Akademisi nilai revisi UU Pemilu tidak mendesak dilakukan
28 Januari 2021 14:48 WIB
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan melakukan konsolidasi seusai musyawarah dan lobi di sela-sela rapat sidang Paripurna ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (20/7). Hasil musyawarah pimpinan DPR dengan pimpinan Fraksi disetujui 573 pasal pemilu dan voting RUU Pemilu untuk dua opsi paket A atau B. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/wsj/aa.
Purwokerto (ANTARA) - Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq menilai revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mendesak untuk dilakukan.
"Desain kepemiluan mestinya ditujukan untuk jangka panjang, jangan sampai kemudian sedikit-sedikit berubah. Ini kan belum dilaksanakan, sudah diubah, jadi kesannya 'bongkar pasang'," kata Ahmad Sabiq, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis, terkait revisi UU Pemilu khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Menurut dia, tidak ada suatu yang begitu mendesak untuk dilakukan perubahan terhadap jadwal-jadwal yang telah ditetapkan oleh undang-undang yang masih berlaku saat ini (UU Nomor 7 Tahun 2017, Red).
"Itu malah yang kita pertanyakan, ada kepentingan apa," kata dosen pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu itu pula.
Lebih lanjut, Sabiq mengakui jika pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2024 seperti yang ditetapkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, ada waktu yang cukup lama bagi suatu daerah akan dipimpin oleh kepala daerah yang bukan hasil pemilihan umum.
Dalam hal ini, daerah-daerah tersebut merupakan kabupaten/kota dan provinsi yang mengikuti pilkada serentak pada tahun 2017 dan 2018.
"Sebetulnya itu yang menjadi persoalan," katanya.
Akan tetapi bagi daerah yang mengikuti pilkada serentak pada tahun 2020, kata dia, sudah menjadi pemahaman dan sudah disepakati bersama bahwa ketika seseorang yang mencalonkan diri dalam pilkada tersebut, yang bersangkutan tidak akan menjabat penuh selama lima tahun karena pilkada selanjutnya digelar pada tahun 2024.
Karena itu, lanjut dia, ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 sebaiknya dilaksanakan dulu sesuai dengan jadwal, sehingga tidak seperti yang tercantum dalam draf RUU Pemilu yang mengembalikan lagi seperti yang lama.
"Tidak ada unsur kemendesakannya. Ada kepentingan apa. Mestinya kepentingan-kepentingan siapa pun itu jangan kemudian merusak desain kepemiluan yang sudah dicanangkan untuk jangka panjang dengan undang-undang yang sudah ada," katanya menegaskan.
Dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 ayat 1 disebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2020".
Pasal 731 ayat 2 menyebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022".
Pasal 731 ayat 3 menyebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023".
Pada Pasal 734 ayat 1 dijelaskan bahwa "Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2017, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali".
Selanjutnya dalam Pasal 734 ayat 2 disebutkan "Pemilu Nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2024, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali".
Baca juga: Pimpinan Baleg: Revisi UU Pemilu agenda krusial DPR 2021
Baca juga: Komisi II DPR: Draf Revisi UU Pemilu sudah rampung tiga hari lalu
"Desain kepemiluan mestinya ditujukan untuk jangka panjang, jangan sampai kemudian sedikit-sedikit berubah. Ini kan belum dilaksanakan, sudah diubah, jadi kesannya 'bongkar pasang'," kata Ahmad Sabiq, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis, terkait revisi UU Pemilu khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Menurut dia, tidak ada suatu yang begitu mendesak untuk dilakukan perubahan terhadap jadwal-jadwal yang telah ditetapkan oleh undang-undang yang masih berlaku saat ini (UU Nomor 7 Tahun 2017, Red).
"Itu malah yang kita pertanyakan, ada kepentingan apa," kata dosen pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu itu pula.
Lebih lanjut, Sabiq mengakui jika pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2024 seperti yang ditetapkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, ada waktu yang cukup lama bagi suatu daerah akan dipimpin oleh kepala daerah yang bukan hasil pemilihan umum.
Dalam hal ini, daerah-daerah tersebut merupakan kabupaten/kota dan provinsi yang mengikuti pilkada serentak pada tahun 2017 dan 2018.
"Sebetulnya itu yang menjadi persoalan," katanya.
Akan tetapi bagi daerah yang mengikuti pilkada serentak pada tahun 2020, kata dia, sudah menjadi pemahaman dan sudah disepakati bersama bahwa ketika seseorang yang mencalonkan diri dalam pilkada tersebut, yang bersangkutan tidak akan menjabat penuh selama lima tahun karena pilkada selanjutnya digelar pada tahun 2024.
Karena itu, lanjut dia, ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 sebaiknya dilaksanakan dulu sesuai dengan jadwal, sehingga tidak seperti yang tercantum dalam draf RUU Pemilu yang mengembalikan lagi seperti yang lama.
"Tidak ada unsur kemendesakannya. Ada kepentingan apa. Mestinya kepentingan-kepentingan siapa pun itu jangan kemudian merusak desain kepemiluan yang sudah dicanangkan untuk jangka panjang dengan undang-undang yang sudah ada," katanya menegaskan.
Dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 ayat 1 disebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2020".
Pasal 731 ayat 2 menyebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022".
Pasal 731 ayat 3 menyebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023".
Pada Pasal 734 ayat 1 dijelaskan bahwa "Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2017, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali".
Selanjutnya dalam Pasal 734 ayat 2 disebutkan "Pemilu Nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2024, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali".
Baca juga: Pimpinan Baleg: Revisi UU Pemilu agenda krusial DPR 2021
Baca juga: Komisi II DPR: Draf Revisi UU Pemilu sudah rampung tiga hari lalu
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: