Pakar Unej: Tutupan lahan di hulu DAS Bedadung Jember kritis
5 Februari 2021 16:40 WIB
Rumah warga di Perumahan Villa Indah Tegalbesar di Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember yang terdampak banjir bandang Sungai Bedadung, Sabtu (30/1/2021). ANTARA/Zumrotun Solichah/am.
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar lingkungan dan pertanian Universitas Jember (Unej) Dr Luh Putu Ayu Suciati mengatakan, tutupan lahan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Bedadung di Kabupaten Jember, Jawa Timur dalam kondisi kritis, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang beberapa waktu lalu.
"Penyebab banjir beberapa waktu lalu karena tutupan lahan di hulu DAS Bedadung terus berkurang, sedangkan masyarakat di tengah dan hilir kurang menyadari pentingnya peran dan fungsi sungai," katanya saat dihubungi di Jember, Jumat.
Ia mengatakan persoalan DAS Bedadung di Kabupaten Jember cukup kompleks, sehingga perlu peranan semua pihak untuk menyelamatkan lingkungan dari bencana dan tidak saling menuding pihak yang menyebabkan bencana alam tersebut.
"Tutupan lahan di hulu DAS Bedadung semakin berkurang, yakni hanya 16,25 persen berdasarkan citra satelit tahun 2018, padahal idealnya 30 persen sesuai dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,"
Baca juga: 77 rumah rusak diterjang banjir Sungai Bedadung, Jember-Jatim
Menurutnya beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa Unej juga menyebutkan terjadinya erosi di kawasan hulu DAS Bedadung dan adanya perubahan fungsi lahan hutan yang dibenarkan oleh beberapa pihak terkait.
"Ada tiga kecamatan yang berada di hulu DAS Bedadung yakni Kecamatan Jelbuk, Sumberjambe, dan Panti yang sebagian berada di kawasan lereng Pegunungan Hyang Argopuro," tuturnya.
Ia mengatakan pola pertanian masyarakat di kawasan hulu DAS Bedadung merupakan pola pertanian ladang berpindah dengan tanaman seperti jagung dan padi yang tidak mampu menahan resapan air, sehingga ketika hujan turun cukup deras tidak ada tanaman keras yang bisa menahan air tersebut.
"Erosinya cukup tinggi dan ditambah lagi karakteristik tanah di sana berupa lempungan yang tidak bisa menyerap air, sehingga air langsung mengalir ke arah permukiman penduduk," kata Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Air Pertanian (PSDAP) dan Alam Lingkungan Program Pascasarjana Unej itu.
Baca juga: BPBD sebut 436 rumah warga terkena dampak banjir di Jember
Untuk itu, lanjut dia, perlu dilakukan pola wanatani atau agroforestry yang merupakan suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian yang tetap menjaga kelestarian hutan.
"Pada Desember 2020, kami sempat mengadakan diskusi untuk mengidentifikasi dan mencari solusi persoalan DAS Bedadung dari hulu, tengah, dan hilir dengan melibatkan semua pihak seperti Dinas Lingkungan Hidup, Perhutani, Dinas Kehutanan dan pihak terkait lainnya," katanya.
"Tipologi di hulu DAS Bedadung tanahnya berbukit-bukit dan bergelombang, serta tanahnya berupa lempung yang tidak bisa menyerap air. Jika tidak dibarengi agroforestry yang baik maka potensi banjir dan longsor cukup tinggi," ujarnya.
Baca juga: Warga di bantaran DAS Bedadung mengungsi akibat banjir di Jember
Luh Putu berharap semua pihak menjalankan peranannya dengan baik dan persoalan DAS Bedadung dari hulu, tengah hingga hilir menjadi tanggung jawab bersama, sehingga perlu dilakukan kolaborasi dan sinergi terus menerus dengan stake holder terkait dengan pengelolaan DAS tersebut.
Sebelumnya banjir bandang luapan Sungai Bedadung menerjang Kabupaten Jember pada Jumat (29/1) sore hingga malam yang menyebabkan 411 kepala keluarga (KK) tersebar di 13 desa/kelurahan yang berada di tujuh kecamatan di Jember terdampak bencana tersebut.
Banjir bandang juga menyebabkan 77 rumah rusak dengan rincian 27 rumah rusak berat, 42 rumah rusak sedang, dan delapan rumah rusak ringan, serta lima fasilitas umum terdampak.
Baca juga: Bahu membahu tangani banjir di Jember tanpa dukungan APBD
"Penyebab banjir beberapa waktu lalu karena tutupan lahan di hulu DAS Bedadung terus berkurang, sedangkan masyarakat di tengah dan hilir kurang menyadari pentingnya peran dan fungsi sungai," katanya saat dihubungi di Jember, Jumat.
Ia mengatakan persoalan DAS Bedadung di Kabupaten Jember cukup kompleks, sehingga perlu peranan semua pihak untuk menyelamatkan lingkungan dari bencana dan tidak saling menuding pihak yang menyebabkan bencana alam tersebut.
"Tutupan lahan di hulu DAS Bedadung semakin berkurang, yakni hanya 16,25 persen berdasarkan citra satelit tahun 2018, padahal idealnya 30 persen sesuai dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,"
Baca juga: 77 rumah rusak diterjang banjir Sungai Bedadung, Jember-Jatim
Menurutnya beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa Unej juga menyebutkan terjadinya erosi di kawasan hulu DAS Bedadung dan adanya perubahan fungsi lahan hutan yang dibenarkan oleh beberapa pihak terkait.
"Ada tiga kecamatan yang berada di hulu DAS Bedadung yakni Kecamatan Jelbuk, Sumberjambe, dan Panti yang sebagian berada di kawasan lereng Pegunungan Hyang Argopuro," tuturnya.
Ia mengatakan pola pertanian masyarakat di kawasan hulu DAS Bedadung merupakan pola pertanian ladang berpindah dengan tanaman seperti jagung dan padi yang tidak mampu menahan resapan air, sehingga ketika hujan turun cukup deras tidak ada tanaman keras yang bisa menahan air tersebut.
"Erosinya cukup tinggi dan ditambah lagi karakteristik tanah di sana berupa lempungan yang tidak bisa menyerap air, sehingga air langsung mengalir ke arah permukiman penduduk," kata Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Air Pertanian (PSDAP) dan Alam Lingkungan Program Pascasarjana Unej itu.
Baca juga: BPBD sebut 436 rumah warga terkena dampak banjir di Jember
Untuk itu, lanjut dia, perlu dilakukan pola wanatani atau agroforestry yang merupakan suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian yang tetap menjaga kelestarian hutan.
"Pada Desember 2020, kami sempat mengadakan diskusi untuk mengidentifikasi dan mencari solusi persoalan DAS Bedadung dari hulu, tengah, dan hilir dengan melibatkan semua pihak seperti Dinas Lingkungan Hidup, Perhutani, Dinas Kehutanan dan pihak terkait lainnya," katanya.
"Tipologi di hulu DAS Bedadung tanahnya berbukit-bukit dan bergelombang, serta tanahnya berupa lempung yang tidak bisa menyerap air. Jika tidak dibarengi agroforestry yang baik maka potensi banjir dan longsor cukup tinggi," ujarnya.
Baca juga: Warga di bantaran DAS Bedadung mengungsi akibat banjir di Jember
Luh Putu berharap semua pihak menjalankan peranannya dengan baik dan persoalan DAS Bedadung dari hulu, tengah hingga hilir menjadi tanggung jawab bersama, sehingga perlu dilakukan kolaborasi dan sinergi terus menerus dengan stake holder terkait dengan pengelolaan DAS tersebut.
Sebelumnya banjir bandang luapan Sungai Bedadung menerjang Kabupaten Jember pada Jumat (29/1) sore hingga malam yang menyebabkan 411 kepala keluarga (KK) tersebar di 13 desa/kelurahan yang berada di tujuh kecamatan di Jember terdampak bencana tersebut.
Banjir bandang juga menyebabkan 77 rumah rusak dengan rincian 27 rumah rusak berat, 42 rumah rusak sedang, dan delapan rumah rusak ringan, serta lima fasilitas umum terdampak.
Baca juga: Bahu membahu tangani banjir di Jember tanpa dukungan APBD
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: