Purwokerto (ANTARA) - Puncak musim hujan mulai datang membawa serta kilatan cahaya petir yang sejenak membuat langit kelabu menjadi terang. Terkadang, hujan turun hingga malam menjelang, membasahi daun meranggas dan atap rumah dari rumbia.

Tingginya intensitas curah hujan tidak hanya menghadirkan rintik yang mengalun seindah puisi, namun juga mengingatkan kepada kita semua mengenai pentingnya upaya mitigasi.

Guyuran hujan deras dengan durasi yang lama akan berpengaruh kepada perubahan intensitas air di permukaan bumi dan memberikan dampak kepada lingkungan, misalkan terkait dengan terpenuhi kebutuhan air dan mendukung distribusi cadangan air.

Kendati demikian, intensitas hujan yang tinggi berpengaruh pula pada kemungkinan bencana hidrometeorologi atau bencana yang dipengaruhi oleh fluktuasi keberadaan air di dalamnya, termasuk curah hujan. Bencana tersebut di antaranya banjir dan longsor.

Dengan pemahaman itulah, maka upaya mitigasi bencana menjadi perlu untuk dilakukan. Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 pasal 1 (9) tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana.

Pada pasal 1 (16) UU Penanggulangan Bencana itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.

Sementara, pada pasal 37 UU Penanggulangan Bencana itu disebutkan bahwa pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana.

Dari uraian tersebut, salah satu kesimpulan yang dapat diambil, bahwa mitigasi dapat dilakukan sebelum terjadinya bencana, bencana memang rahasia Tuhan YME yang kadang sulit diprediksi dengan pasti dan tepat. Namun, manusia dapat melakukan ikhtiar guna mengurangi risiko yang ditimbulkan.

Menurut Koordinator Bidang Bencana Geologi Pusat Mitigasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Indra Permanajati secara garis besar terdapat dua penyebab utama bencana alam, baik itu bencana geologi maupun hidrometeorologi.

Dari beberapa kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air didapatkan beberapa kesimpulan sederhana mengenai penyebab kejadian bencana, yaitu karena kondisi alam dan karena pengelolaan yang kurang tepat dari pengembangan wilayah.

"Dua hal tersebut selalu mengiringi terjadinya bencana geologi maupun geomorfologi," katanya.

Baca juga: BIG: Penguatan mitigasi jadi prioritas pascalongsor Sumedang

Sebaliknya, ada dua hal yang dapat meminimalkan risiko bencana, yaitu di daerah tersebut secara alamiah tidak berpotensi tinggi terhadap bencana dan yang kedua memastikan telah dilakukan pengelolaan yang tepat terkait dengan pengembangan wilayahnya, dengan memperhatikan faktor bencana di dalamnya.

Menurut Indra yang merupakan Anggota Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia itu, dua faktor tersebut saling memiliki keterkaitan dalam mendukung optimalisasi upaya mitigasi bencana. Jika hanya satu faktor yang terpenuhi, maka dikhawatirkan masih terdapat kemungkinan risiko bencana.

Sebagai bentuk upaya mitigasi atau mengurangi dampak risiko bencana maka perlu memastikan bahwa dua faktor itu telah terpenuhi di masing-masing wilayah.

Secara sederhana, menurut dia, dapat digambarkan bahwa faktor pertama yaitu potensi terhadap bencana, ada di hampir seluruh wilayah Indonesia. Misalkan, di Kalimantan yang relatif aman dari gempa, tsunami, gunung berapi, dan tanah longsor ternyata terkena banjir. Jadi bisa dikatakan bahwa wilayah di Indonesia memang hampir semuanya berpotensi bencana.

Namun, yang menjadi catatan adalah tidak semua wilayah berpotensi tinggi terhadap bencana, tingkat kerentanan masing-masing wilayah berbeda-beda, misalkan hanya wilayah-wilayah yang dekat dengan sumber bencana yang mempunyai potensi tinggi.

Bbila suatu wilayah rawan bencana namun pengelolaannya tepat dan mitigasinya juga tepat, hal itu membuat risiko bencana dapat diminimalisasi.

Usaha yang bisa dilakukan, yakni mengetahui tingkat kerentanan wilayah dan memastikan telah dilakukan pengelolaan tata ruang yang tepat terkait dengan pengembangan wilayahnya dengan memperhatikan faktor bencana di dalamnya.

Tata Ruang

Upaya mitigasi bencana perlu didukung oleh pengelolaan tata ruang wilayah yang baik dan sesuai dengan peruntukan.

Dalam kaitan dengan salah satu penyebab bencana, yaitu karena pengelolaan yang kurang tepat dari pengembangan wilayah, maka penertiban tata ruang wilayah menjadi sangat penting dilakukan.

Pada wilayah dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi, maka pengelolaan wilayah harus lebih ditingkatkan. Jika potensi bencana tergolong tinggi namun pengelolaan kurang maka risiko bencana dikhawatirkan malahan makin meningkat.

Dengan identifikasi dua faktor penyebab bencana maka arah pengelolaan dan mitigasi bencana di Indonesia akan makin mengerucut. Identifikasi daerah potensi bencana bisa dilakukan dengan pemetaan. Pemetaan harus menjadi prioritas dalam penanganan bencana.

Baca juga: Siaga menghadapi dampak La Nina

Pemetaan secara detail hingga tingkat kecamatan akan membuat identifikasi kerentanan suatu wilayah makin mengenai sasarannya. Tentu saja pemetaan harus didukung pengelolaan alam dan pengembangan wilayah yang sesuai dengan tata ruang, yang sesuai peruntukan.

Selain itu, perlu menyusun desain prediksi ke depan terkait dengan bencana sehingga kebijakan yang dibuat juga diharapkan lebih bersifat jangka panjang, dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya bencana dan kerugian akibat bencana.

Kebijakan ini harus bersifat fleksibel dengan arah yang jelas karena harus menghadapi permasalahan-permasalahan yang bersifat lokal, seperti keterbatasan lahan untuk pemukiman dan mata pencaharian.

Permasalah lokal tentunya harus dibantu pemecahaannya namun diusahakan sedapat mungkin tidak menyalahi tata ruang yang sudah ditentukan.

Pemetaan daerah rentan juga dapat dilakukan dengan mendasarkan pada simulasi hujan ekstrem yang terjadi pada suatu wilayah hingga nantinya dapat dipergunakan sebagai materi dalam pengembangan sistem informasi bencana.

Menurut Pakar Hidrologi dan Sumber Daya Air Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Yanto, Ph.D., pemetaan rawan bencana jika perlu dibuat hingga skala desa.

Pemetaan tersebut nantinya dapat dipergunakan sebagai materi dalam pengembangan sistem informasi bencana.

Kendati sederhana, sistem informasi sangat bermanfaat secara luas, terutama sebagai media untuk mengumumkan kemungkinan terjadinya bencana bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah-daerah rawan.

Hal yang juga tidak kalah penting, bahwa upaya tersebut harus diimbangi dengan edukasi dan sosialisasi yang gencar kepada masyarakat guna meningkatkan pemahaman mengenai kondisi wilayah dan potensi-potensi bencana yang ada.

Misalkan, bagi masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai dengan topografi yang datar, maka perlu diberikan pemahaman yang rinci mengenai potensi banjir di wilayah tempat tinggal mereka. Selain itu, masyarakat yang tinggal di perbukitan dan wilayah lereng perlu juga diberikan edukasi mengenai potensi longsor.

Upaya mitigasi harus dilakukan secara menyeluruh, di mana semua pihak perlu terlibat, bukan hanya menjadi tugas pemerintah namun juga seluruh masyarakat.

Terkadang upaya mitigasi memerlukan inovasi untuk memecahkan masalah-masalah lokal yang bisa saja terjadi, termasuk dalam pengelolaan wilayah berbasis tata ruang.

Namun, hal yang juga tidak kalah penting adalah kesadaran diri untuk mau memahami adanya potensi bencana di sekitarnya dan semangat menjaga alam tetap lestari.

Lagi-lagi kita diingatkan bahwa dengan menjaga alam secara sungguh-sungguh, maka semesta juga akan berbalik menjaga kita.

Baca juga: UI pasang alarm peringatan gempa di Sukabumi
Baca juga: Kepala BNPB: Pahami cara mencegah dan memitigasi bencana
Baca juga: Mengatasi bencana banjir dengan strategi mitigasi