Yogyakarta (ANTARA) - Pengembangan karakter siswa merupakan aspek penting yang sama sekali tidak boleh hilang dalam pendidikan baik formal maupun informal meskipun Indonesia tengah dilanda pandemi.

Kendati pendemi COVID-19 membuat proses belajar dan mengajar harus berlangsung secara dalam jaringan (daring), merawat dan mengembangkan karakter siswa tetap harus berjalan. Apa pun alasannya, dari situlah pembentukan moral generasi muda di Tanah Air dipertaruhkan.

Sadar dengan kebutuhan itu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyusun strategi dengan mewajibkan seluruh lembaga pendidikan formal di lima kabupaten/kota memperkuat konsep "Tripusat Pendidikan" yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara.

Tripusat Pendidikan adalah konsep pendidikan yang melibatkan pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan perguruan/sekolah, dan pendidikan di lingkungan masyarakat.

Keberhasilan proses pendidikan tidak semata-mata bertumpu di ruang formal, namun harus berkesinambungan dan berkolaborasi dengan peran orang tua serta lingkungan sekitar siswa.

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Didik Wardaya meminta para orang tua tidak berpangku tangan dengan memasrahkan sepenuhnya tumbuh kembang putra-putrinya kepada sekolah.

Ia mengakui semenjak pandemi COVID-19 melanda Tanah Air, kontrol sekolah terhadap siswa amat terbatas karena murid berada di rumah, sementara guru berada di sekolah atau tempat yang berbeda.

Oleh karena itu, untuk memastikan keterlibatan orang tua, ia meminta seluruh kepala SMA/SMK untuk menerjemahkan konsep Tripusat Pendidikan. Salah satunya dengan merawat hubungan antara wali kelas atau pengajar dengan wali murid.

Di antara wali kelas dan wali murid, menurut Didik, harus terjalin hubungan yang erat dengan mengintensifkan komunikasi dua arah dengan memanfaatkan berbagai sarana yang bermuara pada tumbuh kembang siswa baik dalam aspek akademik maupun pengembangan karakter.

Kendati tidak bisa seoptimal kondisi normal, menurutnya, pengembangan karakter tetap menjadi salah satu komponen penting dalam penilaian akhir kelulusan siswa.

Dengan mempertimbangkan perkembangan kasus COVID-19 yang masih belum mereda, Didik memastikan proses belajar mengajar di DIY tetap berlangsung secara daring.

Demi melindungi siswa dari potensi tertular COVID-19, uji coba pembelajaran tatap muka akan dilakukan secara bertahap dan terukur setelah Pemda DIY mencabut kebijakan pengetatan secara terbatas kegiatan masyarakat (PTKM).

Secara prinsip, ia menegaskan bahwa kesehatan siswa tetap menjadi prioritas utama untuk dipertimbangkan termasuk perkembangan psikososial siswa dalam menghadapi pandemi.

Baca juga: Assesmen Nasional dan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara

Baca juga: Gubernur Jabar ingin sekolah seperti Taman Siswa



Wali kelas menyapa

Merespons kehendak Pemda DIY, sejumlah sekolah kemudian berusaha menunjukkan kreativitas masing-masing untuk mendefinisikan konsep peninggalan bapak pendidikan nasional itu.

SMA Negeri 1 Sleman, misalnya, menerjemahkan konsep "Tripusat Pendidikan" melalui program "Wali Kelas Menyapa". Program yang telah dijalankan sejak awal masa pandemi ini dinilai efektif menjembatani komunikasi personal antara wali kelas dengan orang tua maupun dengan murid.

Kepala SMA N 1 Kabupaten Sleman Fadmiyati mengatakan, melalui wali kelas menyapa, setiap wali kelas secara berkala menyapa anak didik dan orang tuanya melalui berbagai sarana seperti Whatsapp, pesan singkat, serta Zoom Meeting.

Tidak melulu membahas tugas akademik, pada kesempatan itu wali kelas dapat menanyakan berbagai kegiatan siswa selama di rumah sekaligus memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi orang tua dalam membina putra-putrinya.
Manda (10) belajar secara daring di area penambangan pasir Lereng Gunung Merapi, Cangkringan, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (9/11/2020). Pelajar kelas V sekolah dasar tersebut memilih belajar secara daring di area penambangan pasir agar tetap mendapatkan perhatian maupun pengawasan dari orang tuanya yang berprofesi sebagai penambang pasir di kawasan itu. (ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)


Salah satu karakter yang diharapkan terbangun dalam diri siswa, menurut Fadmiyati, adalah kejujuran. Hal ini dapat dinilai antara lain dari kesungguhan siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan selama di rumah.

Selain itu, para guru juga dapat merangsang kepekaan atau rasa empati siswa terhadap peristiwa bencana seperti erupsi Gunung Merapi, serta berbagai bencana lainnya yang terjadi di pelosok Nusantara dengan menggalang aksi-aksi sosial.

Ia menyadari, pengembangan karakter meliputi kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab dan religiusitas siswa tidak bisa serta merta terpenuhi secara optimal dengan cara jarak jauh, sebab siswa umumnya membutuhkan keteladanan langsung.

Meski masih jauh dari kata ideal, Fadmiyati meminta para guru, khususnya wali kelas tak putus asa merawat dan mengembangkan karakter anak didiknya sebagai visi utama yang harus dicapai SMAN 1 Sleman.

Dalam implementasi program wali kelas menyapa, Nur Chotimah, salah satu wali kelas di SMAN 1 Sleman mengaku tidak menghadapi kendala berarti. Program itu biasa ia terapkan melalui grup Whatsapp maupun pesan secara pribadi kepada wali murid.

Program itu justru membantunya memetakan persoalan yang dihadapi orang tua atau keluarga dalam mendukung pembentukan karakter siswa.

Kendati tidak rutin dilakukan setiap hari, Nur kerap menerima keluhan dari para orang tua. Bukan sebatas persoalan yang berkaitan langsung dengan siswa, keluhan terkadang bisa melebar hingga menyentuh persoalan rumah tangga yang bersifat privasi.

Dengan mengetahui berbagai informasi itu, Nur mampu memberikan pembinaan atau perlakuan kepada siswa dengan pendekatan yang lebih tepat.

Dalam program wali kelas menyapa, menurut dia, pembinaan karakter siswa tidak boleh ditempuh dengan cara menghakimi, apalagi memberikan label negatif kepada siswa.

Wali kelas bersama orang tua dituntut tidak cepat emosi dalam menghadapi persoalan siswa. Sebaliknya, mereka harus mencari strategi komunikasi yang cerdas dan lebih efektif dengan menyesuaikan perkembangan zaman.

Nur Chotimah tidak merasa terbebani dengan tanggung jawab itu. Sebaliknya, ia justru bersemangat karena baginya terbentuknya karakter yang baik merupakan salah satu indikator utama dalam keberhasilan pendidikan.

Karakter yang baik seperti sikap disiplin, jujur, serta bertanggung jawab yang telah terbangun kokoh dalam diri para siswa, diyakini mereka akan mampu menghadapi berbagai dinamika tantangan ke depan termasuk berhasil dalam meraih prestasi akademik.

Baca juga: Gandhes Luwes memperkuat pendidikan karakter di Yogyakarta

Baca juga: Yogyakarta atasi masalah belajar via daring dengan Guru Berkunjung