Ekonom minta pemerintah berikan insentif sektor EBT agar berkembang
Petugas memeriksa panel surya terapung sebelum peresmian Pembangunan pertama PLTS Terapung Cirata di kawasan Waduk Cirata, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (17/12). PT PJB Investasi (PT PJBI) sebagai anak perusahaan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PT PJB) bekerja sama dengan perusahaan asal Uni Emirat Arab (UEA) Masdar dalam pembangun PLTS Terapung Cirata 145 MWac terbesar se-Asia Tenggara sekaligus terbesar kedua di dunia dalam rangka meningkatkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) agar mencapai target 23 persen di tahun 2025 dengan nilai investasi proyek mencapai 129 juta USD atau sekitar 1,8 triliun rupiah. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/hp.
"Insentif diperlukan sebab investasi pembangkit EBT masih tergolong mahal dibandingkan pembangkit batu bara," ujar Abra Talattov dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, insentif dari pemerintah juga tidak harus berupa fiskal. Insentif non-fiskal seperti konsistensi regulasi juga perlu dimaksimalkan.
Baca juga: Menteri LHK harap pemanfaatan EBT meningkat hingga 50 persen di 2050
Ia mengatakan pemerintah harus mampu memfasilitasi agar suplai EBT bisa terserap pasar di dalam negeri.
"Regulasi itu tidak hanya dari sisi penawaran, tapi juga permintaan. Dengan begitu, EBT jadi menguntungkan dan berkembang," kata Abra.
Saat ini, ia menyampaikan bahwa bauran EBT masih jauh dari target yang ingin dicapai pemerintah pada 2025, yaitu sebesar 23 persen. Pada 2020, baru mencapai 11,51 persen.
Baca juga: Peneliti: Anak muda berperan strategis kembangkan energi terbarukan
Terkait pendanaan perbankan ke sektor EBT, Abra mengatakan, hal itu juga telah diatur POJK 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan.
Ia menyampaikan POJK ini meminta perbankan meningkatkan portofolio pembiayaan, investasi, atau penempatan pada instrumen keuangan atau proyek yang sejalan dengan penerapan keuangan berkelanjutan.
Kendati demikian, Abra mengatakan perbankan juga tetap harus melakukan pengawasan terhadap pembiayaan jenis ini dikarenakan mencakup perkebunan kelapa sawit dengan program B30.
"Meskipun perbankan membiayai perkebunan, perbankan harus memastikan hal tersebut tidak merusak lingkungan yang ada," katanya.
Baca juga: Setjen DEN: Sinergi BRI dan LEN dukung target EBT pemerintah pada 2025
Sebelumnya, Kementerian ESDM memfokuskan empat program prioritas subsektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) pada 2021 guna mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan program pertama adalah keberlangsungan mandatori B30 dengan mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen bahan bakar minyak (BBM) jenis solar.
Fokus selanjutnya, kata Dadan, adalah co-firing biomassa. Program ini merupakan metode memanfaatkan biomassa sebagai subtitusi atau pengganti batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Program prioritas lainnya adalah percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Dan fokus keempat adalah konversi pembangkit listrik berbasis energi fosil, utamanya pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke PLT EBT yang lebih ramah lingkungan.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021