Jakarta (ANTARA) - Saat ini dunia pasar modal tengah marak dengan istilah pompom saham, di mana beberapa saham direkomendasikan oleh individu atau kelompok tertentu.
Tujuannya, untuk mengajak orang lain membeli atau menjual suatu saham pada waktu tertentu. Hal ini cukup bermanfaat untuk menaikkan atau menurunkan harga dengan cepat.
Di dalam dunia olahraga, pompom jelas untuk memberi semangat tim jagoannya supaya terpacu menang. Namun pompom di dunia saham, baik melalui media sosial, WhatsApp (WA) grup atau lainnya digunakan oleh individu atau kelompok tertentu yang bisa saja memiliki agenda tersembunyi.
Suatu saham yang dipompom itu seolah-olah menjanjikan keuntungan. Biasanya, individu atau kelompok itu menggunakan publik figur agar investor saham, terutama ritel tergiur dengan kesuksesan si publik figur itu atau biasa dikenal dengan sebutan influencer.
Baru-baru ini sejumlah influencer membicarakan soal investasi saham dengan merekomendasikan saham tertentu. Lewat akun sosial media, influencer itu, sebut saja Raffi Ahmad, Ari Lasso, pemuka agama yang sudah cukup lama mengggaungkan investasi saham, Yusuf Mansur hingga Kaesang Pangarep menyebut emiten saham sebagai pilihan investasi.
Rekomendasi saham atau bahkan pamer portofolio memang bukan hal baru, apalagi setelah munculnya berbagai platform media sosial. Namun, lain cerita kalau influencer yang merekomendasikan suatu saham tidak berdasarkan analisis teknikal maupun fundamental.
Perlu diingat bahwa tidak semuanya akan diuntungkan oleh hasil rekomendasi, baik itu dari influencer maupun analis suatu sekuritas sekalipun, mengingat ada banyak orang yang akan membeli atau menjual dengan harga yang berbeda.
Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi orang-orang yang sudah mempunyai harga saham di harga bawah atau rendah.
Tapi apa yang terjadi dengan orang-orang yang terpengaruh akan hal tersebut? Tentu mereka cenderung akan membeli dengan harga yang tinggi, sehingga membuat mereka memiliki risiko yang lebih besar daripada orang yang sudah mempunyai saham di harga bawah itu.
Dengan jumlah pengikut atau follower yang mencapai jutaan, rekomendasi saham yang dilakukan influencer itu bisa saja dilakukan oleh sebagian pengikutnya.
Apalagi kalau pengikutnya adalah investor pendatang baru yang belum memahami cara kerja di pasar modal. Padahal rekomendasi influencer belum tentu berdasarkan analisis teknikal maupun fundamental.
Fenomena influencer pasar saham memang tidak diatur secara khusus. Namun perlu diketahui, dalam UU Pasar Modal terdapat aturan yang melindungi investor termasuk mengenai larangan terkait aktivitas yang mengandung penipuan hingga manipulasi pasar ataupun perdagangan orang dalam (insider trading).
Intinya, jangan tergiur pompom saham karena influencer juga investor yang berharap keuntungan. Artinya, dengan merekomendasikan saham tertentu bisa saja mereka berharap harga akan naik dan bisa mengambil keuntungan atau keluar dari saham yang telah direkomendasikannya.
Tinggal kita yang investor pemula gigit jari karena membeli di harga tinggi.
Kenali sahamnya
Membeli saham adalah membeli perusahaan. Artinya, investor harus menganalisis bisnis perusahaan yang akan dibeli, bukan hanya sekadar melihat pergerakan harga sahamnya.
Tak kenal maka tak sayang. Untuk itu, penting bagi investor mengenali saham yang akan dibeli dengan melakukan berbagai analisa seperti analisa fundamental dan teknikal.
Dalam berinvestasi saham, investor wajib mengenali perusahaan yang akan dibeli, baik sektor usahanya, laporan keuangannya hingga aksi korporasinya agar dapat meraih keuntungan maksimal.
Investor ternama di dunia, Warren Buffet, mempercayai analisa fundamental dalam melakukan investasi. Analisa fundamental kerap digunakan oleh investor jangka panjang seperti Warren Buffet untuk menyaring saham yang termasuk pada kategori baik.
Sementara pengguna analisa teknikal tersohor ialah George Soros. Pengguna analisa teknikal umumnya disebut dengan trader, melakukan investasi secara jangka pendek seperti investasi secara harian.
Salah satu soal yang kerap dihadapi investor atau pelaku pasar dalam berinvestasi di saham adalah bagaimana memilih saham yang bagus dan prospektif sehingga menghasilkan profit yang maksimal.
Nah, dalam proses memilih inilah investor harus didasari pertimbangan yang logis, rasional, masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai profil risiko investor.
Salah satu acuan yang kerap dipergunakan oleh pelaku pasar modal dalam memilih saham dikenal dengan istilah rasio harga saham terhadap laba bersih emiten atau Price Earning Ratio (PER).
Sesuai dengan istilahnya, PER berarti perbandingan antara harga pasar dengan laba bersih per saham atau Earning Per Share (EPS).
Analisa PER suatu perusahaan dapat dilakukan dengan cara membandingkan PER dalam industri sejenis.
Jika PER lebih kecil dari rata-rata emiten lainnya dalam industri sejenis, maka harga perusahaan dianggap relatif lebih murah. Saham dengan PER yang rendah, biasanya banyak diminati oleh investor.
Meski begitu bukan berarti harga yang mahal tidak diminati investor. Jika ada saham yang diperdagangkan dengan PER tinggi, tetapi tetap diminati investor artinya investor memiliki tingkat kepercayaan kepada saham atau perusahaan itu.
Investasi saham memang merupakan investasi yang menjanjikan keuntungan tinggi. Namun, risikonya juga cukup tinggi.
Maka itu, tidak heran para ahli keuangan merekomendasikan paling akhir kepada masyarakat untuk berinvestasi di saham, karena memang seseorang harus memahami betul cara kerja dan risikonya.
Terlepas dari itu, investasi apapun bentuknya memang harus dilakukan dengan bijak. Jangan pernah lupa, potensi keuntungan sejalan dengan potensi risiko. Maka itu investor harus dapat menyesuaikan profil risiko investasi yang dimiliki.
Baca juga: Jaga pasar dari aksi "goreng" saham
Baca juga: BEI tegaskan akan terus tindak "saham gorengan" sesuai aturan
Artikel
Waspada, jangan tergiur "pompom" saham ala influencer
Oleh Zubi Mahrofi
14 Januari 2021 19:20 WIB
Ilustrasi - Investor memantau perdagangan saham melalui gawainya di Jakarta. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021
Tags: