Industri petrokimia usulkan sistem PPN yang ramah investasi
8 Februari 2021 14:05 WIB
Ilustrasi - Pekerja beraktivitas di kawasan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Sabtu (21/12/2019). PT Pertamina (Persero) berencana mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat industri petrokimia yang terintegrasi dengan kilang nasional. ANTARA FOTO/Moch Asim/nz.
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik Indonesia (INAPLAS) mengusulkan sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang lebih ramah investasi, karena mega proyek petrokimia berisiko menanggung biaya modal tinggi akibat masa kredit Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia yang relatif terlalu pendek.
“Dalam situasi normal, konfigurasi mega investasi petrokimia terintegrasi yang begitu kompleks memerlukan waktu konstruksi antara 5-8 tahun. Akibat dampak pandemi COVID-19, masa konstruksi diperkirakan lebih lama,” kata Ketua INAPLAS Suhat Miyarso lewat keterangan pers diterima di Jakarta, Senin.
Hal tersebut karena mobilisasi ribuan pekerja konstruksi dalam satu wilayah yang sama tidak sesuai dengan protokol keselamatan dan pandemi menyebabkan rencana Final Investment Decision (FID) dari beberapa mega proyek tersebut mundur akibat kejutan yang terjadi pada industri petrokimia.
Baca juga: Produksi industri petrokimia diharapkan berbasis energi terbarukan
Industri petrokimia berencana membangun mega proyek petrokimia antara lain PT Lotte Chemicals, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, PT Pertamina (Persero), PT Nippon Shokubai Indonesia, PT Asahi Chemicals, PT IPC, dan PT Sulfindo.
“Selain hambatan dari situasi pandemi, mega proyek tersebut juga berpotensi terkendala oleh regulasi masa kredit PPN Indonesia yang terlampau pendek. Berdasarkan PMK Nomor 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama 3 (tiga) tahun, dengan tambahan maksimal 2 tahun,” ungkap Suhat.
Pendeknya masa kredit PPN tersebut menyebabkan mayoritas mega proyek petrokimia tidak dapat mengkreditkan PPN Masukan (Input Tax) terhadap belanja modal (Capital Expenditure / CAPEX), yang justru banyak dibelanjakan mendekati akhir masa konstruksi. Hal ini berimplikasi terhadap tingginya biaya modal.
Baca juga: PGN gandeng Pertamina jajaki industri petrokimia
Sebagai gambaran mega proyek petrokimia terintegrasi dengan ethylene cracker kapasitas 1 juta ton per tahun memiliki CAPEX 5 miliar dolar AS dengan demikian biaya modal dari PPN-nya saja bisa bernilai 500 juta dolar AS atau Rp7 triliun di luar biaya modal lainnya.
Sedangkan di Thailand dan Vietnam tidak memiliki batasan pengkreditan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum berproduksi. Dengan demikian investor akan cenderung melihat kedua negara tersebut sebagai lokasi yang lebih layak untuk ditanamkan investasi mega proyek petrokimia. “Kami mengapresiasi berbagai dukungan dan respons cepat pemerintah, khususnya dalam konteks insentif pajak dan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ujar Suhat.
Baca juga: Presiden kejar industri petrokimia kurangi defisit neraca perdagangan
“Dalam situasi normal, konfigurasi mega investasi petrokimia terintegrasi yang begitu kompleks memerlukan waktu konstruksi antara 5-8 tahun. Akibat dampak pandemi COVID-19, masa konstruksi diperkirakan lebih lama,” kata Ketua INAPLAS Suhat Miyarso lewat keterangan pers diterima di Jakarta, Senin.
Hal tersebut karena mobilisasi ribuan pekerja konstruksi dalam satu wilayah yang sama tidak sesuai dengan protokol keselamatan dan pandemi menyebabkan rencana Final Investment Decision (FID) dari beberapa mega proyek tersebut mundur akibat kejutan yang terjadi pada industri petrokimia.
Baca juga: Produksi industri petrokimia diharapkan berbasis energi terbarukan
Industri petrokimia berencana membangun mega proyek petrokimia antara lain PT Lotte Chemicals, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, PT Pertamina (Persero), PT Nippon Shokubai Indonesia, PT Asahi Chemicals, PT IPC, dan PT Sulfindo.
“Selain hambatan dari situasi pandemi, mega proyek tersebut juga berpotensi terkendala oleh regulasi masa kredit PPN Indonesia yang terlampau pendek. Berdasarkan PMK Nomor 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama 3 (tiga) tahun, dengan tambahan maksimal 2 tahun,” ungkap Suhat.
Pendeknya masa kredit PPN tersebut menyebabkan mayoritas mega proyek petrokimia tidak dapat mengkreditkan PPN Masukan (Input Tax) terhadap belanja modal (Capital Expenditure / CAPEX), yang justru banyak dibelanjakan mendekati akhir masa konstruksi. Hal ini berimplikasi terhadap tingginya biaya modal.
Baca juga: PGN gandeng Pertamina jajaki industri petrokimia
Sebagai gambaran mega proyek petrokimia terintegrasi dengan ethylene cracker kapasitas 1 juta ton per tahun memiliki CAPEX 5 miliar dolar AS dengan demikian biaya modal dari PPN-nya saja bisa bernilai 500 juta dolar AS atau Rp7 triliun di luar biaya modal lainnya.
Sedangkan di Thailand dan Vietnam tidak memiliki batasan pengkreditan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum berproduksi. Dengan demikian investor akan cenderung melihat kedua negara tersebut sebagai lokasi yang lebih layak untuk ditanamkan investasi mega proyek petrokimia. “Kami mengapresiasi berbagai dukungan dan respons cepat pemerintah, khususnya dalam konteks insentif pajak dan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ujar Suhat.
Baca juga: Presiden kejar industri petrokimia kurangi defisit neraca perdagangan
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021
Tags: