Charles Honoris di Jakarta, Selasa, mengatakan langkah Menkes itu patut diapresiasi, kendati akan berdampak pada peningkatan angka kasus aktif COVID-19.
"Peningkatan kasus aktif ini hendaknya tidak membuat masyarakat panik, karena justru dengan testing dan tracing yang jauh lebih masif, kondisi rill penyebaran COVID-19 di masyarakat bisa tergambar dengan jelas," kata dia.
"Kita harus mengakui bahwa angka kasus tercatat COVID-19 yang selama ini berdasarkan tes PCR, bukanlah angka riil," kata dia.
Artinya, menurut Charles realita jumlah angka positif di lapangan bisa jauh lebih tinggi.
Hal ini terbukti dengan positivity rate yang tinggi sekali, bahkan sempat mencapai 30 persen lebih, 6 kali lipat standar WHO sebesar 5 persen pada Januari lalu.
Angka tidak riil itu yang juga membuat pemetaan di lapangan menjadi tidak akurat, sehingga kebijakan penanganan menjadi kurang efektif.
"Keberanian Menkes belum lama ini yang mengakui testing selama ini salah secara epidemiologi, juga patut diapresiasi," ucapnya.
Oleh karenanya, kata Charles langkah perbaikan Menkes yang akan menggenjot testing dengan metode swab antigen terhadap 15-30 orang kontak erat per kasus aktif dalam waktu 72 jam, harus didukung.
Langkah tersebut sudah membuahkan hasil baik di India yang berpenduduk 1,4 miliar. Pada September 2020, dengan metode tersebut, India memiliki kasus baru 100.000 per hari, namun empat bulan kemudian terjun bebas ke sembilan ribuan atau terendah dalam 8 bulan terakhir.
"Kami berharap dengan metode testing dan tracing baru, yang berjalan simultan dengan program vaksinasi, bisa meredam penyebaran COVID-19," ujarnya.
Charles mengingatkan tidak boleh ada euforia ataupun kelonggaran protokol kesehatan sebelum COVID-19 benar-benar hilang dari Indonesia.