Jakarta (ANTARA) - Pemerintah yang kembali mengeluarkan kebijakan yang membatasi interaksi fisik atau saat ini dikenal dengan istilah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat pelaku usaha kembali dibayangi kekhawatiran.
Euforia pelaku usaha untuk menggenjot kembali bisnisnya pada awal tahun seiring dengan adanya rencana vaksinasi COVID-19 menjadi pupus.
Seperti diketahui, pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM untuk Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021, menuntut pengusaha, terutama di Jawa-Bali untuk kembali mengambil strategi bertahan dengan melakukan efisiensi di berbagai lini agar tidak gulung tikar.
Kebijakan PPKM tentu akan membuat tergerusnya pendapatan usaha, mengingat kegiatan ekonomi di Indonesia belum terbiasa dengan minim kontak fisik, terutama sektor UMKM yang belum terbiasa dengan dunia digital.
Seperti kita tahu, pelaku UMKM lebih membutuhkan interaksi fisik untuk menjaga keberlangsungan usahanya. PPKM membuat mobilitas masyarakat turun signifikan.
Penerapan PPKM selama dua pekan itu memang bertujuan untuk mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19.
Semua tentu sepakat, kerja keras mengatasi pandemi COVID-19 harus terus dilakukan. Namun pada saat yang sama, tentu harus dipikirkan juga upaya bagaimana pelaku usaha, terutama UMKM dapat bertahan di tengah kebijakan PPKM itu.
Tak sulit membayangkan apa yang bakal terjadi jika pembatasan interaksi sosial berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apalagi PPKM tidak dibarengi dengan stimulus kepada pengusaha. Maka, kebangkrutan PHK hingga kredit macet terbuka peluang bakal terjadi.
Baca juga: Apindo minta jam operasional mall hingga restoran diperlonggar
Lanjutkan Stimulus
Pada 2020 pemerintah telah memberikan stimulus Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pelaku usaha, termasuk UMKM berupa bantuan subsidi bunga, restrukturisasi kredit, dan insentif pajak. Pemerintah juga memberikan bansos produktif berupa akses untuk mengakses dan penjaminan kredit modal kerja.
Realisasi Program PEN pada tahun 2020 tercatat sebesar 83,4 persen dari pagu Rp695,2 triliun atau mencapai Rp579,78 triliun.
Sementara itu alokasi dana Program PEN pada 2021 ditetapkan sebesar Rp403,9 triliun, lebih rendah dari tahun lalu.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan alokasi anggaran untuk program PEN 2021 itu naik dari rencana sebelumnya Rp372,3 triliun.
Proyeksi alokasi anggaran Program PEN pada 2021 itu akan tersebar di lima fokus bidang yaitu kesehatan, perlindungan sosial, sektoral kementerian/lembaga, dan pemda, dukungan UMKM, hingga insentif usaha.
Untuk bidang kesehatan mendapat alokasi sebesar Rp25,4 triliun dengan terdapat SILPA Earmark 2020 Rp47,07 triliun yang akan dimanfaatkan pada tahun ini.
Anggaran bidang kesehatan itu digunakan untuk pengadaan vaksin COVID-19, sarana dan prasarana program vaksinasi, imunisasi, laboraturium litbang, serta cadangan bantuan iuran BPJS keperluan bagi PBPU/BP.
Untuk bidang perlindungan sosial memiliki alokasi Rp110,2 triliun dengan fokus PKH bagi 10 juta KPM, kartu sembako Rp200 ribu per KPM, pra kerja Rp10 triliun, dana desa, serta bansos tunai bagi 10 juta KPM dengan Rp200 ribu per KPM selama enam bulan.
Untuk bidang sektoral K/L dan pemda dialokasikan Rp184,2 triliun yang difokuskan pada dukungan pariwisata, ketahanan pangan, pengembangan TIK, pinjaman ke daerah, padat karya K/L, kawasan industri, serta cadangan belanja PEN.
Untuk bidang UMKM dan pembiayaan korporasi dialokasikan Rp63,84 triliun dengan fokus pada subsidi bunga KUR reguler, pembiayaan KUMKM, penempatan dana di perbankan, penjaminan loss limit, cadangan pembiayaan PEN.
Kemudian, juga digunakan untuk PMN kepada lembaga penjaminan (LPEI), PMN kepada BUMN yang menjalankan penugasan seperti PT Hutama Karya, PT ITDC, PT Pelindo III, dan PT KIW, serta penjaminan backstop loss limit.
Terakhir yaitu insentif usaha dialokasikan anggaran Rp20,26 triliun meliputi Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP), pembebasan PPh 22 impor, dan pengembalian pendahuluan PPN.
Pelaku usaha pun berharap berbagai insentif yang diberikan pemerintah masih terus dilanjutkan hingga 2022 mendatang agar pergerakan ekonomi tidak tersendat. Hal itu dikarenakan, efek dari pandemi COVID-19 terhadap dunia usaha tidak bisa serta merta hilang.
Baca juga: Apindo usulkan pengurangan pajak mall, ini alasannya
Kepastian
Terlepas dari berbagai insentif yang diberikan pemerintah, pelaku usaha pun berharap ada kepastian kebijakan dari pemerintah, salah satunya perihal PPKM.
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia memang mengindikasikan bahwa kegiatan dunia usaha membaik pada triwulan pertama 2021.
Pada triwulan pertama 2021 responden memprakirakan kegiatan usaha akan mencatat kinerja positif dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) sebesar 7,68 persen.
Berdasarkan sektor ekonomi, peningkatan diperkirakan terjadi pada seluruh sektor ekonomi, terutama sektor keuangan, sektor real estat dan jasa perusahaan, serta sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan.
Namun lain cerita jika kebijakan pemerintah menimbulkan ketidakpastian. Kepastian kebijakan dari pemerintah menjadi penting bagi kalangan pelaku usaha untuk mengambil strategi selanjutnya.
Pelaku usaha berharap pemerintah memiliki langkah yang jelas dan terstruktur termasuk dalam teknis pelaksanaannya.
Memang tidak ada jawaban pasti apakah pemerintah akan memperpanjang PPKM atau tidak. Namun, pelaku usaha berharap kebijakan PPKM dapat lebih dilonggarkan agar dapat memperbaiki arus kas sehingga dapat bertahan meski vaksinasi masal dilakukan.
Agar dapat bertahan salah satu kuncinya adalah menyesuaikan diri dengan situasi dan menjalankan aktivitas ekonomi dengan tetap taat pada protokol kesehatan. Tentu tidak mudah, tetapi kita harus berubah dan menyesuaikan diri.
Baca juga: BI sebut 14 sektor usaha butuh stimulus pada 2021
Artikel
Antara PPKM, insentif, dan kepastian usaha
Oleh Zubi Mahrofi
19 Januari 2021 18:14 WIB
Ilustrasi: kondisi di Lombok Epicentrum Mall sebagai salah satu pusat tenaga kerja di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. (Foto: ANTARA/Nirkomala)
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021
Tags: