Artikel
Memahami pergantian sertifikat tanah elektronik yang kini berpolemik
Oleh Mentari Dwi Gayati
7 Februari 2021 11:15 WIB
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil dalam webinar yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (4/2/2021). ANTARA/HO-Aspri/am.
Jakarta (ANTARA) - Isu terkait rencana Pemerintah yang akan menarik sertifikat tanah fisik menjadi sertifikat elektronik menjadi perbincangan masyarakat, termasuk warganet, dalam sepekan terakhir.
Hal itu menyusul terbitnya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik yang mulai berlaku pada tahun 2021 ini. Kekhawatiran pun muncul karena berbagai alasan, mulai dari keamanan data, hingga validitas dokumen tersebut.
Bahkan, mantan juru bicara KPK Febri Diansyah sempat mewanti-wanti pergantian dokumen kertas menjadi elektronik, dalam cuitannya beberapa hari lalu.
Febri menyebut bahwa kasus korupsi pada KTP elektronik perlu menjadi pembelajaran, baik dari akses data, kesiapan peralatan, kapasitas dan integrasi pegawai, hingga validitas yang jauh lebih penting.
"Poinnya, sebelum mengambil kebijakan yang berefek besar pada publik dengan anggaran sangat besar, maka sangat penting lakukan mitigasi risiko korupsi sejak awal. Proyek e-KTP cukuplah jadi pembelajaran," tulis Febri Diansyah melalui akun Twitternya @febriadiansyah pada Kamis (4/2).
Ada beberapa poin yang menurut Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) merasa perlu untuk mengeluarkan peraturan terkait transformasi digital yang tengah dilakukan, yakni sertifikat elektronik.
Peralihan bentuk sertifikat tanah dalam bentuk digital ini diharapkan dapat menghindari adanya pemalsuan dokumen yang biasanya dilakukan mafia tanah. Perlu diketahui, dari 9.000 laporan terkait masalah lahan yang diterima ATR/BPN sejak tahun 2015-2019, 50 persennya terkait mafia tanah.
Modus mafia tanah juga membuat Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil cukup geram. Salah satunya, mafia tanah memanipulasi pemilik tanah dengan berpura-pura membeli tanah. Bermodal uang muka yang dibayarkan, mafia tanah bisa meminjam sertifikat dari sang pemilik tanah untuk dicek di Kantor BPN.
Jaringan mafia ini kemudian menggantikan sertifikat asli dengan sertifikat palsu. Di sisi lain, pemilik tanah tidak tahu kalau sertifikatnya diganti.
"Dengan adanya sertifikat elektronik, penipuan tidak bisa dilakukan lagi, pemalsuan tidak bisa dilakukan karena semua dokumen sudah berbentuk elektronik," kata Sofyan.
Menteri ATR/BPN menegaskan, tujuan dari program ini adalah bagaimana pelayanan publik menjadi lebih baik sehingga bila sudah bisa sertifikat elektronik, kerja mafia tanah akan hilang, karena tidak ada seseorang yang bisa memalsukan.
Baca juga: Anggota DPR: Sertifikat elektronik tanah harus tingkatkan layanan
Sertifikat fisik tidak ditarik
Dalam praktiknya, Menteri Sofyan juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa pihak Kementerian ATR/BPN tidak akan menarik sertifikat fisik yang masih disimpan masyarakat.
Isu penarikan sertifikat ini menuai kritik karena dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik Pasal 16 dijelaskan bahwa Kantor Pertanahan akan menarik sertifikat asli apabila mau diubah menjadi elektronik.
Dalam Pasal 16 ayat 3 Permen ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021, disebutkan bahwa "Kepala Kantor Pertanahan menarik Sertipikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan."
Bunyi pasal ini menimbulkan kekeliruan di masyarakat karena banyak anggapan bahwa Pemerintah akan menarik sertifikat fisik menjadi elektronik. Dalam pelaksanaanya, Kementerian ATR/BPN tidak akan menarik sertifikat fisik yang masih berlaku, hingga transformasi dalam bentuk elektronik sudah tuntas.
Selain itu, hanya ketika masyarakat ingin mengganti sertifikat elektronik secara sukarela, atau terjadi peralihan hak pemeliharaan data, transaksi pertanahan, barulah Kepala BPN akan menarik sertifikat fisik atau analog untuk kemudian diganti dengan sertifikat-el.
Saat ini terdapat lebih dari 70 juta bidang tanah yang sudah terdaftar di Kementerian ATR/BPN. Namun pergantian sertifikat elektronik pada tahun ini akan dilakukan secara bertahap, yakni mulai dari tanah milik pemerintah hingga BUMN yang akan diprioritaskan.
Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Dwi Purnama menilai pergantian sertifikat elektronik pada tanah instansi pemerintah akan lebih mudah dalam penyimpanan data.
Setelah instansi dan BUMN, pergantian sertifikat-el tahap berikutnya akan dilaksanakan oleh badan hukum karena peralatan dan pemahaman elektronik yang dinilai lebih siap.
Rencananya, dalam waktu dekat Kementerian ATR/Kepala BPN akan menguji coba di Jakarta dan Surabaya sebagai pilot project (proyek rintisan), kemudian menyusul Denpasar, sambil mengedukasi masyarakat terkait keamanan dan kemudahan sertifikat elektronik.
Baca juga: Kementerian ATR/BPN: Sertifikat tanah elektronik dilaksanakan bertahap
Keamanan
Terkait keamanan dan kerahasiaan data, seluruh proses pengamanan informasi dalam sertifikat-el ini menggunakan teknologi persandian kriptografi yang dijamin oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
ATR/BPN akan memberlakukan tanda tangan elektronik. Sehingga ketika penandatangan digital dilakukan, operasi kriptografi melekatkan sertifikat digital dan dokumen yang akan ditandatangani dalam sebuah kode yang unik.
Di sertifikat elektronik nantinya juga akan menggunakan hashcode, QR Code, dan single identity (identitas tunggal). Masyarakat akan mendapat informasi ketentuan penggunaan sertifikat elektronik, baik kewajiban dan larangannya, serta bentuk dokumen elektronik.
Layaknya penyimpanan uang di perbankan, masyarakat mendapat perlindungan berlapis soal keselamatan data, sehingga potensi pembajakan tidak akan terjadi.
"Kita juga mempunyai data center jadi simpan dokumen itu di beberapa tempat sehingga kalau terjadi listrik padam, di tempat lain otomatis bisa dipakai," kata Sofyan Djalil.
Pergantian sertifikat elektronik ini menjadi bagian transformasi digital pemerintah. Apalagi, sebelumnya Kementerian ATR/BPN juga sudah memberlakukan empat layanan elektronik, yakni Hak Tanggungan Elektronik, Pengecekan Sertipikat, Zona Nilai Tanah dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.
Jika seluruh layanan tersebut dapat dilakukan secara digital, setidaknya 30 persen antrean di Kantor BPN dapat dikurangi karena dokumen elektronik yang dinilai lebih efektivitas dan efisien.
Perpindahan media sertifikat tanah ini memang dinilai menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat, dan itu menjadi proses yang wajar. Namun demikian, digitalisasi ini harus diyakini sebagai keniscayaan yang nantinya dapat mempermudah kepengurusan pertanahan.
Selain memberi kepastian dan perlindungan hukum, mengurangi jumlah sengketa tanah dan perkara pengadilan mengenai pertanahan, sertifikat elektronik ini juga akan memperbaiki peringkat Indonesia terkait kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB)
Baca juga: Kebijakan terkait sertifikat tanah elektronik perlu sosialisasi masif
Baca juga: Sofyan Djalil tegaskan BPN tidak akan tarik sertifikat fisik
Hal itu menyusul terbitnya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik yang mulai berlaku pada tahun 2021 ini. Kekhawatiran pun muncul karena berbagai alasan, mulai dari keamanan data, hingga validitas dokumen tersebut.
Bahkan, mantan juru bicara KPK Febri Diansyah sempat mewanti-wanti pergantian dokumen kertas menjadi elektronik, dalam cuitannya beberapa hari lalu.
Febri menyebut bahwa kasus korupsi pada KTP elektronik perlu menjadi pembelajaran, baik dari akses data, kesiapan peralatan, kapasitas dan integrasi pegawai, hingga validitas yang jauh lebih penting.
"Poinnya, sebelum mengambil kebijakan yang berefek besar pada publik dengan anggaran sangat besar, maka sangat penting lakukan mitigasi risiko korupsi sejak awal. Proyek e-KTP cukuplah jadi pembelajaran," tulis Febri Diansyah melalui akun Twitternya @febriadiansyah pada Kamis (4/2).
Ada beberapa poin yang menurut Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) merasa perlu untuk mengeluarkan peraturan terkait transformasi digital yang tengah dilakukan, yakni sertifikat elektronik.
Peralihan bentuk sertifikat tanah dalam bentuk digital ini diharapkan dapat menghindari adanya pemalsuan dokumen yang biasanya dilakukan mafia tanah. Perlu diketahui, dari 9.000 laporan terkait masalah lahan yang diterima ATR/BPN sejak tahun 2015-2019, 50 persennya terkait mafia tanah.
Modus mafia tanah juga membuat Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil cukup geram. Salah satunya, mafia tanah memanipulasi pemilik tanah dengan berpura-pura membeli tanah. Bermodal uang muka yang dibayarkan, mafia tanah bisa meminjam sertifikat dari sang pemilik tanah untuk dicek di Kantor BPN.
Jaringan mafia ini kemudian menggantikan sertifikat asli dengan sertifikat palsu. Di sisi lain, pemilik tanah tidak tahu kalau sertifikatnya diganti.
"Dengan adanya sertifikat elektronik, penipuan tidak bisa dilakukan lagi, pemalsuan tidak bisa dilakukan karena semua dokumen sudah berbentuk elektronik," kata Sofyan.
Menteri ATR/BPN menegaskan, tujuan dari program ini adalah bagaimana pelayanan publik menjadi lebih baik sehingga bila sudah bisa sertifikat elektronik, kerja mafia tanah akan hilang, karena tidak ada seseorang yang bisa memalsukan.
Baca juga: Anggota DPR: Sertifikat elektronik tanah harus tingkatkan layanan
Sertifikat fisik tidak ditarik
Dalam praktiknya, Menteri Sofyan juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa pihak Kementerian ATR/BPN tidak akan menarik sertifikat fisik yang masih disimpan masyarakat.
Isu penarikan sertifikat ini menuai kritik karena dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik Pasal 16 dijelaskan bahwa Kantor Pertanahan akan menarik sertifikat asli apabila mau diubah menjadi elektronik.
Dalam Pasal 16 ayat 3 Permen ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021, disebutkan bahwa "Kepala Kantor Pertanahan menarik Sertipikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan."
Bunyi pasal ini menimbulkan kekeliruan di masyarakat karena banyak anggapan bahwa Pemerintah akan menarik sertifikat fisik menjadi elektronik. Dalam pelaksanaanya, Kementerian ATR/BPN tidak akan menarik sertifikat fisik yang masih berlaku, hingga transformasi dalam bentuk elektronik sudah tuntas.
Selain itu, hanya ketika masyarakat ingin mengganti sertifikat elektronik secara sukarela, atau terjadi peralihan hak pemeliharaan data, transaksi pertanahan, barulah Kepala BPN akan menarik sertifikat fisik atau analog untuk kemudian diganti dengan sertifikat-el.
Saat ini terdapat lebih dari 70 juta bidang tanah yang sudah terdaftar di Kementerian ATR/BPN. Namun pergantian sertifikat elektronik pada tahun ini akan dilakukan secara bertahap, yakni mulai dari tanah milik pemerintah hingga BUMN yang akan diprioritaskan.
Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Dwi Purnama menilai pergantian sertifikat elektronik pada tanah instansi pemerintah akan lebih mudah dalam penyimpanan data.
Setelah instansi dan BUMN, pergantian sertifikat-el tahap berikutnya akan dilaksanakan oleh badan hukum karena peralatan dan pemahaman elektronik yang dinilai lebih siap.
Rencananya, dalam waktu dekat Kementerian ATR/Kepala BPN akan menguji coba di Jakarta dan Surabaya sebagai pilot project (proyek rintisan), kemudian menyusul Denpasar, sambil mengedukasi masyarakat terkait keamanan dan kemudahan sertifikat elektronik.
Baca juga: Kementerian ATR/BPN: Sertifikat tanah elektronik dilaksanakan bertahap
Keamanan
Terkait keamanan dan kerahasiaan data, seluruh proses pengamanan informasi dalam sertifikat-el ini menggunakan teknologi persandian kriptografi yang dijamin oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
ATR/BPN akan memberlakukan tanda tangan elektronik. Sehingga ketika penandatangan digital dilakukan, operasi kriptografi melekatkan sertifikat digital dan dokumen yang akan ditandatangani dalam sebuah kode yang unik.
Di sertifikat elektronik nantinya juga akan menggunakan hashcode, QR Code, dan single identity (identitas tunggal). Masyarakat akan mendapat informasi ketentuan penggunaan sertifikat elektronik, baik kewajiban dan larangannya, serta bentuk dokumen elektronik.
Layaknya penyimpanan uang di perbankan, masyarakat mendapat perlindungan berlapis soal keselamatan data, sehingga potensi pembajakan tidak akan terjadi.
"Kita juga mempunyai data center jadi simpan dokumen itu di beberapa tempat sehingga kalau terjadi listrik padam, di tempat lain otomatis bisa dipakai," kata Sofyan Djalil.
Pergantian sertifikat elektronik ini menjadi bagian transformasi digital pemerintah. Apalagi, sebelumnya Kementerian ATR/BPN juga sudah memberlakukan empat layanan elektronik, yakni Hak Tanggungan Elektronik, Pengecekan Sertipikat, Zona Nilai Tanah dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.
Jika seluruh layanan tersebut dapat dilakukan secara digital, setidaknya 30 persen antrean di Kantor BPN dapat dikurangi karena dokumen elektronik yang dinilai lebih efektivitas dan efisien.
Perpindahan media sertifikat tanah ini memang dinilai menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat, dan itu menjadi proses yang wajar. Namun demikian, digitalisasi ini harus diyakini sebagai keniscayaan yang nantinya dapat mempermudah kepengurusan pertanahan.
Selain memberi kepastian dan perlindungan hukum, mengurangi jumlah sengketa tanah dan perkara pengadilan mengenai pertanahan, sertifikat elektronik ini juga akan memperbaiki peringkat Indonesia terkait kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB)
Baca juga: Kebijakan terkait sertifikat tanah elektronik perlu sosialisasi masif
Baca juga: Sofyan Djalil tegaskan BPN tidak akan tarik sertifikat fisik
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: