Artikel
Sapi Pasundan dan impian swasembada daging sapi
Oleh Ajat Sudrajat
28 Januari 2021 10:31 WIB
Pekerja menggiring sapi untuk dilepasliarkan di Mini Ranch Sapi Pasundan, Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (7/12/2020). Pemerintah Kabupaten Ciamis mengembangkan Agrowisata edukasi dan konservasi sapi Pasundan berbasis pertanian serta peternakan seluas 10 hektare untuk mendukung program agropolitan di wilayah Ciamis Utara. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp (ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI)
Bandung (ANTARA) - Beberapa hari lalu, pedagang daging sapi, khususnya di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) melakukan aksi mogok jualan selama tiga hari karena tingginya harga komoditas ini di pasaran.
Berbeda dengan di Jabodetabek, pedagang daging sapi di kawasan Bandung seperti di Pasar Kosambi Kota Bandung, Jawa Barat, tetap memilih berjualan meskipun harganya mencapai Rp125 ribu per kilogram.
"Sudah jatuh tertimpa tangga pula", itulah yang dirasakan oleh salah seorang pedagang daging sapi di Pasar Kosambi Kota Bandung, Yayah.
Yayah mengaku tidak bisa serta merta menaikkan harga daging sapi meskipun harganya naik dari tingkat pemasok, terlebih saat ini sedang pandemi COVID-19 yang membuat daya beli masyarakat menurun.
Menyikapi masalah gejolak harga daging tersebut, pemerintah pun tak tinggal diam.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko berupaya mencari solusi menstabilkan harga daging sapi dengan mempertemukan langsung Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) dan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) merespons kenaikan harga daging sapi di pasaran.
Selain itu, pemerintah juga mencari alternatif sumber daging maupun sapi bakalan dari negara lain, misalnya impor daging dari India, Brazil, dan bahkan sapi dari Meksiko.
Impor ditempuh karena menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag Syailendra, kenaikan harga daging sapi di dalam negeri sedikit banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga daging sapi di salah satu negara pengekspor daging sapi ke Indonesia, yaitu Australia.
Dua langkah tersebut bisa dikatakan sebagai "upaya jangka pendek" untuk meredam gejolak harga daging sapi karena permasalahan tersebut selalu terjadi kembali.
Lantas apa langkah jangka panjang yang harus disiapkan pemerintah untuk memutus masalah gelojak harga daging sapi di pasaran.
Swasemda daging sapi lokal, mungkin bisa menjadi salah satu jawabannya.
Pertengahan tahun 2020, Lementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus mendorong pengembangan ternak asli Indonesia, yakni Sapi Pasundan sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan pangan nasional yaitu daging sapi.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita menjelaskan sapi pasundan merupakan salah satu kekayaan ternak lokal Indonesia yang telah dipelihara secara turun-menurun oleh masyarakat peternak Jawa Barat sebagai sumber penghidupan.
Pengembangan sapi pasundan sebagai upaya pemenuhan daging nasional merupakan langkah yang tepat di saat negeri ini masih mengalami kekurangan daging sapi, mengingat keunggulan komparatifnya dibanding sapi lain yang sudah lama hidup di lingkungan tropis.
Ketut menjelaskan pengembangan sapi pasundan bertujuan mempertahankan sumber daya genetik lokal dan upaya penyelamatan plasma nutfah asli Indonesia.
Sebagai bentuk dukungan teknologi dalam mempertahankan genetik lokal, Kementan memiliki Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dan Balai Inseminasi Buatan (BUB) Lembang sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Ditjen PKH.
Balai tersebut memiliki tugas dan fungsi untuk penyelamatan plasma nutfah dengan memproduksi embrio dan semen beku untuk mendapatkan ternak sapi yang berkualitas.
Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen PKH, Sugiono menjelaskan berbagai keunggulan Sapi Pasundan, yakni selain adaptif dengan kondisi agroekosistem di Provinsi Jawa Barat.
Selain itu, Sapi Pasundan memiliki sistem reproduksi yang baik, dengan rentang beranak yang relatif stabil dan selalu menghasilkan ternak yang mempunyai nilai kondisi tubuh di atas tiga pada skala lima.
Sapi Pasundan juga lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan cuaca. Hal ini memberikan dampak positif terhadap sistem kesehatannya, karena dengan lebih mudah beradaptasi, sapi tidak mudah stres.
Selain itu, Sugiono menilai sapi pasundan mempunyai prosentasi karkas yang cukup baik, pada kisaran 50 persen dengan berat bisa mencapai 300 kg-350 kg.
Sapi Pasundan mempunyai potensi untuk menghasilkan daging dengan kualitas premium.
Bahkan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencetuskan ide untuk menjalankan program kawin silang antara sapi khas Belgia berjenis Belgian Blue Cattle dengan sapi khas tanah Pasundan yang bertujuan untuk meningkatkan tonase hasil produksi sapi lokal.
Hal tersebut tercetus usai Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum melakukan kunjungan kerja ke Belgia di akhir tahun 2018.
Baca juga: Pemerintah perlu perkuat upaya swasembada daging sapi
Baca juga: Pemerintah berupaya mempercepat swasembada daging, kata Mentan
Alih fungsi lahan
Namun ada sejumlah hambatan yang dihadapi oleh pemerintah untuk mengoptimalkan atau pengembangan Sapi Pasundan demi tercapainya impian swasemda daging sapi.
Kepala Bidang Produksi Peternakan, Dinas ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat, Aida Rosana populasi Sapi Pasundan yang merupakan salah satu kekayaan ternak lokal Indonesia yang telah dipelihara secara turun-menurun oleh masyarakat peternak Jawa Barat (Jabar) sebagai sumber penghidupan, tergerus oleh alih fungsi lahan untuk kepentingan industri.
Pada tahun 2017, populasi Sapi Pasundan mencapai 35 ribu ekor lebih yang tersebar di 11 daerah di Provinsi Jawa Barat.
"Tapi sekarang hampir 20 sampai 25 ribuan. Kenapa demikian karena sudah banyak alih fungsi lahan. Seperti pembangunan kawasan industri," kata Aida Rosana.
Alih fungsi lahan tersebut membuat para peternak Sapi Pasundan tidak bisa berternak lagi padahal jenis sapi tersebut memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan jenis sapi lainnya seperti lebih tahan terhadap faktor cuaca dan dagingnya lebih berkualitas.
Pemprov Jabar bertekad akan terus melakukan pengembangan terhadap Sapi Pasundan agar bisa menggenjot kembali populasi sapi tersebut walaupun pada tahun lalu terhambat oleh perubahan (refocusing) anggaran untuk penanggulangan COVID-19.
"Kita akan kembangkan, tapi tadinya mau 2020, tapi karena ada refocusing, jadi kita ingin mengembangkan sapi pasundan di Kabupaten kuningan dan Kabupaten Garut," katanya.
Pengembangan Sapi Pasundan salah satunya dilakukan dengan membangun klaster khusus pengembangan sapi tersebut yang rencananya akan dibangun di Kabupaten Kuningan.
Kabupaten Kuningan termasuk ke dalam 11 daerah sebaran Sapi Pasundan di Jawa Barat, khususnya Kecamatan Cibingbin yang saat ini memiliki populasi sapi pasundan sekitar 5.000 ekor melalui pemeliharaan intensif dan semiintensif.
Upaya pemerintah daerah untuk menggenjot populasi Sapi Pasundan adalah dengan memproduksi semen bekunya di UPT Daerah Balai Perbibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong (BPPIBTSP), Ciamis.
Kebutuhan daging sapi di Jabar mencapai 195 ribu ton setara dengan 1 juta ekor lebih per tahun.
Meskipun di Jawa Barat banyak berdiri hotel dan restoran, namun dalam situasi pandemi COVID-19 membuat permintaan sapi menurun.
Ketersediaan sapi lokal Jawa Barat hanya berkisar 10 persen, selebihnya atau 90 persen harus didatangkan dari luar, baik antar pulau maupun sapi bakalan dan daging impor.
Untuk bisa mencapai swasembada daging sapi di Tanah Air, khususnya di Jawa Barat melalui Sapi Pasundan, bukanlah persoalan mudah. Karena itu dibutuhkan dukungan dari mulai pemerintah pusat, provinsi hingga tingkat kabupaten/kota.
Baca juga: Penuhi kebutuhan daging, Kementan dorong pengembangan sapi pasundan
Berbeda dengan di Jabodetabek, pedagang daging sapi di kawasan Bandung seperti di Pasar Kosambi Kota Bandung, Jawa Barat, tetap memilih berjualan meskipun harganya mencapai Rp125 ribu per kilogram.
"Sudah jatuh tertimpa tangga pula", itulah yang dirasakan oleh salah seorang pedagang daging sapi di Pasar Kosambi Kota Bandung, Yayah.
Yayah mengaku tidak bisa serta merta menaikkan harga daging sapi meskipun harganya naik dari tingkat pemasok, terlebih saat ini sedang pandemi COVID-19 yang membuat daya beli masyarakat menurun.
Menyikapi masalah gejolak harga daging tersebut, pemerintah pun tak tinggal diam.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko berupaya mencari solusi menstabilkan harga daging sapi dengan mempertemukan langsung Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) dan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) merespons kenaikan harga daging sapi di pasaran.
Selain itu, pemerintah juga mencari alternatif sumber daging maupun sapi bakalan dari negara lain, misalnya impor daging dari India, Brazil, dan bahkan sapi dari Meksiko.
Impor ditempuh karena menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag Syailendra, kenaikan harga daging sapi di dalam negeri sedikit banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga daging sapi di salah satu negara pengekspor daging sapi ke Indonesia, yaitu Australia.
Dua langkah tersebut bisa dikatakan sebagai "upaya jangka pendek" untuk meredam gejolak harga daging sapi karena permasalahan tersebut selalu terjadi kembali.
Lantas apa langkah jangka panjang yang harus disiapkan pemerintah untuk memutus masalah gelojak harga daging sapi di pasaran.
Swasemda daging sapi lokal, mungkin bisa menjadi salah satu jawabannya.
Pertengahan tahun 2020, Lementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus mendorong pengembangan ternak asli Indonesia, yakni Sapi Pasundan sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan pangan nasional yaitu daging sapi.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita menjelaskan sapi pasundan merupakan salah satu kekayaan ternak lokal Indonesia yang telah dipelihara secara turun-menurun oleh masyarakat peternak Jawa Barat sebagai sumber penghidupan.
Pengembangan sapi pasundan sebagai upaya pemenuhan daging nasional merupakan langkah yang tepat di saat negeri ini masih mengalami kekurangan daging sapi, mengingat keunggulan komparatifnya dibanding sapi lain yang sudah lama hidup di lingkungan tropis.
Ketut menjelaskan pengembangan sapi pasundan bertujuan mempertahankan sumber daya genetik lokal dan upaya penyelamatan plasma nutfah asli Indonesia.
Sebagai bentuk dukungan teknologi dalam mempertahankan genetik lokal, Kementan memiliki Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dan Balai Inseminasi Buatan (BUB) Lembang sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Ditjen PKH.
Balai tersebut memiliki tugas dan fungsi untuk penyelamatan plasma nutfah dengan memproduksi embrio dan semen beku untuk mendapatkan ternak sapi yang berkualitas.
Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen PKH, Sugiono menjelaskan berbagai keunggulan Sapi Pasundan, yakni selain adaptif dengan kondisi agroekosistem di Provinsi Jawa Barat.
Selain itu, Sapi Pasundan memiliki sistem reproduksi yang baik, dengan rentang beranak yang relatif stabil dan selalu menghasilkan ternak yang mempunyai nilai kondisi tubuh di atas tiga pada skala lima.
Sapi Pasundan juga lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan cuaca. Hal ini memberikan dampak positif terhadap sistem kesehatannya, karena dengan lebih mudah beradaptasi, sapi tidak mudah stres.
Selain itu, Sugiono menilai sapi pasundan mempunyai prosentasi karkas yang cukup baik, pada kisaran 50 persen dengan berat bisa mencapai 300 kg-350 kg.
Sapi Pasundan mempunyai potensi untuk menghasilkan daging dengan kualitas premium.
Bahkan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencetuskan ide untuk menjalankan program kawin silang antara sapi khas Belgia berjenis Belgian Blue Cattle dengan sapi khas tanah Pasundan yang bertujuan untuk meningkatkan tonase hasil produksi sapi lokal.
Hal tersebut tercetus usai Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum melakukan kunjungan kerja ke Belgia di akhir tahun 2018.
Baca juga: Pemerintah perlu perkuat upaya swasembada daging sapi
Baca juga: Pemerintah berupaya mempercepat swasembada daging, kata Mentan
Alih fungsi lahan
Namun ada sejumlah hambatan yang dihadapi oleh pemerintah untuk mengoptimalkan atau pengembangan Sapi Pasundan demi tercapainya impian swasemda daging sapi.
Kepala Bidang Produksi Peternakan, Dinas ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat, Aida Rosana populasi Sapi Pasundan yang merupakan salah satu kekayaan ternak lokal Indonesia yang telah dipelihara secara turun-menurun oleh masyarakat peternak Jawa Barat (Jabar) sebagai sumber penghidupan, tergerus oleh alih fungsi lahan untuk kepentingan industri.
Pada tahun 2017, populasi Sapi Pasundan mencapai 35 ribu ekor lebih yang tersebar di 11 daerah di Provinsi Jawa Barat.
"Tapi sekarang hampir 20 sampai 25 ribuan. Kenapa demikian karena sudah banyak alih fungsi lahan. Seperti pembangunan kawasan industri," kata Aida Rosana.
Alih fungsi lahan tersebut membuat para peternak Sapi Pasundan tidak bisa berternak lagi padahal jenis sapi tersebut memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan jenis sapi lainnya seperti lebih tahan terhadap faktor cuaca dan dagingnya lebih berkualitas.
Pemprov Jabar bertekad akan terus melakukan pengembangan terhadap Sapi Pasundan agar bisa menggenjot kembali populasi sapi tersebut walaupun pada tahun lalu terhambat oleh perubahan (refocusing) anggaran untuk penanggulangan COVID-19.
"Kita akan kembangkan, tapi tadinya mau 2020, tapi karena ada refocusing, jadi kita ingin mengembangkan sapi pasundan di Kabupaten kuningan dan Kabupaten Garut," katanya.
Pengembangan Sapi Pasundan salah satunya dilakukan dengan membangun klaster khusus pengembangan sapi tersebut yang rencananya akan dibangun di Kabupaten Kuningan.
Kabupaten Kuningan termasuk ke dalam 11 daerah sebaran Sapi Pasundan di Jawa Barat, khususnya Kecamatan Cibingbin yang saat ini memiliki populasi sapi pasundan sekitar 5.000 ekor melalui pemeliharaan intensif dan semiintensif.
Upaya pemerintah daerah untuk menggenjot populasi Sapi Pasundan adalah dengan memproduksi semen bekunya di UPT Daerah Balai Perbibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong (BPPIBTSP), Ciamis.
Kebutuhan daging sapi di Jabar mencapai 195 ribu ton setara dengan 1 juta ekor lebih per tahun.
Meskipun di Jawa Barat banyak berdiri hotel dan restoran, namun dalam situasi pandemi COVID-19 membuat permintaan sapi menurun.
Ketersediaan sapi lokal Jawa Barat hanya berkisar 10 persen, selebihnya atau 90 persen harus didatangkan dari luar, baik antar pulau maupun sapi bakalan dan daging impor.
Untuk bisa mencapai swasembada daging sapi di Tanah Air, khususnya di Jawa Barat melalui Sapi Pasundan, bukanlah persoalan mudah. Karena itu dibutuhkan dukungan dari mulai pemerintah pusat, provinsi hingga tingkat kabupaten/kota.
Baca juga: Penuhi kebutuhan daging, Kementan dorong pengembangan sapi pasundan
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021
Tags: