Telaah
Celah ekonomi dari produk hijau
Oleh Hanni Sofia
24 Januari 2021 12:13 WIB
Bantuan peralatan pertanian dari pemerintah Inggris melalui program ekonomi hijau kepada petani kopi di Jayawijaya. ANTARA/Gusti.
Jakarta (ANTARA) - Ekonomi hijau selalu saja mendatangkan pro dan kontra dari berbagai kalangan meskipun pada dasarnya semua sepakat bahwa bumi ini harus dilestarikan.
Namun upaya untuk menuju sebuah pembangunan berkelanjutan yang mendukung kelestarian lingkungan sekaligus memenuhi hak manusia untuk hidup dari sisi ekonomi tetap memerlukan jalan tengah yang baik.
Oleh karena itu, konsep ekonomi hijau dengan produk-produk ramah lingkungan di dalamnya tetap harus menyisakan celah bagi kepentingan ekonomi agar bisa tetap laju.
Ada sejumlah kalangan yang mengkhawatirkan klaim-klaim palsu perusahaan tertentu untuk merespons ekonomi hijau dan berupaya meyakinkan konsumen telah menerapkan ekonomi hijau atau yang kerap disebut “greenwashing”.
Hal itu bisa mendatangkan persoalan baru yang justru makin menyudutkan tujuan ekonomi hijau yang sebenarnya.
Sementara di Indonesia, Presiden Joko Widodo bahkan melihat bahwa salah satu yang bisa diunggulkan Indonesia adalah “green product”.
Baca juga: Ekonomi hijau ala Jokowi di tengah pandemi
Oleh karena itu, ia mengajak sudah saatnya bagi para pelaku industri di tanah air untuk mempertimbangkan penggunaan atau produksi produk hijau secara bertahap. Semua semua sepakat bahwa untuk melangkah ke ekonomi hijau secara 100 persen perlu waktu yang tidak sebentar.
Meski begitu tetap ada ruang dan celah yang harus disediakan bagi kepentingan ekonomi agar jalan menuju ekonomi hijau lebih fleksibel dan tidak menyiksa.
Alasan Kesehatan
Umumnya orang beralih ke produk hijau lebih karena alasan kelestarian lingkungan. Beberapa yang lain justru memilih produk hijau untuk alasan kesehatan.
Produk plastik misalnya banyak yang mencoba untuk mengurangi secara signifikan mengingat dampak sampah plastik terhadap lingkungan sekaligus juga sifatnya yang karsinogenik bagi tubuh.
Meski begitu celah ekonomi tetap memungkinkan bagi perusahaan plastik untuk bisa berproduksi, misalnya dengan memproduksi bahan yang bisa didaur ulang atau juga memproduksi dengan kadar BPA yang dosisnya sangat rendah.
Isu BPA atau Bisphenol A memang kerap kali menjadi bahan kampanye anti-plastik paling utama meskipun Food Drug Administration (FDA) atau semacam BPOM, yang merupakan lembaga yang mengawasi peredaran obat-obatan, makanan, suplemen dan produk kedokteran maupun kosmetik di Amerika Serikat menyatakan bahwa BPA pada kemasan minuman misalnya berada pada tingkat yang aman, karena dosisnya sangat rendah.
Baca juga: Presiden Jokowi sebut Indonesia punya kekuatan "green product"
Masyarakat kemudian dituntut untuk cerdas dalam bersikap dan berinisiatif untuk mengedukasi diri sendiri. Salah satunya untuk membuktikan soal BPA, sebagaimana dikutip dari laman factsaboutbpa.org, para ilmuwan FDA baru-baru ini mempublikasikan hasil penelitian terbesar dan paling signifikan yang pernah dilakukan pada BPA yang disebut Studi Inti CLARITY.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa paparan dosis rendah terhadap BPA tidak mengakibatkan perkembangan efek kesehatan yang merugikan.
Mereka mengetahui dari penelitian tambahan, bahkan bayi prematur pun memiliki kapasitas dan kemampuan yang cukup untuk memetabolisme dan menghilangkan BPA itu. Ini menunjukkan bahwa paparan tingkat rendah tidak akan menyebabkan efek kesehatan.
Badan-badan kesehatan terkemuka dari negara-negara lain juga menyampaikan hal serupa, seperti Health Canada, Otoritas Keamanan Pangan Eropa, Standar Makanan Australia Selandia Baru (FSANZ), termasuk BPOM Indonesia.
Mereka berpendapat, paparan terhadap BPA dalam kadar yang sudah ditetapkan tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi orang-orang dari segala usia kelompok, termasuk anak yang belum lahir, bayi, dan wanita hamil.
Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) yang melakukan tinjauan komprehensif terhadap BPA ini menyatakan, tidak mungkin menyimpulkan bahwa BPA adalah pengganggu endokrin berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).
“Greenwashing”
Isu mengenai BPA boleh jadi merupakan upaya “greenwashing” untuk menutup celah atau bahkan bentuk persaingan bisnis dalam bisnis plastik untuk menuju ekonomi hijau.
Celah ekonomi mestinya tetap disediakan setelah dipastikan banyak riset mengenai BPA kadar rendah aman bagi kesehatan. Memang diketahui BPA adalah estrogenik lemah yang memiliki beberapa sifat yang mirip dengan hormon estrogen, tapi penelitian ekstensif menunjukkan bahwa jejak tingkat BPA dalam makanan terlalu rendah untuk menyebabkan efek estrogenik.
Sementara terlanjur berhembus hoaks di kalangan masyarakat yang mengatakan BPA berdampak negatif terhadap kesehatan melalui interaksinya dengan sistem endokrin tubuh (sebagai pengganggu endokrin).
Penelitian juga telah menyimpulkan bahwa BPA dalam kadar yang sangat rendah tidak berisiko karsinogenik bagi manusia.
Food Standards Australia dan Selandia Baru misalnya sudah menyatakan bahwa BPA tidak menyebabkan kanker.
Penilaian risiko Uni Eropa yang secara komprehensif juga meninjau semua bukti ilmiah yang relevan, menyimpulkan bahwa BPA tidak memiliki potensi karsinogenik yang signifikan.
Selain itu, The Susan G. Komen Foundation, salah satu kelompok advokasi kanker payudara terkemuka, melaporkan pada 2014 bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung hubungan antara BPA dan risiko kanker payudara.
Dalam penelitian ekstensif tentang penyebab utama kanker yang dilakukan American Cancer Society disebutkan bahwa faktor risiko utama kanker payudara ini berasal dari riwayat keluarga, faktor genetik, dan faktor gaya hidup seperti obesitas dan pola makan.
Paparan BPA pada makanan dan minuman yang dikonsumsi ibu hamil yang katanya dapat berdampak negatif bagi kesehatan bayi atau ibunya juga ternyata tidak benar.
Badan kesehatan terkemuka dari seluruh dunia seperti FDA, Health Canada, EFSA, FSANZ, menyampaikan paparan BPA tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi orang-orang dari semua kelompok usia, termasuk anak yang belum lahir, bayi dan wanita hamil.
BPOM Indonesia juga telah menerbitkan syarat migrasi kemasan, termasuk yang ada paparan BPA-nya dan itu sudah didasarkan kepada uji laboratorium.
Direktur Pengawasan Pangan Risiko Tinggi dan Teknologi Baru BPOM, Ema Setyawati, mengatakan semua jenis migrasi tentu bahaya. Karenanya, menurut Ema, ada batas maksimalnya.
Kata Ema, bukan hanya BPA yang bahaya tapi juga bahan yang dikatakan bebas BPA juga ada bahannya.
Dia mencontohkan Acetaldehyde yang ada dalam kemasan berbahan PET (Poly Ethylene Terephtalat) juga bahaya kalau migrasinya melewati batas maksimalnya.
Jadi, tidak ada dasar ilmiah untuk mengatakan bahwa produk bebas BPA lebih aman dari produk dengan BPA. Karenanya, klaim "bebas/free" BPA untuk menunjukkan bahwa produk itu aman sangat menyesatkan. Federal Trade Commission bahkan sudah mengingatkan secara khusus bahwa klaim “bebas” itu dapat menipu konsumen.
Sepertinya jalan untuk menuju ekonomi hijau memang masih panjang dengan beragam pro dan kontra yang melingkupinya. Namun masyarakat mestinya cerdas untuk tidak terlampau kaku saat setuju menempuh ekonomi hijau. Sebab untuk sehat dan ramah lingkungan tak perlu menyiksa diri.
Namun upaya untuk menuju sebuah pembangunan berkelanjutan yang mendukung kelestarian lingkungan sekaligus memenuhi hak manusia untuk hidup dari sisi ekonomi tetap memerlukan jalan tengah yang baik.
Oleh karena itu, konsep ekonomi hijau dengan produk-produk ramah lingkungan di dalamnya tetap harus menyisakan celah bagi kepentingan ekonomi agar bisa tetap laju.
Ada sejumlah kalangan yang mengkhawatirkan klaim-klaim palsu perusahaan tertentu untuk merespons ekonomi hijau dan berupaya meyakinkan konsumen telah menerapkan ekonomi hijau atau yang kerap disebut “greenwashing”.
Hal itu bisa mendatangkan persoalan baru yang justru makin menyudutkan tujuan ekonomi hijau yang sebenarnya.
Sementara di Indonesia, Presiden Joko Widodo bahkan melihat bahwa salah satu yang bisa diunggulkan Indonesia adalah “green product”.
Baca juga: Ekonomi hijau ala Jokowi di tengah pandemi
Oleh karena itu, ia mengajak sudah saatnya bagi para pelaku industri di tanah air untuk mempertimbangkan penggunaan atau produksi produk hijau secara bertahap. Semua semua sepakat bahwa untuk melangkah ke ekonomi hijau secara 100 persen perlu waktu yang tidak sebentar.
Meski begitu tetap ada ruang dan celah yang harus disediakan bagi kepentingan ekonomi agar jalan menuju ekonomi hijau lebih fleksibel dan tidak menyiksa.
Alasan Kesehatan
Umumnya orang beralih ke produk hijau lebih karena alasan kelestarian lingkungan. Beberapa yang lain justru memilih produk hijau untuk alasan kesehatan.
Produk plastik misalnya banyak yang mencoba untuk mengurangi secara signifikan mengingat dampak sampah plastik terhadap lingkungan sekaligus juga sifatnya yang karsinogenik bagi tubuh.
Meski begitu celah ekonomi tetap memungkinkan bagi perusahaan plastik untuk bisa berproduksi, misalnya dengan memproduksi bahan yang bisa didaur ulang atau juga memproduksi dengan kadar BPA yang dosisnya sangat rendah.
Isu BPA atau Bisphenol A memang kerap kali menjadi bahan kampanye anti-plastik paling utama meskipun Food Drug Administration (FDA) atau semacam BPOM, yang merupakan lembaga yang mengawasi peredaran obat-obatan, makanan, suplemen dan produk kedokteran maupun kosmetik di Amerika Serikat menyatakan bahwa BPA pada kemasan minuman misalnya berada pada tingkat yang aman, karena dosisnya sangat rendah.
Baca juga: Presiden Jokowi sebut Indonesia punya kekuatan "green product"
Masyarakat kemudian dituntut untuk cerdas dalam bersikap dan berinisiatif untuk mengedukasi diri sendiri. Salah satunya untuk membuktikan soal BPA, sebagaimana dikutip dari laman factsaboutbpa.org, para ilmuwan FDA baru-baru ini mempublikasikan hasil penelitian terbesar dan paling signifikan yang pernah dilakukan pada BPA yang disebut Studi Inti CLARITY.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa paparan dosis rendah terhadap BPA tidak mengakibatkan perkembangan efek kesehatan yang merugikan.
Mereka mengetahui dari penelitian tambahan, bahkan bayi prematur pun memiliki kapasitas dan kemampuan yang cukup untuk memetabolisme dan menghilangkan BPA itu. Ini menunjukkan bahwa paparan tingkat rendah tidak akan menyebabkan efek kesehatan.
Badan-badan kesehatan terkemuka dari negara-negara lain juga menyampaikan hal serupa, seperti Health Canada, Otoritas Keamanan Pangan Eropa, Standar Makanan Australia Selandia Baru (FSANZ), termasuk BPOM Indonesia.
Mereka berpendapat, paparan terhadap BPA dalam kadar yang sudah ditetapkan tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi orang-orang dari segala usia kelompok, termasuk anak yang belum lahir, bayi, dan wanita hamil.
Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) yang melakukan tinjauan komprehensif terhadap BPA ini menyatakan, tidak mungkin menyimpulkan bahwa BPA adalah pengganggu endokrin berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).
“Greenwashing”
Isu mengenai BPA boleh jadi merupakan upaya “greenwashing” untuk menutup celah atau bahkan bentuk persaingan bisnis dalam bisnis plastik untuk menuju ekonomi hijau.
Celah ekonomi mestinya tetap disediakan setelah dipastikan banyak riset mengenai BPA kadar rendah aman bagi kesehatan. Memang diketahui BPA adalah estrogenik lemah yang memiliki beberapa sifat yang mirip dengan hormon estrogen, tapi penelitian ekstensif menunjukkan bahwa jejak tingkat BPA dalam makanan terlalu rendah untuk menyebabkan efek estrogenik.
Sementara terlanjur berhembus hoaks di kalangan masyarakat yang mengatakan BPA berdampak negatif terhadap kesehatan melalui interaksinya dengan sistem endokrin tubuh (sebagai pengganggu endokrin).
Penelitian juga telah menyimpulkan bahwa BPA dalam kadar yang sangat rendah tidak berisiko karsinogenik bagi manusia.
Food Standards Australia dan Selandia Baru misalnya sudah menyatakan bahwa BPA tidak menyebabkan kanker.
Penilaian risiko Uni Eropa yang secara komprehensif juga meninjau semua bukti ilmiah yang relevan, menyimpulkan bahwa BPA tidak memiliki potensi karsinogenik yang signifikan.
Selain itu, The Susan G. Komen Foundation, salah satu kelompok advokasi kanker payudara terkemuka, melaporkan pada 2014 bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung hubungan antara BPA dan risiko kanker payudara.
Dalam penelitian ekstensif tentang penyebab utama kanker yang dilakukan American Cancer Society disebutkan bahwa faktor risiko utama kanker payudara ini berasal dari riwayat keluarga, faktor genetik, dan faktor gaya hidup seperti obesitas dan pola makan.
Paparan BPA pada makanan dan minuman yang dikonsumsi ibu hamil yang katanya dapat berdampak negatif bagi kesehatan bayi atau ibunya juga ternyata tidak benar.
Badan kesehatan terkemuka dari seluruh dunia seperti FDA, Health Canada, EFSA, FSANZ, menyampaikan paparan BPA tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi orang-orang dari semua kelompok usia, termasuk anak yang belum lahir, bayi dan wanita hamil.
BPOM Indonesia juga telah menerbitkan syarat migrasi kemasan, termasuk yang ada paparan BPA-nya dan itu sudah didasarkan kepada uji laboratorium.
Direktur Pengawasan Pangan Risiko Tinggi dan Teknologi Baru BPOM, Ema Setyawati, mengatakan semua jenis migrasi tentu bahaya. Karenanya, menurut Ema, ada batas maksimalnya.
Kata Ema, bukan hanya BPA yang bahaya tapi juga bahan yang dikatakan bebas BPA juga ada bahannya.
Dia mencontohkan Acetaldehyde yang ada dalam kemasan berbahan PET (Poly Ethylene Terephtalat) juga bahaya kalau migrasinya melewati batas maksimalnya.
Jadi, tidak ada dasar ilmiah untuk mengatakan bahwa produk bebas BPA lebih aman dari produk dengan BPA. Karenanya, klaim "bebas/free" BPA untuk menunjukkan bahwa produk itu aman sangat menyesatkan. Federal Trade Commission bahkan sudah mengingatkan secara khusus bahwa klaim “bebas” itu dapat menipu konsumen.
Sepertinya jalan untuk menuju ekonomi hijau memang masih panjang dengan beragam pro dan kontra yang melingkupinya. Namun masyarakat mestinya cerdas untuk tidak terlampau kaku saat setuju menempuh ekonomi hijau. Sebab untuk sehat dan ramah lingkungan tak perlu menyiksa diri.
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: