Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Jazilul Fawaid mengatakan bahwa toleransi menjadi prasyarat utama berlangsungnya sebuah negara atau masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia yang beragam.

"Indonesia yang terdiri atas banyak agama, suku, adat istiadat yang berbeda-beda, bahasa, asal-usul, diperlukan pengikat. Semua itu dibangun prinsip atau prasyarat untuk menguatkan itu semua, yakni toleransi," kata Gus Jazil, sapaan akrab Jazilul, dalam pernyataan tertulis, di Jakarta, Rabu.

Menurut Gus Jazil, isu intoleransi belakangan menguat, apalagi seiring dengan makin masifnya penggunaan media sosial (medsos) yang membuat kasus bullying, pemaksaan pendapat, dan lainnya menjadi isu sehari-hari yang terjadi belakangan ini.

Padahal, kata dia, berdirinya bangsa Indonesia adalah hasil dari sebuah kesepakatan yang dasar utamanya adalah toleransi.

Ia mengatakan bahwa bangsa ini sudah bersepakat untuk menjadikan satu semboyan nasional toleransi yang disebut dengan Bhinneka Tunggal Ika.

Baca juga: Wakil Ketua MPR ingatkan pendidik jangan abai nilai kebangsaan

"Kita memaklumatkan, mengumumkan bahwa kita ini masyarakat yang beragam. Meskipun beragam, kita satu kesatuan. Ini fondasinya," ujarnya.

Sejak Indonesia lahir sampai hari ini, karena Indonesia dibangun di atas fondasi toleransi, lanjut dia, semestinya tidak muncul kasus-kasus yang sifatnya rasialis, penistaan agama, bullying, penghinaan asal-usul orang, atau lain-lain di atas negara yang toleran ini.

"Indonesia yang dibangun berdasarkan hukum, semua masyarakat harus tunduk pada hukum. Inilah yang mengatur toleransi," katanya.

Gus Jazil menyebutkan toleransi mengandung dua dimensi, yakni pertama, dimensi ketidaksetujuan dengan pendapat atau pikiran orang lain.

"Kalau setuju, enggak usah ada toleransi. Justru karena kita berbeda-beda pandangan, konsep pikiran. Karena ada dimensi ketidaksetujuan satu dengan yang lainnya, diperlukan toleransi," katanya.

Dimensi kedua, kata Gus Jazil, kalau ada perbedaan pendapat tidak boleh memaksakan pilihan dan pikiran kepada orang lain.

Baca juga: Presiden: FKUB miniatur kebinekaan hendaknya jadi tenda bangsa

"Dalam semua agama ataupun negara, itu selalu ada yang disebut bibit perbedaan. Bahkan, cara pandang yang berbeda-beda dalam satu tempat," katanya.

Namun, kata Gus Jazil, muncul juga pikiran yang menyalahkan yang lainnya, memaksakan pikirannya yang akan berdampak menjadi intoleran, perbuatan yang ekstrem, radikal, dan terorisme.

"Kalau itu sudah aksi. Awalnya tidak setuju, kemudian di situ tidak ada toleransi, dimensi kesepahaman tidak ada, akan muncul dimensi kedua pemaksaan pendapat," katanya.

Oleh karena itulah, Gus Jazil mengingatkan bahwa toleransi menjadi kebutuhan mutlak dan prasyarat berdirinya sebuah negara yang majemuk.

"Tanpa toleransi tidak mungkin ada kesepakatan, dan kesepakatan itu membutuhkan toleransi," katanya.