Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dinilai perlu ditata kembali agar masuk dalam sistem peradilan pidana agar korban memiliki peran yang lebih signifikan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam webinar refleksi awal tahun LPSK di Jakarta, Jumat, berharap LPSK yang kini belum sepenuhnya berada pada sistem peradilan dan masih menjadi pelengkap, bukan aktor utama, akan menjadi yang terdepan dalam perlindungan saksi dan korban.

"LPSK belum ada keseimbangan, masih seakan-akan subsistem, pelengkap, bukan aktor utama sistem peradilan," tutur Erasmus.

Baca juga: LPSK terima 1.454 permohonan perlindungan pada 2020

Akibat posisi yang belum terlalu kuat, LPSK dalam konstruksi perwujudan keadilan restoratif dinilainya belum siginifikan dan masih terbatas pada pemenuhan hak dan perlindungan yang berbasis pada layanan.

Pada kasus-kasus tertentu, korban dikatakannya dapat memiliki nilai tawar dan mempunyai peran dalam ganti rugi untuk mengurangi beban lapas.

Selanjutnya, menurut Erasmus, LPSK belum menjangkau rekomendasi, menjalankan peran untuk membangun konsep sebagai pusat pengayaan hak-hak korban, maupun melakukan sosialisasi ganti kerugian korban yang diatur KUHP dan KUHAP.

Baca juga: LPSK diharap makin berperan dalam optimalisasi "justice collaborator"

Khusus untuk kekerasan seksual yang pengaturan ganti ruginya masih diatur terpisah-pisah tergantung dari tindak pidananya, LPSK diharapkan akan menjadi garda depan dalam perbaikan kebijakan dan implementasi pemenuhan hak korban kekerasan seksual.

Meski memiliki sejumlah kekurangan itu, ICJR menilai terdapat keberhasilan yang dilakukan LPSK, di antaranya melakukan pembayaran kompensasi korban terorisme, memfasilitasi korban atas dampak kejahatan memberikan pernyataan dan memberi bantuan rehabilitasi medis terhadap saksi atau korban yang tidak dibiayai oleh BPJS Kesehatan.

Baca juga: LPSK nilai pemulihan korban jadi tantangan dalam perlindungan HAM