Proporsi areal hutan DAS Barito di Kalsel 18,2 persen
19 Januari 2021 17:10 WIB
Tangkapan layar - Dirjen PPKL KLHK Karliansyah (tengah) dalam konferensi pers tentang banjir Kalsel yang dipantau virtual dari Jakarta pada Selasa (19/1/2021) (ANTARA/Prisca Triferna)
Jakarta (ANTARA) - Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan proporsi luas areal berhutan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalimantan Selatan yang terdampak banjir hanya 18,2 persen.
Menurut data per 2019 yang disajikan Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Karliansyah, proporsi luar areal tidak berhutan 81,8 persen yang didominasi pertanian lahan kering campur semak 21,4 persen, sawah 17,8 persen, dan perkebunan 13 persen.
"Jika kita perhatikan dari tahun 1990 sampai 2019 maka penurunan luas hutam alam itu sebesar 62,8 persen. Yang paling besar itu terjadi antara 1990 sampai 2000 yaitu sebesar 55,5 persen," katanya dalam konferensi pers KLHK tentang banjir Kalsel yang dipantau virtual dari Jakarta, Selasa.
Pada 1990 terdapat total luasan hutan 803.104 hektare (ha) dibandingkan 333.149 ha pada 2019, sedangkan luasan nonhutan pada 1990 tercatat 1.025.542 ha menjadi 1.495.497 pada 2019.
DAS Barito melewati beberapa provinsi di Kalimantan dengan total luas sekitar 6,2 juta ha dengan 1,8 juta ha atau 29 persen di area Kalimantan Selatan.
Karliansyah mengatakan lokasi banjir di sepanjang alur DAS Barito di mana kondisi infrastruktur ekologis atau jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai sehingga tidak mampu menampung air yang masuk.
Baca juga: Satgas Udara petakan daerah terisolasi terdampak banjir di Kalsel
Banjir juga disebabkan faktor anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi, dengan curah hujan harian 9-13 Januari 2021 adalah 461 mm atau meningkat dari rata-rata 394 mm pada Januari 2020.
Hal itu menyebabkan air masuk Barito 2,08 miliar meter kubik (m3) di mana kapasitas sungai kondisi normal 238 juta m3.
Menurut dia, sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dengan volume besar dan daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya meander atau kelokan serta fisiografinya berupa tekuk lereng sehingga terjadi akumulasi air dengan volume besar.
Selain itu, lokasi banjir merupakan daerah datar dan elevasi rendah dan bermuara di laut sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah, beda tinggi hulu dengan hilir sangat besar sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir.
Menurut Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Hanif Faisol, pengurangan luas hutan itu terjadi karena dari 3,6 juta penduduk Kalsel, sekitar 2,7 juta hidup di daerah DAS Barito di Kalsel.
"Dengan demikian kita bisa melihat bagaimana masifnya kegiatan pertanian dan perkebunan karet dan sawit mungkin sebagian di sana, yang ada di DAS Barito," ujar dia.
Baca juga: Presiden Jokowi: Banjir besar Kalsel jadi yang pertama dalam 50 tahun
Baca juga: Ratusan rumah hilang akibat banjir di Hulu Sungai Tengah, Kalsel
Menurut data per 2019 yang disajikan Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Karliansyah, proporsi luar areal tidak berhutan 81,8 persen yang didominasi pertanian lahan kering campur semak 21,4 persen, sawah 17,8 persen, dan perkebunan 13 persen.
"Jika kita perhatikan dari tahun 1990 sampai 2019 maka penurunan luas hutam alam itu sebesar 62,8 persen. Yang paling besar itu terjadi antara 1990 sampai 2000 yaitu sebesar 55,5 persen," katanya dalam konferensi pers KLHK tentang banjir Kalsel yang dipantau virtual dari Jakarta, Selasa.
Pada 1990 terdapat total luasan hutan 803.104 hektare (ha) dibandingkan 333.149 ha pada 2019, sedangkan luasan nonhutan pada 1990 tercatat 1.025.542 ha menjadi 1.495.497 pada 2019.
DAS Barito melewati beberapa provinsi di Kalimantan dengan total luas sekitar 6,2 juta ha dengan 1,8 juta ha atau 29 persen di area Kalimantan Selatan.
Karliansyah mengatakan lokasi banjir di sepanjang alur DAS Barito di mana kondisi infrastruktur ekologis atau jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai sehingga tidak mampu menampung air yang masuk.
Baca juga: Satgas Udara petakan daerah terisolasi terdampak banjir di Kalsel
Banjir juga disebabkan faktor anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi, dengan curah hujan harian 9-13 Januari 2021 adalah 461 mm atau meningkat dari rata-rata 394 mm pada Januari 2020.
Hal itu menyebabkan air masuk Barito 2,08 miliar meter kubik (m3) di mana kapasitas sungai kondisi normal 238 juta m3.
Menurut dia, sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dengan volume besar dan daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya meander atau kelokan serta fisiografinya berupa tekuk lereng sehingga terjadi akumulasi air dengan volume besar.
Selain itu, lokasi banjir merupakan daerah datar dan elevasi rendah dan bermuara di laut sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah, beda tinggi hulu dengan hilir sangat besar sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir.
Menurut Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Hanif Faisol, pengurangan luas hutan itu terjadi karena dari 3,6 juta penduduk Kalsel, sekitar 2,7 juta hidup di daerah DAS Barito di Kalsel.
"Dengan demikian kita bisa melihat bagaimana masifnya kegiatan pertanian dan perkebunan karet dan sawit mungkin sebagian di sana, yang ada di DAS Barito," ujar dia.
Baca juga: Presiden Jokowi: Banjir besar Kalsel jadi yang pertama dalam 50 tahun
Baca juga: Ratusan rumah hilang akibat banjir di Hulu Sungai Tengah, Kalsel
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021
Tags: