Jakarta (ANTARA) - Tak banyak yang tahu siapa atau dari mana Alberto Fernandez. Tetapi begitu ditanya dari mana Lionel Messi berasal, pasti mereka akan langsung menjawab Argentina.
Itu adalah contoh paling mudah tentang atlet-atlet yang minimal bisa membuat seisi dunia mengenal tempat asalnya, bahkan dibandingkan dengan yang dilakukan presidennya sendiri.
Messi atau siapa pun atlet yang prestasinya mendunia dan melintasi batas negaranya, juga bisa memicu sebagian orang di dunia untuk setidaknya bertanya seperti apa sih Argentina sampai bisa menghasilkan superstar seperti Messi. Penelusuran orang bahkan sampai kepada keluarga, sekolah dan kota asal Messi. Seketika itu pula semua hal yang berkaitan dengan Messi menjadi pengetahuan dunia.
Pada akhirnya ini bukan lagi soal tempat, tetapi juga bisa mengenai nilai, budaya, dan etos negeri-negeri di mana atlet-atlet berprestasi dunia berasal.
Media massa, apalagi di zaman ini di mana platform-platform digital membuat orang biasa dapat membuat konten sendiri, turut mengupas atlet-atlet bintang untuk kemudian secara tak langsung mempromosikan semua yang berkenaan dengan sang bintang, termasuk negaranya.
Atlet semacam ini juga bisa menjadi awal mengenalkan secara mendalam, mengenai di mana, seperti apa atau bagaimanakah sebuah negeri di mata warga dunia.
Dalam kata lain atlet bisa menjadi agen untuk menguatkan citra nasional di luar negeri. Dan ini sudah bukan lagi soal prestasinya belaka, tetapi juga tentang nilai dan budaya yang membentuk sang atlet bisa memiliki etos, mentalitas dan prilaku yang membuatnya berprestasi tinggi.
Pada tingkat itu pula atlet dianggap representasi nilai dan budaya tempat dia berasal.
Dalam diplomasi, ketika atlet sudah pada tingkatan ini, maka dia bisa disebut sebagai duta. Si atlet pun menjadi aktor untuk salah satu bagian diplomasi yang dianggap sangat penting, yakni soft power.
Soft power sendiri, mengutip teori hubungan internasional terkemuka Joseph Nye Jr dalam bukunya "Bound to lead: The changing nature of American power", adalah cara kekuatan diaplikasikan melalui nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kesempatan-kesempatan, dan nilai-nilai menggugah lainnya". Dan aktornya bisa siapa saja, termasuk atlet atau bisa juga pelatih olahraga.
Pada konteks ini, atlet pun menjadi wajah bangsa dan instrumen efektif dalam mengerahkan soft power tersebut.
Dan kenyataannya, dalam banyak hal, citra positif yang dibangun aktor-aktor diplomasi seperti atlet bisa jauh lebih mengena seperti terjadi pada Messi dan banyak lagi, termasuk mantan pebasket NBA Dennis Rodman yang diam-diam kerap menjadi saluran komunikasi dan budaya untuk dua kekuatan bermusuhan Korea Utara dan Amerika Serikat karena hubungan pribadinya yang dekat dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.
Messi dan Rodman hanyalah contoh dari tak terhitung atlet yang telah dan tengah berperan sebagai juga duta bangsanya.
Dalam fase tertentu, kualitas dan etos atlet bahkan menjadi representasi untuk kualitas sebuah bangsa pada bidang tertentu. Taruhlah itu sepak bola.
Misalnya Belanda. Negeri ini tak pernah menjuarai Piala Dunia, pun klub-klubnya tidak seglamor Inggris atau Spanyol atau Italia yang setiap saat disorot dunia, tetapi etos kerja orang-orang Belanda yang terkait dengan sepak bola membuat Belanda dianggap gudang pemain dan pelatih hebat kelas dunia, tidak hanya di Eropa.
Cari pelatih atau pemain? Ke Belanda saja. Dan ini tidak hanya menaikkan pamor sepak bola Belanda, namun juga menampilkan salah satu aspek positif dari Belanda yang membuat orang makin ingin mengenal negeri ini dan sekaligus mengesampingkan misalnya hal negatif tentang Belanda.
Indonesia tak bisa melupakan penjajahan berabad-abad oleh negeri ini, tetapi jutaan orang Indonesia mengidolakan atau mengharapkan timnas Belanda menjadi juara Piala Dunia atau Piala Eropa.
Baca juga: Olahraga dan Diplomasi
Bulu tangkis jadi benchmark
Level yang dicapai sepak bola Belanda itu mirip dengan titik yang dicapai bulu tangkis Indonesia di mana nama Indonesia ada di benak banyak orang di seluruh dunia ketika bicara soal bulu tangkis.
Prestasi yang dicapai atlet-atlet bulu tangkis Indonesia memang menjadi daya tarik utama. Tetapi etos, disiplin, budaya kompetisi dan manajemen olahraga yang membentuk atlet-atlet bulu tangkis Indonesia bisa berkelas dunia juga menjadi pertimbangan banyak negara.
Buktinya, tengok saja pelatih bulu tangkis Indonesia yang direkrut di luar negeri. Mereka tidak hanya melatih, namun juga sering menjadi arsitek di balik kebangkitan atau bergairahnya bulu tangkis mereka di kancah regional dan internasional.
Mulyo Handoyo misalnya, membuat bulu tangkis Singapura mencapai kemajuan, demikian pula saat melatih India. Srikanth Kidambi dan Loh Kean Yew adalah di antara yang dia lahirkan sampai India dan Singapura memasuki babak baru yang lebih baik dalam sektor bulu tangkisnya.
Rexy Mainaky yang malang melintang di luar negeri tidak saja sebagai pemain pun begitu. Sebagai pelatih, dia membuat Inggris menyabet medali perak Olimpiade 2004 dari ganda campuran Gail Emms/Nathan Robertson, memoles Koo Kien Keat/Tan Boon Heong dari Malaysia sebagai salah satu ganda putra terbaik di dunia pada masanya atau mendorong Thailand mencetak banyak pemain hebat seperti Ratchanok Intanon dan ganda campuran Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai.
Ada lagi, Tong Sin Fu. Pelatih legendaris di antaranya menghasilkan pemain-pemain hebat seperti Ardy B. Wiranta, Hariyanto Arbi, Alan Budikusuma, dan Susy Susanti, adalah juga aktor di balik lahirnya jago-jago dari China seperti Lin Dan dan ganda putra Cai Yun/Fu Haifeng.
Demikian pula Hendrawan yang berperan besar dalam membangkitkan lagi reputasi pebulu-tangkis legendaris Malaysia, Lee Chong Wei, sampai bisa meraih medali perak Olimpiade Sydney 2000 dan juara dunia 2001.
Sementara Atik Jauhari yang melahirkan pemain-pemain hebat seperti Icuk Sugiarto, Hastomo Arby, Liem Swie King, Tjun Tjun/Johan Wahyudi dan Bobby Ertanto/Hadibowo, melanglang buana ke Swedia, Thailand dan India. Bahkan di India melahirkan tunggal putri hebat Saina Nehwal yang sekaligus membuat dunia melihat lagi bulu tangkis India.
Mereka hanyalah contoh yang membuat dunia menoleh Indonesia. Tangan dingin mereka dalam melatih memiliki akar kuat dalam masyarakat bulu tangkis Indonesia pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka membuat kualitas terbaik paralel dengan Indonesia, meskipun baru hanya pada bulu tangkis.
Pelatih-pelatih seperti Rexy cs itu dan bulu tangkis bisa menjadi benchmark untuk bagaimana cabang-cabang olahraga lain di Indonesia bisa berprestasi tinggi-tinggi di mana pun di dunia ini.
Prestasi, etos kerja, disiplin, manajemen, organisasi, pembinaan, dan kompetisi ketat yang didapatkan atlet-atlet bulu tangkis Indonesia baik dari tempat latihan mereka maupun berbagai turnamen patut ditularkan kepada cabang olah raga lain.
Tujuannya jelas, demi menghasilkan atlet-atlet kelas dunia seperti pebulu-tangkis Indonesia nan hebat itu. Tak mustahil Indonesia bisa menghasilkan pesepak-bola kelas dunia atau cabang-cabang olahraga lainnya. Tak ada yang mustahil di dunia ini.
Dan pada saat level dunia itu telah tercapai, maka akan lebih mudah bagi Indonesia memetik insentif dari tingkat yang dicapai atlet-atletnya itu. Dan itu tak hanya aspek olahraga, tapi juga aspek-aspek lain, yang membuat dunia berlomba mengenal Indonesia lebih dekat yang benefitnya besar bagi banyak sektor kehidupan nasional, termasuk pembangunan ekonomi.
Status duta bangsa yang disandang atlet juga bisa membuat Indonesia melangkah ke status kekuatan moral yang mendorong perubahan dunia yang lebih baik, selain menginspirasi atau bahkan mempersatukan masyarakat lintas negara dan dunia seperti sejumlah negara secara tidak langsung menarik manfaat kesuperstaran atlet dalam menjadikan dunia yang lebih berkeadilan sosial lewat gerakan Black Lives Matter di mana atlet-atlet menjadi tokoh sentralnya.
Baca juga: Diplomasi emas Indonesia untuk dunia
Telaah
Atlet sebagai duta bangsa
Oleh Jafar M Sidik
19 Januari 2021 21:10 WIB
Ilustrasi - Atlet sebagai duta bangsa. ANTARA/Juns.
Copyright © ANTARA 2021
Tags: