Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia dan Jerman sepakat mendukung upaya transisi energi bersih melalui program Clean, Affordable, Secure Energy (CASE) di Asia Tenggara.

"Salah satu sektor strategis berperan mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca nasional yaitu energi, di antaranya pembangkitan," kata Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas Rachmat Mardiana dalam lokakarya virtual program CASE di Jakarta, Selasa.

Ia berharap pada 2024 sebanyak 20 persen pembangkit listrik di Indonesia menggunakan energi baru dan terbarukan.

Sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu sektor yang dapat meningkatkan roda perekonomian dan pembangunan berkelanjutan sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.

Sayangnya, sektor tersebut masih didominasi penggunaan bahan bakar fosil.

Untuk itu, diadakan program CASE di Indonesia yang bertujuan mengubah arah sektor energi secara substantif, khususnya sektor ketenagalistrikan di Indonesia melakukan transisi menuju energi bersih.

Program ini berlandaskan komitmen Persetujuan Paris yang menanamkan kerangka global untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan menargetkan penurunan emisi GRK hingga 29 persen pada 2030.

Selain itu, RPJMN 2020-2024 sebagai arah kebijakan pembangunan nasional juga telah menjadikan pembangunan rendah karbon sebagai bagian dari prioritas nasional

CASE sendiri merupakan agenda regional yang dilaksanakan di Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia hingga Februari 2024.

Di Indonesia, program ini diadakan melalui konsorsium yang terdiri atas Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ), Agora Energiewende, New Climate Institute (NCI), serta Institute for Essential Service (IESR), organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memaparkan potensi Indonesia dalam mengoptimalkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) terbilang besar.

Perkembangan energi bersih semakin menjanjikan, terutama didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan biaya investasi yang semakin murah.

Sebagai implikasinya, kata dia, pada 2030 membangun pembangkit listrik baru dari EBT akan lebih murah dari pada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang sudah ada di seluruh belahan dunia.

Pengembangan EBT untuk menggantikan energi fosil juga bermanfaat untuk mitigasi perubahan iklim akibat meningkatnya emisi GRK dari sektor pembangkitan.

Sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi tinggi, Indonesia dituntut menurunkan konsumsi energi fosil dengan secepatnya melakukan transisi ke energi bersih, khususnya di sektor ketenagalistrikan.

“Dalam Rencana Umum Energi Nasional, pemerintah mempunyai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Menurut analisis IESR, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambahkan kapasitas EBT sekitar dua hingga tiga GW setiap tahun hingga 2025,” kata Fabby.

Namun, hasil analisis komprehensif IESR menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, rata-rata penambahan kapasitas energi terbarukan hanya sebesar 250-350 MW.

Sementara sepanjang 2021, penambahan diperkirakan hanya mencapai sekitar 400-500 MW.

Artinya, lanjut dia, sebagai langkah mengatasi masalah selisih penambahan kapasitas tersebut, Indonesia perlu mempertimbangkan opsi-opsi pengembangan energi terbarukan yang berpotensi besar seperti PLTS, mulai dari skala besar hingga skala kecil (PLTS Atap).

Baca juga: Wapres: Ketergantungan impor energi fosil harus dihentikan
Baca juga: Pakar: Energi terbarukan efektif bagi pertanian modern
Baca juga: Kemenhub kembangkan energi terbarukan di terminal penumpang