Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan mendorong pemerintah dan instansi terkait isu diskriminasi dan intoleransi di SMKN 2 Kota Padang.

"KPAI mendorong Kemdikbud, Kementerian Agama, Kemendagri dan Kementerian PPPA, serta Badan Ideologi Pancasila (BIP) untuk bersinergi mencegah terjadinya diskriminasi dan intoleransi di dunia pendidikan," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti melalui keterangan pers yang diperoleh ANTARA, Jakarta, Selasa.

Terkait kasus yang melibatkan siswi non-Muslim di SMKN 2 Kota Padang untuk memakai jilbab, Retno mengatakan bahwa KPAI telah berkoordinasi dengan Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung, yang pada Senin (25/1) telah melakukan pertemuan secara daring dengan Ombudsman Sumatera Barat dan pihak SMKN 2 Kota Padang.

KPAI dan Komnas HAM, katanya, memiliki konsen yang sama terkait perlindungan terhadap siswi non-Muslim tersebut, maupun 46 anak non-Muslim lainnya di sekolah itu setelah kasus tersebut menjadi viral.

KPAI dan Komnas HAM mendorong perlindungan agar anak-anak tersebut tidak mengalami perundungan atau kekerasan lainnya dari warga sekolah, mengingat potensi tersebut kemungkinan bisa terjadi.

Baca juga: KPAI apresiasi upaya kaji ulang aturan diskriminatif di sekolah

Baca juga: Kemdikbud: Ada sanksi bagi pelaku intoleransi di satuan pendidikan

KPAI juga mendorong Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Padang untuk melakukan home visit kepada siswi terkait agar dapat melakukan asesmen psikologi. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah siswi tersebut mengalami masalah psikologis setelah kasusnya viral. Jika dalam asesmen ditemukan masalah psikologis dari dampak kasus itu, maka P2TP2A harus memberikan layanan rehabilitasi psikologis kepada siswi tersebut.

Selain itu, KPAI juga mendorong Kemendikbud melalui Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan kepada para pendidik, kepala sekolah serta pengawas sekolah dalam upaya menguatkan nilai-nilai demokrasi, persatuan dan kesatuan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

"Kesadaran dibangun dari pengetahuan dan dikuatkan dengan regulasi-regulasi yang ada, terkait sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak peserta didik di lingkungan satuan pendidik, mengingat kasus intoleransi di SMKN 2 Padang bukanlah kasus pertama di Indonesia," kata Retno.

Ia menilai pemahaman pejabat dan guru-guru dari PNS di bidang pendidikan tampaknya masih kesulitan untuk membedakan area keyakinan pribadi dengan nilai dasar yang dipegangnya sebagai pegawai pemerintah.

Hal itu menyebabkan para kepala sekolah atau guru mudah melakukan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda agama dan keyakinan.

Padahal, dalam banyak peraturan perundang-undangan, prinsip non-diskriminasi harus diutamakan. Misalnya dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Mereka yang melanggar aturan itu bisa dilaporkan kepada sejumlah pengawas.

Dalam dorongan KPAI kepada Kemendikbud, mereka mendorong pelibatan Dinas-Dinas Pendidikan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota mengingat kasus intoleransi tidak hanya terjadi di SMKN 2 Kota Padang, tetapi juga di sekolah-sekolah lain di banyak wilayah di Indonesia.

Baca juga: Komnas HAM serukan tak boleh ada pembiaran tindakan kekerasan

Baca juga: Cendikiawan: Intoleransi muncul karena penegakan hukum tidak baik