KPAI terima 6.519 pengaduan kasus pelanggaran hak anak selama 2020
8 Februari 2021 20:20 WIB
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati berbicara dalam konferensi pers virtual tentang Laporan Akhir Tahun 2020 dan Catatan Hasil Pengawasan KPAI 2020 di Jakarta, Senin (8/2/2021). ANTARA/Katriana
Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 6.519 pengaduan kasus pelanggaran hak anak sepanjang Tahun 2020, dengan tren kasus pelanggaran terhadap hak anak di era pandemi COVID-19 berubah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
"Jadi situasi pandemi juga berdampak pada kasus yang diterima KPAI," kata Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati dalam konferensi pers virtual tentang Laporan Akhir Tahun 2020 dan Catatan Hasil Pengawasan KPAI 2020, Jakarta, Senin.
Rita menyebutkan bahwa dari total 6.519 pengaduan kasus yang diterima KPAI sepanjang 2020, kasus pelanggaran hak anak yang tertinggi terjadi pada kluster keluarga dan pengasuhan alternatif 1.622 kasus, disusul kluster pendidikan 1.567 kasus, kluster anak berhadapan hukum (ABH) 1.098 kasus, dan kluster pornografi dan cybercrime 651 kasus.
Baca juga: KPAI catat 4.369 kasus pelanggaran hak anak sepanjang 2019
Lebih lanjut, pangaduan dari kluster trafficking atau perdagangan anak dan eksploitasi anak diterima juga oleh KPAI sebanyak 149 kasus, pengaduan dari kluster bidang sosial dan anak dalam situasi darurat 128 kasus, dari kluster hak sipil dan partisipasi 84 kasus, kluster kesehatan dan Napza 70 kasus. Sedangkan pengaduan kasus anak lainnya yaitu 1.011.
"Itu berarti ada data yang sudah tidak dapat ditampung dalam kluster dan dibutuhkan pembaharuan. Hal ini juga bermakna berkembangnya kasus-kasus perlindungan anak di Indonesia," kata dia.
Rita mengatakan data tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi pandemi memang berdampak terhadap anak. Kasus pada klaster keluarga dan pengasuhan alternatif memberikan gambaran tentang dampak COVID-19 terhadap kondisi orang tua yang lebih lanjut memengaruhi anak dengan kasus yang dominan adalah anak korban pengasuhan bermasalah atau konflik orang tua atau keluarga sebanyak 519 kasus dan larangan akses bertemu orang tua sebanyak 413 kasus.
Dari laporan pengaduan pada kluster pendidikan, Rita mencatat bahwa situasi belajar dari rumah juga menyebabkan masalah sehingga mendorong pengaduan terkait kebijakan sekolah yang meningkat drastis menjadi 1.463 kasus. Padahal sejak 2016, kasus klaster pornografi dan siber telah menjadi kasus ketiga tertinggi.
Baca juga: KPAI selama 2018 terima pengaduan 4.885 kasus anak
Situasi pembelajaran di era pandemi masih terus memiliki tantangan dan kebutuhan adaptasi agar pemenuhan hak pendidikan anak tetap berkualitas bagaimanapun keadaan dan situasinya.
Sementara itu, kasus pada kluster anak berhadapan dengan hukum, anak sebagai korban juga meningkat drastis dibandingkan angkanya pada 2019, misalnya kasus kekerasan fisik dari 157 menjadi 249 dan kekerasan psikis dari 32 menjadi 119 atau hampir 3,7 kali lipat.
Sementara kekerasan seksual naik dua kali lipat dari 190 menjadi 419 kasus. Adapun kasus kekerasan berbasis siber masih tidak terlalu jauh perbedaannya dari tahun 2019, yaitu dari 653 menjadi 651 di Tahun 2021.
Baca juga: Menteri PPPA ingatkan perkawinan anak langgar hak anak, harus disetop
"Jadi situasi pandemi juga berdampak pada kasus yang diterima KPAI," kata Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati dalam konferensi pers virtual tentang Laporan Akhir Tahun 2020 dan Catatan Hasil Pengawasan KPAI 2020, Jakarta, Senin.
Rita menyebutkan bahwa dari total 6.519 pengaduan kasus yang diterima KPAI sepanjang 2020, kasus pelanggaran hak anak yang tertinggi terjadi pada kluster keluarga dan pengasuhan alternatif 1.622 kasus, disusul kluster pendidikan 1.567 kasus, kluster anak berhadapan hukum (ABH) 1.098 kasus, dan kluster pornografi dan cybercrime 651 kasus.
Baca juga: KPAI catat 4.369 kasus pelanggaran hak anak sepanjang 2019
Lebih lanjut, pangaduan dari kluster trafficking atau perdagangan anak dan eksploitasi anak diterima juga oleh KPAI sebanyak 149 kasus, pengaduan dari kluster bidang sosial dan anak dalam situasi darurat 128 kasus, dari kluster hak sipil dan partisipasi 84 kasus, kluster kesehatan dan Napza 70 kasus. Sedangkan pengaduan kasus anak lainnya yaitu 1.011.
"Itu berarti ada data yang sudah tidak dapat ditampung dalam kluster dan dibutuhkan pembaharuan. Hal ini juga bermakna berkembangnya kasus-kasus perlindungan anak di Indonesia," kata dia.
Rita mengatakan data tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi pandemi memang berdampak terhadap anak. Kasus pada klaster keluarga dan pengasuhan alternatif memberikan gambaran tentang dampak COVID-19 terhadap kondisi orang tua yang lebih lanjut memengaruhi anak dengan kasus yang dominan adalah anak korban pengasuhan bermasalah atau konflik orang tua atau keluarga sebanyak 519 kasus dan larangan akses bertemu orang tua sebanyak 413 kasus.
Dari laporan pengaduan pada kluster pendidikan, Rita mencatat bahwa situasi belajar dari rumah juga menyebabkan masalah sehingga mendorong pengaduan terkait kebijakan sekolah yang meningkat drastis menjadi 1.463 kasus. Padahal sejak 2016, kasus klaster pornografi dan siber telah menjadi kasus ketiga tertinggi.
Baca juga: KPAI selama 2018 terima pengaduan 4.885 kasus anak
Situasi pembelajaran di era pandemi masih terus memiliki tantangan dan kebutuhan adaptasi agar pemenuhan hak pendidikan anak tetap berkualitas bagaimanapun keadaan dan situasinya.
Sementara itu, kasus pada kluster anak berhadapan dengan hukum, anak sebagai korban juga meningkat drastis dibandingkan angkanya pada 2019, misalnya kasus kekerasan fisik dari 157 menjadi 249 dan kekerasan psikis dari 32 menjadi 119 atau hampir 3,7 kali lipat.
Sementara kekerasan seksual naik dua kali lipat dari 190 menjadi 419 kasus. Adapun kasus kekerasan berbasis siber masih tidak terlalu jauh perbedaannya dari tahun 2019, yaitu dari 653 menjadi 651 di Tahun 2021.
Baca juga: Menteri PPPA ingatkan perkawinan anak langgar hak anak, harus disetop
Pewarta: Katriana
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021
Tags: