. Menurut saya salah satu upaya mencegah pembajakan adalah dengan mendorong bioskop karena pembajakan manual ketahuan di bioskop," kata Syaifullah Agam kepada ANTARA belum lama ini.

Baca juga: Pemerintah ajak semua pihak bersama perangi pembajakan film

Baca juga: Tantangan industri hiburan & peran negara bangkitkan ekonomi kreatif


Syaifullah mengatakan bahwa perkembangan teknologi digital membawa dampak baik bagi industri perfilman terutama di masa pandemi saat bioskop harus beroperasi dengan pembatasan. Namun di sisi lain juga menjadi celah adanya pembajakan karena tidak adanya pengawasan.

"Saat ini misalnya platform digital itu memang tidak bisa di download, di screenshoot pun tidak bisa. Untuk saat ini, tapi tren ke depan belum tentu," ujar Syaifullah.

"Misalnya saya berlangganan platform digital, terus kemudian saya beli kamera yang tinggi dan saya beli tv dengan resolusi tinggi juga. Terus saya rekam manual aja," sambungnya.

Untuk itu, Syaifullah juga mendorong bagi penyedia layanan streaming digital untuk terus melakukan inovasi terkait upaya untuk mencegah pembajakan terhadap karya film.

Baca juga: Kemenparekraf dukung penggunaan GeNose C19

Baca juga: Kemenparekraf target cetak 2.200 lulusan perguruan tinggi pariwisata


Menurut Syaifullah, pembajakan film tak hanya merugikan bagi pembuat filmnya saja. Namun juga merugikan negara yang harus kehilangan potensi pendapatan melalui pajak.

"Saya belum lihat datanya, tapi kalau ada pembajakan pasti dong karena setiap ada orang beli bajakan pemerintah enggak dapat pajak karena ilegal. Terus bagi film maker tidak ada insentif karena tidak ada apresiasi sehingga membuat mereka tidak bergairah berkarya," tuturnya.

Syaifullah mengatakan bahwa tidak menonton film bajakan menjadi salah satu bentuk apresiasi terhadap karya. Dia menambahkan bahwa masyarakat juga perlu mendapat edukasi mengenai apresiasi terhadap karya, salah satunya dengan tidak membeli produk bajakan.

"Kadang orang lihat dari sisi daya beli, sehingga ada pemakluman. Sebenarnya kita juga harus lihat sisi kreatornya, bagaimana kita mendorong muncul karya bagus yang merepresentasikan keunggulan Indonesia di bidang itu, kalau tidak ada penghargaan," imbuh Syaifullah.

Baca juga: Napas baru dunia pariwisata Indonesia

Baca juga: Sineas Indonesia optimistis industri perfilman membaik di 2021

Baca juga: Kemenparekraf dorong pemuda buat film budaya lokal