Jakarta (ANTARA) - Fenomena musim paceklik ikan atau biasa disebut musim angin barat sebenarnya adalah kejadian tahunan yang kerap diketahui banyak orang khususnya di kawasan pesisir.
Pada periode yang biasanya terjadi dari awal Desember hingga pertengahan Februari, cuaca biasanya sangat buruk serta ombak sangat bergelombang dan tinggi.
Akibatnya, kondisi itu juga berbahaya bagi nelayan yang ingin melaut untuk menangkap ikan guna menghidupi kehidupan sehari-hari mereka dan anggota keluarganya.
Hal tersebut juga mengakibatkan tangkapan ikan juga biasanya menjadi merosot, sehingga nama dari fenomena tersebut disebut dengan sebutan musim paceklik ikan.
Pada saat-saat seperti itu, biasanya nelayan akan mengisi waktu mereka antara lain dengan memperbaiki alat tangkap maupun kondisi perahu mereka.
Ada pula nelayan yang kerja serabutan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga karena pendapatan dari melaut nyaris tidak ada.
Apalagi, biasanya kantor BMKG di berbagai daerah juga kerap menyuarakan peringatan dan mengimbau agar nelayan berhati-hati serta waspada terhadap kemungkinan terjadinya gelombang tinggi di laut.
Dengan tidak adanya pendapatan dari melaut, maka tentu saja fenomena itu sangat berpengaruh kepada kondisi nelayan kecil dan anggota keluarganya, yang kerap bergantung kepada hasil sehari-hari dari menangkap ikan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyarankan dalam rangka mengatasi dampak musim paceklik ikan, perlu diberikan skema bantuan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada nelayan kecil dan anggota mereka.
Bantuan seperti itu dinilai sangatlah berarti untuk membantu mengangkat beban nelayan dan anggota keluarganya.
Diperparah pandemi
Dampak paceklik ikan kepada tingkat kesejahteraan kalangan masyarakat pesisir itu juga diperparah dengan kondisi pandemi COVID-19 yang masih menerpa.
Pandemi juga menyebabkan beban menjadi berganda bagi nelayan kecil, yaitu selain tidak bisa melaut, juga merasa cemas dengan kondisi kesehatan saat wabah.
Efek dari pandemi yang masih merajalela di bumi Nusantara itu juga sedikit banyak berdampak kepada tingkat perekonomian warga, termasuk nelayan kecil.
Dengan terhimpit beban ekonomi itu, masih ada nelayan yang terpaksa untuk tetap melaut guna mencari sesuap nasi bagi anggota keluarga mereka.
Akibat dari melaut dengan cuaca yang tidak bersahabat dan bergelombang tinggi, maka potensi terjadi kecelakaan juga sangatlah tinggi.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengingatkan bahwa dalam kurun waktu 1 Desember 2020-10 Januari 2021, pihaknya menemukan ada hingga sebanyak 13 kali insiden kecelakaan yang dialami oleh perahu nelayan dan kapal perikanan di perairan Indonesia.
Dari jumlah tersebut, ditemukan bahwa tercatat sebanyak 48 orang menjadi korban dengan rincian 28 orang hilang, tiga orang meninggal, dan 17 orang selamat.
Berbagai tragedi kecelakaan itu utamanya terjadi karena cuaca ekstrim seperti gelombang tinggi yang menyebabkan kapal terbalik, tabrakan dengan kapal besar, kerusakan mesin dan terbawa arus.
Dengan banyaknya kasus kecelakaan yang terjadi, maka nelayan juga diharapkan dapat betul-betul mematuhi imbauan otoritas pelabuhan serta tidak memaksakan diri untuk melaut bila cuaca tidak mendukung.
Terkait kepada kasus kecelakaan yang menimpa nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menyatakan telah mengupayakan pemenuhan hak awak kapal perikanan baik berupa jaminan kecelakaan kerja bagi mereka yang selamat, dan santunan jaminan kematian untuk keluarga awak kapal perikanan yang dilaporkan meninggal dunia.
Asuransi wajib
Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP M Zaini juga mengingatkan bahwa asuransi wajib dimiliki oleh awak kapal perikanan yang merupakan tanggung jawab dari perusahaan perikanan/pemilik kapal perikanan.
Hal tersebut juga tertuang dalam perjanjian kerja laut antara awak kapal perikanan dengan pemilik kapal perikanan atau perusahaan perikanan.
Seperti diketahui, perjanjian kerja laut menjadi salah satu syarat kapal perikanan dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sebelum kapal meninggalkan pelabuhan perikanan, Syahbandar perikanan akan melakukan pengecekan ulang seluruh dokumen kapal termasuk perjanjian kerja laut.
Penerapan perjanjian perjanjian kerja laut bagi awak kapal perikanan itu juga merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk pelaksanaan sistem hak asasi manusia pada usaha perikanan, khususnya usaha perikanan tangkap.
Tujuan dari hal tersebut agar awak kapal perikanan mendapatkan kesejahteraan serta jaminan sosial berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.
KKP juga menyatakan tegas akan terus mengawal penerapan dari berbagai ketetapan tersebut dan mendorong perusahaan perikanan menerapkannya sebagai upaya meningkatkan taraf hidup awak kapal perikanan.
Peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin juga menginginkan pemerintah dapat meningkatkan pengawasan kepada kapal nelayan dan kapal perikanan yang akan melaut.
Pengawasan itu dapat dilakukan antara lain dengan gencar melakukan inspeksi dalam rangka memeriksa aspek keselamatan dan kesehatan kerja.
Berbagai alat yang harus dipastikan terdapat dalam kapal ikan antara lain adalah pelampung hingga radio komunikasi.
Dengan adanya radio komunikasi, maka identitas kapal akan dapat diketahui sehingga bisa memudahkan upaya penyelamatan di laut bila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan saat melaut.
Apalagi, biasanya di sejumlah lokasi ada pihak penjaga pantai yang kerap memantau situasi di laut selama 24 jam sehari melalui kanal saluran radio.
Sedangkan bila hanya mengandalkan telepon seluler maka berpotensi tidak bisa dimanfaatkan bila karena jangkauan sinyal seluler cenderung relatif pendek, serta bila tidak ada sinyal maka dapat dipastikan kehilangan kontak pula.
Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu melakukan program pelatihan dan simulasi kepada nelayan dan awak kapal perikanan jika menghadapi kecelakaan di tengah laut.
Dengan benar-benar mengantisipasi berbagai aspek tersebut, maka diharapkan juga bisa meminimalkan jumlah korban karena kecelakaan saat melaut, serta mengatasi dampak lainnya musim paceklik ikan kepada kalangan nelayan kecil.
Baca juga: Pengamat: Musim paceklik ikan, BLT perlu diberikan ke nelayan kecil
Baca juga: KKP nilai ruang pendingin bermanfaat antisipasi paceklik ikan
Baca juga: Pendapatan nelayan anjlok, pemerintah diminta beli tangkapan nelayan
Baca juga: KKP kembangkan riset pendingin mini untuk kapal nelayan
Artikel
Mengantisipasi dampak musim paceklik ikan pada masa pandemi
Oleh M Razi Rahman
25 Januari 2021 09:54 WIB
Seorang nelayan membawa jaringnya ke laut untuk menangkap udang kecil di Pantai Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (22/11/2020). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww.
Copyright © ANTARA 2021
Tags: